Dia teman baikku, Liza Rahmawati namanya, kedua orang tuanya guru. Di kampung, keluarga Liza terbilang “kaya”. Sejak kecil kami berteman, kemanapun Liza pergi, pasti bersamaku, sebaliknya ada Liza pasti ada aku, sampai-sampai kamu dijuluki “Saudara Kembar”. Setamat SMA, Liza melanjutkan studynya di IKIP Malang, sedang aku malah tertarik dolar Taiwan dan mendaftarkan diri sebagai TKI dengan modal keberanian tanda tanya alias ‘nekad’. Meskipun jujur sebenarnya aku sendiri takut, tak pernah terlintas olehku hidup jauh dari keluarga, menghadapi semua masalah seorang diri, apalagi ikut orang dan orang itu adalah ‘majikan’.
Alhamdulillah…prosesku lancar, nyaris tanpa hambatan. Hanya saat pertama kali menginjakkan kaki di Taiwan, kami dijemput agent, dibawa ke penampungan dan tidur beralaskan ‘triplek’ (kayu tipis). Kami dilarang menggunakan air, bau pesing sungguh menyengat. Baru tidur kurang lebih 2 jam, kami dipaksa bangun dan berbaris laksana tentara yang disiapkan untuk menuju medan perang.
Untunglah aku mendapatkan majikan yang baik, tugasku hanya menemani seorang kakek lanjut usia yang tubuhnya masih segar bugar, bahkan kakek menganggapku seperti cucunya sendiri, semua kebutuhanku tercukupi dengan gratis…
Semenjak di Taiwan, hubungan persahabatanku dengan Liza tersambung lewat ponsel. Hari-hari menyenangkan di Taiwan membuatku kerasan hingga tanpa terasa satu tahun telah terlewati.
Suatu hari, bertepatan dengan hari liburan anak sekolah, majikan memberikanku tiket PP (Taiwan-Surabaya-Taiwan).
“Tiket PP gratis, seminggu di Indonesia, biar kakek tinggal bersama kami”, kata mbak. Ya… aku memanggil majikan perempuanku “Mbak”, dan memanggil “Mas” kepada tuanku.
“Maaf, numpang tanya….Berapa harganya?”, tanyaku kalem.
“Yun, namanya gratis itu gak pake duit…”, mereka tersenyum. Aku hanya bisa menunduk pertanda hormat, setuju, sekaligus terima kasih.
“kebetulan sekali, aku kan orang Jawa Timur, ahh… mungkin tiket itu memang sengaja untuk dihadiahkan padaku….” (aku tersenyum sendiri)
*****
Hari kepulangan cutiku ke Indonesia pun tiba. Setelah pamitan dengan kakek, bos mengantarkanku ke Bandara Internasional Tao Yuan. Pesawat Eva Air membawaku terbang menjenguk keluarga di tanah air.
*****
“Eh Mas….jangan main tarik dong!!”, teriakku saat keluar dari pintu Bandara Juanda.
“Cepat, banyak calo…adikku muaaanis….”, kata sosok yang menarik tanganku, yang tak lain adalah Mas Shakti, kakakku.
“Waduh, Mas…. Sampean kok jadi item sich?”, cerocosku.
“Bukan tambah item, Dik. Disana aja yang kamu liat mereka-mereka yang berkulit putih”, tandas Mas Shakti.
“Bu’e mana, Mas…?”
“Ada di mobil..”
Mas Shakti membawa kedua kardus bawaanku, dan aku dengan sebuah koper menuju mobil yang di dalamnya terlihat ibu dan keponakanku.
Selama dalam perjalanan pulang, tak hentinya aku terus bertanya keadaan rumah.
“Oh,ya… Selama aku di Taiwan, Liza main ke rumah nggak, Bu’e? Gimana kuliahnya? Aneh, ponselnya kok nggak bisa dihubungi….Gimana kabarnya Liza, Bu’e?”, aku mendekatkan wajah ke ibu.
“Nduk, apa nggak capek to…mbok ya….istirahat.”, kata ibu membuatku diam. Mobil terus melaju menembus gelapnya malam menuju jalan ke kampung kelahiranku.
*****
Aku terbangun begitu mendengar seruan adzan subuh, tubuhku serasa merinding… ”Ya Allah….satu tahun tak aku dengar gema adzan, ampuni aku… selama itu mengabaikan kewajibanku sebagai hamba Ya Robbi…”, air mataku menetes membasahi pipiku.
“Ada apa, Nduk? Kamu nggak sedang berhalangankan? Ayo…Sholat.”, ibu muncul dari pintu kamar. Aku bergegas mengikuti ajakan ibu.
Menjelang siang, usai membantu ibu menyiapkan masakan, aku minta izin ke bank sebentar. Sebenarnya tujuan utamaku adalah mendatangi rumah Liza, namun betapa kagetnya aku sesampainya di rumah liza, di halaman rumah megah itu tertancap papan bertuliskan “Dijual”. Penuh tanda tanya aku berjalan mendekati warung Mbak Tum yang berada persis di depan rumah Liza.
“Asamualaikum, Mbak Tum gimana kabarnya..?”, sapaku.
“Wah, tamu dari jauh…dari luar negeri..”, Mbak Tum meledekku.
Darinya aku dapat keterangan Liza sekarang di sebuah pondok, setelah berkali-kali mencoba bunuh diri, orang tua Liza meninggal dalam sebuah kecelakaan kurang lebih sebulan setelah Liza kuliah di Malang. Kuliahnya terputus….Liza nyaris stress karena peristiwa kecelakaan yang menimpa orang tuanya. Liza kemudian ikut Mbak Ira, kakak kandungnya, tapi… masalah bertambah parah, Liza diusir Mbak Ira setelah mengetahui Liza mengandung bayi dari suami Mbak Ira.
Mendengar info ini membuat tubuhku langsung lemas…”Kasihan Liza, Mbak Tum. Bukankah panjenengan juga tau, dia dulu anak manja.” Mbak Tum pun mengusap air matanya dan menyuruhku bangkit.
Aku memutar sepeda motorku ke arah pulang.
“Bu’e, benarkah yang dialami Liza itu?”
“Darimana kamu tau, Nduk…”, ibu mendekatiku yang terduduk lemas di sofa.
“Dari Mbak Tum, pemilik warung depan rumah Liza.”
Ibu menghela nafas panjang, “Semoga Allah melindunginya…”, kata ibu lirih.
“Kasihan Liza…Liza…Liza…”, aku tak kuasa menahan tangis.