Foto ilustrasi diambil dari cookingupcottage.
Sebelum kutulis kisah nyata hidupku ini. Aku mohon maaf kepada kedua adik iparku yang ada di Taichung. Bukan maksudku menjelekan nama baik kakakmu.
Dan untuk Rudi di Tainan, sebagai adiknya Mas Zein kalau kamu belum pulang ke Indonesia, terima kasih karena Kamu telah tahu fakta yang nyata dari Mas Zein.
Terucap salamku untuk keluarga besarmu yang ada di Muncar, Banyuwangi.
Lutvi mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Mei 1999.
Bulan Mei adalah bulan ulang tahun pernikahanku, kalau tahun-tahun sebelumnya tidak ada hal yang istimewa buatku, tapi tidak untuk tahun ini. Satu minggu sebelum hari ulang tahun pernikahanku, Aku bertengkar hebat dengan suamiku karena suamiku menghabiskan uang simpanan tanpa sepengetahuanku. Jerih payah Aku mengumpulkan uang demi anak-anakku, bahkan boleh dibilang sangat berbahaya, karena harus berhadapan dengan hukum, bahkan bisa dikutuk oleh masyarakat umum. “ Aku adalah seorang pengedar Narkoba.”
Hampir 4 tahun Aku menjalani profesi sebagai pengedar narkoba membuat Aku kini harus kehilangan semuanya, harta, suami, saudara dan kedua anak-anakku. Seakan-akan membuat penderitaan panjang dalam perjalanan hidupku……..
Malam itu seperti malam-malam sebelumnya, aku kedatangan teman dari daerah Muncar, Banyuwangi, sebut saja namanya Mas Zein. Orang Madura asli, dia sudah kuanggap seperti kakakku sendiri. Mas Zeinlah yang selama ini menjadi Bos utamaku, dari Mas Zein juga Aku bisa mengenal barang-barang narkotika terutama shabu-shabu. Sebelum Mas Zein memberiku barang untuk kuedarkan kepada para langgananku, akupun selalu mendapat bonus untuk kupakai sendiri.
Malam itu di kamar paling belakang dari rumahku (kamar yang memang khusus disediakan oleh suamiku untuk menerima tamu-tamu langgananku), bersama suamiku dan Mas Zein kunikmati barang baru yang kuberi nama “Mutiara Salju” karena warnanya yang putih berkilau bak mutiara. Diiringi alunan music slow rock dari Malaysia, kami mulai menghisap benda terlarang tersebut.
Sekitar pukul 23.00 nggak tahu bagaimana awalnya, mungkin juga dari pengaruh shabu-shabu yang kami hisap, tiba-tiba suamiku menanyakan sesuatu ke Mas Zein “Mas Sorry yah Saya mau nanya sesuatu ke Mas Zein, tolong Mas Zein jawab dengan jujur, terus terang sebagai suami yang sangat mencintai istriku, akupun bisa merasakan kalau Mas Zein mempunyai perasaan yang istimewa pada istriku. Apa Mas Zein juga mencintai istriku? Tentu saja ucapan suamiku membuat Mas Zein kaget, terutama aku. Dan akupun cuma diam saja karena takut dengan jawabanku nanti malah menyulut pertengkaran diantara kami. Lain lagi dengan Mas Zein yang tanggap dengan situasi saat itu, “sudah lanjutin saja menghisapnya, ndak perlu ada pikiran macam-macam, Aku menyayangi kalian berdua seperti adik-adikku” jawab Mas Zein.
Dengan jawaban dari Mas Zein tadi kulihat raut kekecewaan di wajah suamiku, dikira Mas Zein membohonginya. Tidak lama kemudian suamiku mengambil jaket yang aku gantung dibelakang pintu, sesaat sebelum keluar suamiku masih berdiri mematung dipinggir pintu sambil berpesan ke Mas Zein “Jangan keluar atau pulang dulu yah Mas, temani istriku sebentar, lanjuti aja kalian menghisapnya, aku mau keluar beli rokok” katanya. Akupun menjawab ucapan suamiku “Cepat pulang yah! Jangan lupa pintu depan dikunci dan kuncinya kamu bawa”. Tanpa menjawab suamiku meninggalkan aku dan Mas Zein, kulanjutkan menikmati barang haram itu berdua dengan Mas Zein.
Dua jam sudah berlalu tapi tidak ada tanda-tanda kalau suamiku bakal pulang. Sesekali kulihat telepon genggamku, barangkali suamiku mengirimkan pesan lewat sms, tapi nggak ada telepon atau sms yang masuk ke hpku, shabu-shabu yang kuhisap telah habis, tetapi suamikupun tak kunjung pulang.
Disaat Aku dan Mas Zein mengemasi alat “ BONK” bekas kami pakai, terdengar ada suara ketukan dari pintu rumahku. Akupun tak memperdulikan ketukan tersebut, kupikir kalau itu tamu langgananku pasti menghubungi no Hpku dulu. Ataukah suamiku….? Ah tidak mungkin karena suamiku bawa kunci sendiri. Ketukan dipintu semakin lama semakin keras bahkan berganti menjadi suara gedoran yang membuat jantungku seakan berhenti berdetak. Ada yang tidak beres kata hatiku, kudengar suara orang yang tak kukenal diluar memanggil-manggil namaku dengan keras, membuat putri kecilku terbangun dari tidurnya, bahkan aku mendengar banyak suara orang didepan rumahku. Detik itu Aku dan Mas Zein menyadari bahwa kami telah terkepung polisi, salah satu polisi beteriak ke putriku agar mau membukakan pintu, masih untung kunci pintu dibawa suamiku. Sambil gemetaran putriku berlari ke kamar belakang, Dia bilang “Bu ada banyak polisi didepan minta kunci pintu rumah” kuraih putri kecilku dalam pelukanku, berderai air mata membasahi pipiku, seakan-akan lepas seluruh persendian tulang-tulangku.
Walaupun aku tahu, suatu saat akan ketangkap polisi tapi saat itu terus terang aku belum siap. “Maafkan Ibu yah sayang, Ibu akan pergi sebentar, besok pagi suruh Pak De mengantar kamu dan Masmu ke rumah nenek, Ibu akan pergi jauh mencari uang yang banyak untuk kalian, kurasakan semakin erat putri kecilku memelukku, kuciumin putriku dengan perasaan berdosa dan bersalah, dan kami berduapun menangis. Gedoran-gedoran di pintu semakin keras membuat aku semakin ketakutan. Saat tidak terpikir untuk mengemasi barang-barangku, hanya uang yang kubawa dan sepotong baju yang melekat ditubuhku, Mas Zein juga membekaliku dengan uang yang cukup banyak, waktu itu yang ada dalam ingatanku aku harus lolos dari sergapan polisi, agar aku masih bisa memberi nafkah pada anak-anaku. Kutatap mata Mas Zein, aku merasakan Mas Zein sudah pasrah dengan situasi ini, Akupun memeluk Mas Zein dengan erat sebagai tanda perpisahan, Mas Zeinlah yang menyarankan agar aku sebisa mungkin menyelamatkan diri dari sergapan polisi, dengan alasan demi masa depanku dan anak-anak. Mas Zein juga yang membantuku memanjat dinding pembatas antara dapur rumahku dan gudang kecil milik tetangga. Semalaman Aku bersembunyi digudang tetangga, rasa ketakutan sangat mencekamku bahkan Aku masih mendengar suara polisi mendobrak pintu rumahku, juga masih bisa melihat dari kegelapan ada 6 orang polisi yang menangkap Mas Zein, bahkan aku melihat tangan Mas Zein diborgol, tak satupun dari polisi itu yang kukenal. Ah, masa bodoh yang penting aku selamat.
“Mana Lutvia?” tanya salah seorang polisi pada Mas Zein, “Lutvi pergi dengan suaminya dari tadi belum pulang” jawab Mas Zein. “Jangan bohong kamu, Aku tahu Lutvi dari tadi sore bersama kamu disini” bentak polisi itu. “Kenapa Saya harus berbohong, bukankah Bapak-Bapak sudah tahu kalau lutvi tidak bersamaku, dia sudah keluar bersama suaminya, saat suaminya pergi tadi” jawab Mas Zein saat itu. “Suaminya sendiri yang bilang ke kami kalau Lutvi dengan kamu disini”. “Jadi yang melaporkan itu suaminya Lutvi?” tanya Mas Zein. “Sudah jangan banyak pertanyaan, nanti saja setelah sampai kantor polisi kami menjawabnya” jawab salah satu polisi dengan angkuhnya.
Setelah perdebatan itu kulihat Mas Zein dibawa oleh polisi. Akupun mendengar jerit tangis anakku, saat itu pula ingin rasanya aku keluar dari persembunyianku menyerahkan diri dan memeluk erat anakku untuk yang terakhir kalinya, tapi aku tak mau menyia-nyiakan pengorbanan Mas Zein untukku. Tak lama kemudian aku melihat tetanggaku memasuki rumahku dan memeluk anakku. Sedikit tenang hatiku karena ada tetangga yang peduli dengan anakku.
Sekitar jam 02.00 pagi, setelah di sekitar persembunyianku agak aman. Perlahan-lahan akupun keluar dari persembunyianku, berlari dan berlari tak tahu arah yang penting aku selamat dari tangkapan polisi.
Aku terus berlari melewati hamparan sawah yang luas, rintik hujan di bulan Mei, serta kegelapan malam membuatku semakin ketakutan dengan hal-hal takhyul. Sering juga kujatuh terperosok kedalam lubang-lubang jalan pembatas antara sawah yang satu dengan yang lainnya.
Semakin lama semakin jauh kutinggalkan desaku, tak kurasakan begitu pedihnya lengan-lengan tanganku terkena goresan daun padi, haus dahaga serta rasa lapar di perutku membuat sedikit limbung langkahku.
Kira-kira pukul 5 pagi aku hampir mencapai jalan raya dan juga melihat keramaian orang-orang di pasar. Rupanya aku telah sampai di perbatasan Wonosobo dan masuk di daerah Mangir, kubeli 2 stel baju baru, akupun sempat mandi di kamar mandi umum yang ada di sekitar pasar.
Setelah aku merasa badanku agak segar dan bersih, akupun keluar membeli makanan serta satu botol air mineral. Lalu kulanjutkan pelarian dengan naik bis. Dalam bis kota akupun tak tahu mau kemana, dari terminal satu ke terminal lainnya dari kota satu ke kota lainnya. Aku tak menyadari telah ganti berapa bis, yang ku tahu sudah 4 malam kuhidup di jalanan. Terakhir kudengar kondektur berteriak Tanjung Perak…Tanjung perak. Kuterhenyak tanpa pikir panjang kulangsung turun. Suasana hiruk pikuk dipelabuhan membuatku kebingungan, bahkan serasa ketakutan apabila melihat orang yang berseragam polisi. Kuayunkan kakiku dengan gontai kepapan informasi, kubaca pengumuman. Pukul 09.00 hari Rabu kapal Tidar menuju pelabuhan Makasar telah sandar, tanpa pikir panjang akupun menuju ke penjualan tiket, kuyakinkan diriku kalau aku harus secepatnya meninggalkan daerahku.
Kusimpan rapi tiket dalam kantongku, akupun memilih tidur di pelabuhan, tak kupedulikan walau aku harus beralaskan koran. Keesokan paginya tepat pukul 09.00 kapal Tidar sudah bersiap-siap berlayar mengantar para penumpang, kukemasi barang-barangku yang memang tidak seberapa banyak. Akupun mengikuti para penumpang lainnya untuk pemeriksaan tiket dipintu utama. Walau berdesak-desakan tapi aku masih bisa menemukan tempat duduk kosong, maklum aku beli tiket kelas ekonomi, perlahan-lahan Kapal Tidar bergerak meninggalkan pelabuhan sejenak aku bisa melupakan resah dihatiku. Setelah ruangan menjadi agak tenang. Kumelangkah ke pinggir kapal, kuhirup udara pelan-pelan, Ya Allah akan kemanakah aku nanti setelah sampai dipelabuhan Makasar, tiada sanak saudara yang kukenal, dan kalau ingat keadaan anak-anakku, semakin sesak dadaku ini menahan kerinduan yang tiada tara. Beruraian airmataku, oh….suamiku tercinta tak kusangka begitu teganya kau berbuat hal sejahat itu pada istrimu. Apakah ini kado istimewa darimu disaat hari pernikahan kita? Kenapa juga kau tega memisahkan aku dengan kedua buah hatiku?