Foto ilustrasi diambil dari Pinterest.
Bulan sabit menyelinapkan remangnya di taman, menghantarkanku menyandarkan raga setelah kesibukan merampok habis waktu. Malam meruncing, namun kedua jendela hatiku tak jua mau mengatup dan menyeretku dalam nirwana mimpi. Tak sepicingpun, aku bisa. Bahkan seolah alam pikir makin kencang mengajakku mengumpulkan sejumlah tenaga memikirkannya. Peri di kedalaman artian kasih sayang. Kasih sayang dari seseorang. Berlabel, sahabat!
######################################
Matanya menyorotkan sinar, tawa renyahnya melunturkan kepenatan. Ia selalu memotivasiku. Kalau boleh aku bilang, kaulah teman dan sahabat terbaik yang pernah kumiliki sepanjang perjalananku di alam fana.
Gestur mukanya selalu menampakkan ceria. Tak hanya cantik, ramah, pintar, tetapi perempuan dari Jawa Barat itu juga adalah sosok yang pemberani. Kupersembahkan sebuah essay ini hanya untuknya, untuk Adis, sahabatku. Dan teruntuk jiwa-jiwa yang telah menabur kebaikan kepada sesama. Siapapun dia…….!!!
Dari seorang Adis, aku bisa mengenal apa itu cinta. Tak lain karena aku telah dipertemukan olehnya dengan seorang Isep, cowok yang masih ada hubungan darah dengannya. Seorang yang bisa benar-benar mencintaiku. Ia seorang sarjana pendidikan dan mengajar di sebuah SLTP. Bagiku waktu itu, disaat aku mengenalnya dalam balut cinta, itu adalah pengalamanku yang pertama dan bisa dibilang cinta monyet. Akan tetapi bagi Isep yang terlanjur serius menanggapi cinta ini, ia begitu mengharapkan kelanjutannya kelak.
5 Mei…
Hanya dengan berkisah lewat lembaran surat, cinta Isep menyemai. Begitupun denganku. Banyak hal kita luapkan dalam deretan kata tinta. Aku jadi terbiasa akannya, bagaimana ia mampu membuatku merindukannya, bagaimana ia bisa menempatkan aku yang kekanak-kanakkan menjadi bidadari istimewa. Aku sangat sadar, semua karena rasa cinta Isep yang memang hanya untukku.
Hubungan asmara jarak jauh kami hanya bisa kami dekatkan rentangnya dengan surat. Namun sejak Adis, lagi-lagi Adis, aku bisa jadi setiap saat bisa menikmati suara Isep.
Ikhwalnya, saat tanggal 5 Mei aku ulang tahun. Dengan tulus sahabatku itu memberiku hadiah sebuah ‘handphone’. Katanya agar hubungan kami lebih mudah. Daripada menunggu kedatangan surat yang hanya seminggu sekali. Ah Adis?!? Aku sangat bersyukur mempunyaimu, sahabatku.
Bulan yang kian merangkak, seiring makin dekatnya kisah kami, menjadikan batinku sudah sangat terbiasa dengan kehadirannya. Terhitung 5 bulan, entah sejak kapan, mulailah kurasakan sesuatu yang beda, hingga tak bisa aku ungkapkan betapa hancurnya perasaanku saat Isep memutuskan cinta kami. Yang sangat tak kumengerti adalah alasannya, yaitu aku masih anak-anak. Hufh… Itukah dirimu yang katanya sangat dewasa, Mas Isep??
Air mataku tumpah. Didepan sahabatku, aku hanya bisa meratap. Mengapa kehadiran sebuah cinta bisa menorehkan kesedihan yang begitu dalam? Adis dengan sabar menemani tiap detik menitnya waktu aku terpuruk. Ia menyemangatiku, bahkan meminta maaf, seolah ia mempunyai andil dalam putusnya hubungan kami. Setidaknya karna aku telah dikenalkan olehnya dengan Isep.
Diusapnya tiap air mataku yang turun. Dengan senyum yang Adis tampakkan, ia berbisik :“Sobat, kalau kau tidak keberatan, aku ikhlas kelak satu suami denganmu.” Bagai tersengat kalajengking, aku sangat kaget plus salut akan ketulusannya. Ia sungguh peri mulia yang Tuhan kirimkan untuk bisa kujadikan teman.
Dua Tahun Kemudian…
‘Persahabatan lebih mulia dari sebuah percintaan.’ Kalimat ini masih terngiang dan terekam jelas dalam lubuk hatiku. Sebab yang mengucapkannya adalah sahabat terbaikku satu-satunya.
Karena didorong untuk membantu perekonomian keluarga, aku putuskan untuk merantau saja. Dari sinilah kesibukan merampas waktuku. Sesuai aturan dari PT pengerah jasa tenaga kerja yang tidak memperbolehkan menggunakan fasilitas ‘handphone’, dengan berat hati aku titipkan benda itu kepada bapak, orang tuaku. Yang paling kusesalkan setelah ini adalah saat aku harus terputus komunikasi dengan Adis. Yahhh…cuma karena aku ingin ke Taiwan, aku harus rela terpisah dengan Adis.
Walaupun di penampungan aku mendapat banyak sekali teman, akan tetapi yang bisa kutangkap dengan perasaanku, tetaplah beda dengan Adis. Rasa kehilangan yang bisa aku rasakan melebihi perihnya saat aku harus berpisah dengan Isep. Semakin aku memahami arti sahabat seperti yang Adis katakan:”Teman sejati adalah teman yang sehati, dapat dipercaya, menghormati, memberi kehangatan di setiap airmata yang mengalir dan menyebutnya dalam doa.”
Setelah aku datang ke Taiwan, aku berubah 80 derajat. Aku tidak seperti aku yang dulu, aku yang dulunya murah senyum, supel, kini menjadi sosok yang pendiam, cuek, egois, dan tidak mau bergaul. Parahnya lagi, aku tidak mau mengulas sedikitpun senyum kepada cewek-cewek Indo. Tahun pertama dan kedua, aku lebih banyak menyendiri. Pikirku saat itu, tidak ada teman sebaik Adis di dunia ini.
Suatu saat, pada malam yang menggigit kulit, aku tertegun di depan jendela. Merenung dan merenung sendirian. Entah kapan munculnya, kulihat sosok perempuan cantik tersenyum di dekat kaca sebelah. Aku kaget. Setan atau manusiakah dia??? Jantungku berloncatan tiada kendali. Aku ketakutan setengah mati. Berulangkali kubacakan ayat kursi. Anehnya, sosok yang tampak itu malah melambaikan tangannya padaku. Siapakah dia, Tuhan?? Mengapa aku baru melihatnya setelah kurun 2 tahun aku menempati kamar ini? Dalam dekap ketakutan, kucoba pejamkan mata. Membawa galaunya hatiku ke tanah mimpi.
Esoknya, aku memulai kembali aktifitasku dan menganggap seolah tidak ada kejadian apapun yang kulihat malam tadi. Akan tetapi, dengan sebuah surat yang diselipkan di depan pintu rumah, arti ketakutanku terbayar. Namanya Rofi, anak Jawa Timur. Dia juga meminta maaf telah mengejutkanku, atau malah membuatku ketakutan:”Hai, namaku Rofi. Mungkin semalam aku tlah menakutimu. Maukah kau menjadi temanku?”
Berikutnya aku tak menanggapi uluran pertemanan yang Rofi tawarkan. Namun surat demi surat membanjir setiap malam, hingga terkadang ia menaruh makanan di depan pintu. Ia malah nekad memencet bel rumah, hanya untuk memberitahuku kalau ia meletakkan sebungkus indomie untukku.
Lama kelamaan hatiku luluh juga (hiks, kayak balada sinetron percintaan 2 manusia ya?). Waktu Rofi sedang menyiram bunga sore itu, Ia melempar senyum padaku, wowww, senyumnya cantik sekali. Kalau aku cowok, pasti aku sudah jatuh cinta padanya. Sejak saat itu, kami pun saling komunikasi. Walau kami jarang bertemu, namun kami selalu berkirim surat lewat pintu sampah.
Persahabatan kami, kami jaga serapat mungkin. Di depan majikan, kami seolah tidak saling mengenal. Padahal…?? Tahu sendiri kan teman-teman?? Hahahaaa..
Dengan Rofi, aku mulai merasakan lagi cahaya persahabatan yang dulu sempat redup. Bukti ia begitu menghargai persahabatan kami, ialah saat aku sedang sakit. Ia berlari secepatnya ke apotik untuk membeli obat yang kubutuhkan. Sekitar sepuluh menit, ia tekan bel rumah, menyerahkan obat itu. “Ya.., semua karna kamu Wanti,”kata Rofi padaku. Dan.. Ya Allah! Ketela yang sedang dikukusnya gosong!!!
Dunia seolah tertawa dengan keakraban kami. Akhhhh……
###########################
Andai bintang merumpun selayak gerombolan gelombang cinta, demi sebuah kebaikan, ‘kan kupetik sebuah kerlipnya untukmu…, sahabat.
Waktu kan terus berganti, hanya persahabatan dan teman sejati yang tak dapat terganti dan terhapuskan waktu.
Sebagai persembahanku, atas persahabatan yang indah ini. Untukmu sahabat-sahabatku, Adis dan Rofi. Semoga Allah jaga persahabatan kita. Kekal.
Diceritakan kembali oleh Enno Salsa