Gambar ilustrasi diambil dari Brilio.net.
Ibarat makan buah simalakama. Dimakan, ibu mati, tidak dimakan, bapak yang mati. Menerima rumah itu, menyakiti hati kakak sulungku, tidak menerimanya, aku menyakiti hati bapakku.
Berawal ketika aku hendak berangkat ke Taiwan hampir setahun yang lalu. Aku pulang kampung, ke kota Wates di pinggir pantai Selatan. Berniat menitipkan kedua anak perempuanku untuk sekolah di kampung, dan diasuh oleh kakak pertamaku. Karena suamiku sibuk bekerja di pabrik di jantung kota kembang, Bandung. Otomatis dia repot kalau harus mengurus anak seorang diri. Apalagi kerjanya dengan sistem shift, seminggu kerja pagi, seminggu kerja siang, dan seminggu kerja malam. Kebetulan kakakku juga bersedia mengasuh anakku karena anaknya sendiri sudah besar, sudah STM.
Tapi aku mulai resah ketika kakak berniat mencari suaminya yang menghilang 13 tahun silam. Yah, kakak memang hidup di kampung, mencari nafkah membesarkan anaknya seorang diri dari balita sampai sekarang sudah besar. Ia di sana menjadi pengganti ibu yang telah meninggal 11 tahun silam.
Kucoba menulis surat ke kampung halaman suami kakakku di Sumatera Utara. Tak lupa kucantumkan nomor hp-ku agar mereka dapat mengabariku. Kakak memang bodoh, kalau tahu alamatnya, kenapa tak dari dulu mencari, aku menyalahkan.
Singkat cerita, suami kakakku ditemukan kerja di Jakarta sebagai penyanyi cafe dan terkadang ngamen. Ia juga sudah punya rumah, meski kecil. Aku gundah, jangan-jangan kakak nanti mau ikut suaminya. Aku menghubungi suami kakakku dan memintanya agar membiarkan kakak sementara mengasuh anakku sampai aku pulang.
Waktu berjalan tenang, kadang-kadang aku menelepon kakak dan anak-anak. Aku senang ternyata anak-anak betah di kampung bahkan anak pertamaku selalu ranking satu di kelasnya. Kekhawatiranku hanya kepada bapak yang sudah tua. Di saat usia senja masih harus membanting tulang ke sawah mencari rumput untuk pakan sapi, menanam jagung atau apa saja untuk bertahan hidup. Pernah di suatu siang panas terik, aku dan suamiku membantu bapak panen jagung yang tak seberapa banyak. Tanpa alas kaki, bapak berjalan di tanah kering, gersang dan terbelah karena kemarau panjang, memanggul sekarung jagung. Kulihat tubuh bapak yang legam dengan otot kaki menonjol keluar karena seringnya kerja kasar. Akupun bergumam dalam hati, “Ya Allah, ingin aku merawat bapak di tuanya nanti dalam hidupku yang sudah mapan.” Aku begitu pilu melihat keadaan bapak. Panen jagung yang dirawat tiga bulan, hanya laku 30.000 rupiah. Tak cukup untuk makan seminggu.
Entah mengapa setiap habis menelepon bapak, aku selalu dapat rejeki. Entah nemu uang, atau dikasih makanan tambahan oleh majikan. Kali ini aku hendak menelepon bapak. Aku diam sesaat, jangan-jangan sesudah menelepon bapak, mau dapat rejeki apa ya? Setelah basa-basi sebentar, tiba-tiba bapak bicara serius.
“Nak, bapak mau ngomong, kamu kerja uangnya dikumpulkan, tolong rumah ini diperbaiki, nantinya rumah ini untukmu.”
“Nanti dulu pak, bapak kan anaknya enam, dan aku sudah punya rumah, warisan mertua.” Aku berharap agar bapak memikirkan lagi kata-katanya.
“Karena kamu sudah pasang listrik dan bikin kandang sapi di sini, jadi rumah ini untukmu,” bapak bersikeras.
“Tapi Pak, aku pasang listrik patungan sama adik, supaya rumah Bapak terang, supaya Bapak tidak dihina sama tetangga, aku nggak rela. Dan bikin kandang sapi, karena kulihat kandang yang dulu sudah mau roboh, aku kasihan, aku ingin Bapak senang.” Aku benar-benar ingin melihat bapak bahagia, karena kutahu selama hidupnya selalu menderita, cobaan yang tiada habisnya, penderitaan yang berlarut-larut, sampai ibupun meninggal di usia muda.
“Siapa yang memperbaiki rumah ini, dialah yang berhak dan Bapak doakan semoga kerjamu lancar.”
“Insa Allah, amin. Terima kasih Pak.” Aku mengakhiri agar bapak tak resah.
Hatiku berdebar, kembali resah. Pertanda apa, kenapa bapak bicara seperti ini? Sungguh tak ada niatan atas rumah itu, toh aku sudah punya rumah warisan mertua. Ataukah ini jawaban doaku yang ingin merawat bapak? Tapi bagaimana dengan kakak? Dia sudah belasan tahun tinggal di situ, merawat ibu, nenek, menjaga bapak, bahkan menyayangi anakku seperti anaknya sendiri. Sungguh sebuah dilema. Bagai makan buah simalakama. Di satu sisi aku ingin berbakti pada orang tua, tapi di sisi lain aku tak sanggup menyakiti hati kakak yang kuanggap sebagai pengganti ibu. Apa hanya karena tiap bulan aku kirim uang untuk biaya sehari-hari bapak dan anak-anakku? Tapi jasa kakak lebih besar dibanding itu atau bapak menyimpan luka lama ketika tidak merestui pernikahan kakak dengan suaminya yang berbeda agama? Sehingga kakak pindah keyakinan, namun akhirnya suaminya pun hanya menelantarkannya? Hingga bapak tak rela menyerahkan rumah itu pada kakak, meski belasan tahun tinggal bersama.
Semua berkecamuk dalam hati hingga suatu malam kakak SMS, “Ris, bagaimana ya, setelah anakku lulus nanti, aku disuruh ikut ke Jakarta sama suami, katanya pilih menjaga suami atau anak saudara?” dengan datar aku menjawab, “Yah, kalau memang mau ikut suami ya gimana lagi, aku tak bisa menghalangi.” Akupun maklum, terpisah belasan tahun pasti tersimpan kerinduan yang dalam.
Tinggal aku dalam kebingungan. Tapi belakangan kutahu, kakak berkata seperti itu karena ia tak sengaja mendengar perkataan bapak padaku. Ia kecewa dan merasa tak berhak tinggal di situ lagi. Aku semakin bingung, kalau kakak pergi, kedua anakku siapa yang mengasuh? Kalau diambil ke Bandung, bapak pasti kesepian seorang diri. Kalau kubiarkan anak di sana, aku tak sanggup membayangkan anakku kelas 3 SD harus memasak dan mencuci sendiri.
Kucoba menelepon kakak untuk memastikan. Katanya, “Ya belum pasti juga untuk ke Jakarta, lagian di sana aku mau kerja apa? Rumah suamiku kecil hanya ada satu kamar. Tapi aku kan nggak berhak tinggal di sini. Ini kan rumahmu. Enak kalau tinggal memperbaiki. Dulu aku yang ikut membangun, yang dapat capek dan susahnya. Mengurus tukang, bekerja keras membanting tulang, buruh kesana-kemari agar jadi rumah ini. Kalau tahu bakalan begini keadaannya, dari dulu aku simpan sendiri saja jerih payahku, pasti aku sudah punya uang banyak!!” kakak berkata sengit seperti marah besar, kecewa dan benci padaku.
Lemas tubuhku, sedih, bingung, pusing, semua jadi satu. Aku khawatir mental anak-anakku tak bahagia, sebab yang jadi pengasuhnya sedang membenciku. Pasti kakak jadi tak ikhlas lagi bahkan menganggap anak-anak sebagai duri. Aku takut mereka menjadi sasaran kebencian kakak. Segera kuhubungi suamiku menceritakan semuanya. Kuhubungi kedua kakakku yang lain minta pendapat dan mencari jalan keluar. Entah sudah berapa lembar pulsa melayang tapi aku harus segera memecahkan masalah ini. Bahkan ama pun bertanya padaku, “Kenapa memijit kepala terus?” Aku pun curhat pada ama kalau aku pusing dan lagi ada masalah keluarga yang cukup serius.
Setelah mendapat masukan dari sana-sini, paginya kutelepon kakak lagi. Pertama menelepon anakku, menanyakan apa pilih sekolah di kampung sambil menemani kakak, atau apa ingin sekolah di Bandung, kumpul sama bapaknya. Ternyata anakku dengan tegas menjawab, “Bandung!”
Pelan-pelan aku bicara sama bapak. Setelah basa-basi sebentar, “Pak, aku mau bicara, sebab nampaknya keadaan di rumah sedang rumit. Memang berat keputusan ini, tapi aku sudah minta pendapat sana-sini. Aku harus mengambil langkah agar tidak ada beban. Kenaikan kelas 5 bulan lagi, anak-anak akan dipindah ke Bandung karena anaknya meminta sendiri. Sebagai orangtua berkewajiban lengayomi anak, aku tak mau disalahkan kelak. Ketika ingin bersama orangtuanya kenapa tak diperbolehkan. Masalah rumah, kami sepakat, ikhlas kalau rumah itu diberikan pada kakak tertua saja. Mengingat jasanya yang lebih besar, pengorbanannya pun sangat banyak.”
“Masalah pasang listrik, kami ikhlas, semoga rumah Bapak menjadi terang selamanya. Dan kandang sapi, biarlah dipakai saja, sebagai rasa terima kasihku kalian telah mengasuh anak-anakku. Itupun belum cukup sebenarnya. Dan kalau Bapak merasa berat berpisah dengan anak-anakku, Bapak ikut ke Bandung saja.” Aku bicara perlahan agar bapak bisa maklum keadaanku.
“Kenapa nasibku jadi begini? Apa tak boleh Bapak menahan anakmu di sini? Bapak sudah terbiasa dengan mereka. Sepulang dari sawah, Bapak melihat mereka berlarian, hati Bapak jadi terhibur. Tapi, kalau mereka tak ada, Bapak akan kesepian. Dan kalau disuruh ikut ke Bandung, Bapak pilih tak pergi. Sebab rumah ini rumah warisan orang tua Bapak. Bapak akan tetap tinggal di sini.” Ternyata bapak menangis sedih, meratapi nasibnya.
“Bukan begitu Pak, tapi anak-anak, aku tak mau disalahkan. Biarlah mereka melalui masa kecilnya bersama orang tuanya, meski tak sesempurna kata bahagia. Maafkan aku Pak.” Akupun turut menangis pilu karena telah melukai hati bapak yang selama ini kujaga agar bahagia.
Terakhir aku bicara sama kakak, “Kak, terima kasih sudah mengasuh anak-anakku dengan baik. Sudah cukup aku merepotkan. Kini saatnya mereka berkumpul dengan orang tuanya dan kakak bisa menata keluarga sendiri. Rumah ini kami ikhlas untuk kakak tertua. Perjuangan dan pengorbanan kakak sangat besar. Di sini kakak sudah lancar rejekinya. Dengan tetangga juga sudah kenal baik. Kakak jangan sedih, jangan berkecil hati. Ajak suamimu pulang, menikah lagi memakai adat agama kita. Semoga ini menjadi titik terang, jalan yang lapang. Kita bersaudara, tetaplah erat dan akrab, jangan ada rasa benci. Aku titip bapak, mari kita jaga bersama.”
Lega hatiku setelah mengambil keputusan, kuharap bisa menjadi jalan lapang ke depannya nanti. Meski saat ini aku harus menyakiti perasaan bapak. Ya Tuhan, kuatkanlah kami dalam menjalani setiap cobaanMu. Bimbinglah langkah ini agar selalu di jalanMu. Dan berilah kami waktu agar bisa saling menyayangi serta menjaga orang-orang yang kami cintai. Izinkan hidup ini memiliki arti dan harapan yang indah. Amin.