Foto ilustrasi diambil dari Pinterest.
08 February 2009
Dear Diary,
Hari ini untuk pertama kali setelah hampir delapan bulan bekerja. Kakek memberiku izin keluar. Dia bilang, biar pulang nanti aku punya cerita. Aku memang tidak punya jatah libur seperti teman-teman yang lain. Tapi aku beruntung punya seorang kakek yang begitu pengertian dan sangat menyayangiku.
Setelah menyelesaikan tugas rumah dan melayani semua kebutuhan kakek. Aku segera mempersiapkan diri untuk menikmati hari kebebasan ini. Meski aku sendiri bingung akan kemana melangkahkan kaki.
Kedatanganku di negeri ini memang kali yang pertama. Jadi wajarkan kalau aku ingin mengenal lebih jauh tentang seluk beluk adat dan budayanya. Secara memang selama tiga tahun mendatang, negeri inilah yang akan jadi kampung halamanku.
Sebelum pergi kakek memberiku dua lembar uang ribuan. Dia bilang buat aku jajan kalau lapar. Bagi pekerja pendatang baru sepertiku, jelas jumlah itu sangatlah banyak. Apalagi kalau dikalikan dengan kurs rupiah yang memang nilainya rendah. Kakek juga sempat memberiku petuah. Dia bilang, sebelum malam aku harus sudah berada di rumah. Dia takut kalau-kalau ada sesuatu hal buruk terjadi padaku.
Bermodalkan alamat yang tercantum di sebuah tabloid lokal, aku memberanikan diri menumpang sebuah taxi. Kusodorkan secarik kertas kepada pak supir, karena untuk mengucapkannya logatku jelas masih berantakan. Kemampuan bahasaku memang sangat minim, jadi aku harus pintar-pintar mencari strategi biar tidak kelihatan terlalu tulalit.
Tempat tujuanku adalah sebuah toko yang sudah cukup merakyat di telinga para konsumen. Terutama dikalangan para buruh migrant yang tersebar di seluruh negeri antah berantah ini, cukup punya nama. Dan bolehlah disejajarkan dengan toko-toko lain yang memang sudah berdiri megah di samping kiri dan kanannya.
Setelah memakan waktu kurang lebih lima belas menit. Akhirnya sampai juga aku ke tempat tujuan. Aroma bangsaku jelas sekali menyengat. Tulisan-tulisan yang sudah lama tidak aku baca, hari ini aku bisa temukan terpampang di sudut-sudut toko. Meski tetap didominasi huruf-huruf kanji yang sama sekali tidak aku mengerti. Sentuhan-sentuhan warna negeriku mengingatkanku akan suasana kampung halaman. Ah! Disinikah para pengembara itu melepaskan kerinduannya selama ini?!
Perlahan aku melangkahkan kaki. Menelenjangi pemandangan yang baru aku saksikan. Coba mempelajari lingkungan sekitar. Berharap bisa beradaptasi dan berbaur dengan yang lain. Satu dua orang kulihat menyambangi toko, tapi tak banyak pula yang berlalu meninggalkannya dengan membawa beberapa jinjingan. Mereka sama denganku. Berkulit sawo busuk, dengan logat Jawa kental yang tidak pernah bisa ditinggalkan.
Sementara di teras, kulihat ada beberapa pasangan sedang berkumpul berbagi cerita. Tawa mereka jelas menggambarkan betapa merdekanya melewati hari tanpa ocehan dari majikan. Atau betapa menyenangkannya merayakan kebebasan tanpa dibayang-bayangi perintah dari superintendent yang menyebalkan.
Sesekali sudut mata mereka mencuri pandang ke arahku. Satu dua orang kulihat sempat melemparkan senyum. Bahkan ketika aku perlahan melintasi mereka, ada sapaan halus terlontar. Bukan lagi ‘Ni Hau…?’ Tapi ‘Hai Apa Kabar…?’ Aku pun membalas sapaan itu dengan membentuk sesungging senyum di ujung bibir.
Seorang gadis sebaya denganku mempersilahkan aku untuk bergabung dan duduk di sampingnya. Sambutan hangat dari yang lain membuatku nyaman dan merasa tidak asing di tengah-tengah mereka. Aku jadi seperti menemukan keluarga di sini. Meski aku masih junior, tapi sepanjang pembicaraan mereka sama sekali tidak mengucilkanku.
Cerita demi cerita saling terlontar di sepanjang siang itu. Ada yang datang. Ada yang pergi. Ada juga yang hanya berani melihat keakraban kami dari kejauhan dan enggan berbagi. Waktu bergulir dan aku semakin gelisah. Meski masih tersisa tiga jam jatah kebebasanku, tapi aku merasa sudah waktunya pergi dan meninggalkan mereka.
Akhirnya aku memutuskan pamit setelah menyempatkan diri membeli barang-barang yang kubutuhkan. Tapi seseorang bernama Nugie menahanku dan membujukku untuk lebih lama lagi tinggal. Sementara yang lain juga turut meng-iyakan. Aku mengalah. Secara memang sebenarnya aku juga masih ingin berbincang dengan mereka.
Nugie mulai mendekatiku, bertanya tentang ini dan itu yang menyangkut tentangku. Dan aku tidak keberatan menjawab semua pertanyaannya. Karena aku memang menyukai caranya memperlakukanku. Begitu manis, begitu ringan. Dia pintar menyelipkan kata-kata lucu sehingga membuatku tanpa sadar melukiskan senyum.
Ada aroma lain yang jelas aku tangkap ketika dia memandangku. Sebuah kenyamanan dan kedamaian seolah ia tawarkan di tengah kehausanku akan kehadiran seseorang. Aku mulai tertarik. Dan sepertinya dia tahu akan hal itu. Aku sempat tertangkap basah ketika mencoba mencuri pandang ke arahnya lewat sudut mata. Tapi dengan tenang dia malah memandangku dan sama sekali tidak merasa risih. Sebaliknya membuatku tidak nyaman sehingga memaksaku untuk berpura-pura larut dalam perbincangan dengan yang lain.
Kali ini aku harus benar-benar pergi dan mengakhiri kebersamaan. Nugie sempat mengantarku sampai aku mendapatkan taxi dan meminta nomor ponselku. Rasa puas yang aku rasakan karena telah melewatkan hari kebebasan tanpa sia-sia mewarnai setiap langkah sepanjang perjalanan. Aku pulang.
15 February 2009
Dear Diary,
Hari berganti begitu cepat sekali. Tidak terasa sudah minggu lagi. Pagi ini Nugie sempat menelponku dan memintaku untuk bertemu dengannya di tempat kami pertama kali bertemu. Ah, senang sekali rasanya bisa bersahabat dengan lelaki itu. Seolah kehadirannya bisa mengisi kesepian yang selama ini menghantuiku.
Canda, tawa, semangat bahkan godaan ringan yang kerap ia kirimkan lewat pesan singkat selama satu minggu ini membuatku merasa semakin nyaman dan yakin melewati hari-hari berat yang aku jalani. Sudah kupastikan jelas aku menaruh simpati pada Nugie.
Dengan memasang muka setengah merajuk akhirnya kudapat juga izin dari kakek. Tentu saja dengan sederet alasan yang sekiranya bisa dicerna oleh pikiranya.
Sesampainya di tempat tujuan Nugie langsung menyambutku dengan senyuman. Dan akupun membalasnya tanpa banyak mengeluarkan bahasa. Setelah berbincang sebentar dan menyantap makanan kampung halaman Nugie membawaku jalan-jalan. Dia bilang biar aku tahu lebih banyak lagi tentang Taiwan.
“Maria, minggu depan aku akan pulang.” Sesaat Nugie menghentikan langkahnya dan mengajakku duduk di kursi taman. Suaranya nyaris seperti bisikan.
“Kalau kamu mau, aku akan menunggumu pulang di kampung halaman.” Lanjutnya. Sementara aku masih terdiam menikmati lelehan es krim yang tersisa.
“Maria…” katanya lagi seraya memandangku.
Setelah memastikan es krim yang Nugie berikan tak bersisa, akhirnya kubalas juga tatapannya. Inilah untuk pertama kalinya aku merasakan sesuatu yang berbeda hadir diantara kami. Mata Nugie, suaranya, adalah mungkin hal yang akan selalu kurindukan. Dan begitu saja aku terjebak dalam sebuah drama cinta yang entah kapan bermula.
“Aku akan menunggumu…” tegasnya lagi. Seolah semua kata yang barusan ia ucapkan dianggapnya tidak aku dengarkan.
“Kenapa harus menunggu? Kenapa tidak sekarang?” Pertanyaanku sempat membuatnya terdiam. Barangkali aku terlalu berani mengatakannya. Bukan. Bukan karena terlalu berani, tapi justru pertanyaan itu terlontar lebih kepada ungkapan tidak ingin kehilangannya.
Waktu juga yang akhirnya memaksa kami untuk kembali berpisah. Hari kepulangan Nugie yang semakin mendekat membuatku gelisah. Aku baru saja dibuatnya jatuh cinta, tapi betapa membuat dadaku sesak mengingat Nugie akan meninggalkanku meski dia bilang akan menungguku di Indonesia sana.
22 February 2009
Dear Diary,
Nugie akhirnya pulang membawa sebagian jiwa yang kutitipkan. Berharap dia akan menjaganya selama aku menyelesaikan sisa jatah kontrakku di Taiwan. Dan diapun menitipkan cintanya dalam sebuah lingkaran cincin berlian di jemari manisku. Dia bilang, “Ini bukan mahar. Tapi kelak akan kupinang kau dengan basmallah.”
Ah, betapa ini sangat membuat dadaku sesak mengingat berseminya cinta diantara kami hanya sesingkat batas pertemuan. Rasanya aku ingin pulang bersama Nugie. Tapi akhirnya aku tersadar bahwa tujuanku ke negeri ini adalah sebentuk tanggung jawab yang melibatkan kehidupan banyak orang. Mereka masih membutuhkanku. Dan itu berarti harus merelakan apapun yang menyangkut tentang kebahagianku. Aku percaya cinta akan berpihak kepadaku. Aku percaya Nugie akan menungguku.
Dua hari berikutnya Nugie mengirimku sebuah pesan. Dia bilang saat ini dia sudah berkumpul bersama keluarganya. Jelas kebahagiannya adalah juga menjadi kebahagiaanku. Tapi satu pesan terakhir yang ia sampaikan lagi-lagi membuatku tak dapat membendung butir airmata.
“Maria aku rindu…” katanya.
“Taiwan gerimis Nugie. Apakah di Indonesia juga sama?” tanyaku menyembunyikan kerinduan.
Dua bulan berlalu. Selama itu pula Nugie tidak pernah absen menyapaku. Meski hanya lewat pesan singkat atau telepon tarif murah tengah malam. Satu bukti yang harus aku yakini, bahwa jarak tidak akan pernah melunturkan kebersamaan kami. Kecuali hari itu tidak pernah terjadi.
“Nugie kecelakaan ketika hendak mengirimkan sepucuk surat untukmu Maria…”
Satu kalimat tertulis dari ponsel Nugie. Tapi aku tahu pasti bukan dia yang mengirimnya. Maka tak kuhiraukan, karena aku menganggapnya hanya sebentuk gurauan. Aku tahu sifat Nugie dengan selera humornya yang tinggi. Paling-paling dia ingin mengerjaiku karena tiga hari ini aku tidak mengirimkan kabar.
“Nugie sudah pulang ke hadapanNya. Tapi dia sempat membertahu kami kalau dia sangat mencintaimu Maria…” meski tidak ada mendung. Tapi toh hujan tetap membasahi jalanan lengang sepanjang Taiwan. Aku dibuatnya menggigil kedinginan. Jelas sekali ini adalah nyata. Samar terbayang wajah hitam manis Nugie di antara jemariku. Bersinar laksana berlian yang ia sematkan untuk mengikatku. Semakin lama semakin memudar. Menjelma bentuk lain yang lebih indah. Nugie terbang dengan dua sayap putih di punggungnya. Tersenyum menatapku.
“Ah. Kalau saja aku tahu perpisahan ini begitu sangat menyakitkan. Tentu aku akan meminta pada Tuhan agar tidak dipertemukan dengan Nugie. Tidak kalau harus dengan cara seperti ini.”
Dibalut rindu pada seseorang,
“Temui aku di taman surga. Dimana di dalamnya tak ada kata perpisahan”