Jenuh akan kegiatanku yang itu-itu saja membuatku sering melamun. Aku datang ke Taiwan dengan job jaga nenek, beliau masih sehat, tapi dasar nenek malas! Tiap hari tidur melulu, gak pernah mau diajak jalan-jalan. Dan lagi aku adalah babu kesayangan yang gak boleh keluar, setiap gerakku selalu diawasi, terus semua barangku dan juga uangku selalu dikontrol. Teman, lihatlah betapa sayangnya bosku padaku. Setelah tugasku selesai, akupun dapat bersantai ria. Karena tidak ada lagi kerjaan, aku duduk di ambang pintu kamarku, jadi kalau nenek memanggil, aku bisa langsung ke kamarnya. Pikiranku melayang jauh ke masa lalu, sepenggal kisah klasik yang mampu jadi momok di kehidupanku.
Minggu, 14 Maret 2003
Ini adalah ketigakalinya aku menghirup hawa kota nabi itu lagi. Tapi kali ini aku tidak bernasib baik alias apes! Punya bos yang super cerewet, anak-anaknya juga amit-amit jabang bayi kayak syaitonnirrojim! Pokoknya 10×10=capek deh!! Aku selalu mencoba bertahan dan bersabar, tapi sayang hawa panas kota itu merayuku untuk hengkang dari rumah segera.
Pagi ini ialah hari ketujuh, akupun disibukan dengan serentetan sms yang saling bertanya jawab. Saat kutahu bosku sudah berangkat kerja bersama ketiga anaknya, lalu kulihat si bungsu masih meringkuk di kasurnya dan bos perempuan sedang mandi. Ah…aman! Akupun bergegas menuju kamarku, berkemas, dan selanjutnya kuturutkan niatku untuk kabur. Di ambang pintu aku menoleh ke belakang sambil bergumam, “Selamat tinggal lubang buaya!!”
Aku berhasil masuk ke mobil Mas Ade dengan selamat, sepintas perasaanku lega, mobil melaju kencang dibarengi obrolan serius. Dia, Ade namanya, lelaki asal Karawang yang sudah beristri dan beranak dua, tapi di kota ini dia ngakunya masih bujang. Ah, dasar buaya darat!
Akhirnya sampai juga di MABES (MArkas BESarnya kaburan di Madinah). Di ambang pintu itu aku disambut ramah oleh mami pemilik mabes, beliau sudah 15 tahun di sini dan menikah dengan orang sini. Ternyata ada 13 orang di dalamnya, lalu akupun bergabung dengan mereka.
Seperti biasa, setiap jumat malam kami diantar ke tempat kerja masing-masing, lalu kamis malam kami akan dijemput pulang. Begitulah rutinitas kami di kota Rosul ini. Apalagi kalau di jalan ketemu polisi, pasti kucing-kucingan dulu, ada yang ketangkap, dan ada juga yang berhasil lolos.
Di hari jumat kami semua berkumpul bersama, makan, bercerita, menari, menyanyi, tertawa, pokoknya komplit! Kulihat mereka semua bahagia, sepertinya mereka lupa pada kampung, keluarga, maupun utang yang terus beranak di Indo, padahal kebanyakan dari mereka telah berumah tangga. Keadaan demikianlah yang mampu mengikis imanku, dan ini adalah awal dari kehancuran jiwaku.
Suatu hari mami memberiku job di rumah seorang pensiunan polisi di daerah king Abdul Aziz. Di rumah itulah awal pertemuanku dengan Sultan yang juga seorang polisi. Gila!! Rumah 3 tingkat itu luasnya = luas stadion bola. Sultan adalah anak ke-2 dari 8 bersaudara. Kamis itu anak, mantu, cucu, semuanya berkumpul bersama, persis seperti hajatan. Pada pertemuan itu, benih cinta mulai tumbuh diantara aku dan Sultan, walaupun sadar dia telah beristri dan aku telah bersuami, tetapi tatapan mata Sultan selalu nyantol di hatiku bila kami bertemu muka dan kami sadar kami saling sayang. Setan yang nongkrong di otakku menutupi mata hatiku, membuatku lebih gila dari itu.
Singkat kata, aku minta bantuan dukun di kotaku untuk mendapatkan Sultan sepenuhnya (semua dukun! Kecuali dukun anak sama dukun pijat aja yang ga termasuk di dalamnya), hingga akhirnya berhasil!! Sultan bagai kebo yang dicocok hidungnya, dalam genggamanku seutuhnya.
Pikirku, tak ada salahnya bila aku meng-copy gaya hidup mami yang nikah dan dibelikan rumah, lantas rumahnya dijadikan mabes para kaburan. Oh, setan… Kumohon jangan pergi dulu dari otakku bila ini memang bagian dari hidupku. Dan terwujudlah impianku. Aku dikontrakkan sebuah rumah, lalu kujadikan mabes kedua. Aku dan mami bergabung mencari job buat teman-teman.
Itulah hari-hariku yang kuukir dengan sejuta kemaksiatan. Aku asik dengan duniaku sendiri, sekalipun statusku hanya sebagai wanita simpanan. Aku tak peduli! Yang kupikirkan hanyalah uang, uang, dan uang!! Kadang aku berpikir apakah semua ini untuk kunikmati/memang aku berwiraswasta dengan tubuh? Hingga banyak temanku yang menjulukiku dengan sebutan J-LO (bukan Jenifer Lopez, tapi Jerry lonte), walau begitu entah kenapa aku tak pernah marah/sakit hati dengan nama baruku itu.
Selasa, 14 Maret 2006
Hari ini adalah genap 3 tahun aku di kota ini, aku dirundung resah yang mendera meski aku mencoba untuk berhahahihihi dengan teman-temanku. Tapi aku tetap saja gelisah, entah apa yang mengganjal di hati hingga terasa sesak.
Aku lalu naik ke atas atap, awan gelap tapi hawanya tetap saja panas. Kutaburkan pandanganku ke segala penjuru kota, lampu indah mewarnai gelap malam. Sungguh indah kota Madinah ini….Sesaat kemudian, mataku berhenti pada satu titik, mengarah pada masjid Nabawi/al-haramain. Lampu indahnya menghiasi 10 menaranya sehingga aku terkagum-kagum.
Tiba-tiba hatiku saling bertanya jawab sendiri, sampai kapan aku harus hidup seperti ini? Menjadi perusak rumah tangga orang lain… Lagipula aku takkan bisa di sini selamanya..Mustahil bin mustajab Sultan mau ikut aku ke Indo, dan lagi bila aku memutuskan untuk bersamanya sampai mati, gak mungkin juga aku dikubur bareng. Ada lagi yang lebih penting, yaitu aku orang Indo dan pasti kembali ke Indo. Bapak, Ibu, kerabat, suami, serta anakku…Mereka semua menungguku di rumah.
Lamunanku buyar saat Anisah berdiri di sampingku. Gadis paling khusyuk dianatara kami itu pernah berkata bila hidup itu ibarat air yang mengalir mengikuti arus sampai di bentangan samudra, bila sudah sampai di samudra, air yang mengalir itu takkan pernah bisa mengulangi lagi kisah mengarungi sungai-sungai kecil yang berkelok-kelok indah.
“Yu’(Mbak), apa kamu nggak pengen ke mesjid itu untuk sholat 1 Rokaat saja?” tanya Anisah dengan suara datar. Aku hanya menggeleng dan tersenyum padanya.
“Yu’ jangan sombong dong, gak mau sujud ke Tuhan. Kamu tahu kita diciptakan dari apa?” tanyanya.
“Dari tanah,” jawabku.
“Salah! Kita semua itu diciptakan dari air hina yang lembek menjijikan dan berbau ganjil (air mani maksudnya), lalu oleh Tuhan disempurnakan bentuknya. Bila kamu sombong dan nentang Tuhan, itu nyalahi kodrat namanya. Yu’ udah Adzan Isya’ turun sholat dulu ntar keburu disholati lo!” katanya.
Kubiarkan gadis itu pergi, pandanganku tetap menuju ke menara itu. Adzan berkumandang dari berbagai penjuru, tapi entah mengapa hatiku tak bergeming memenuhi seruan itu.
Akhirnya kuputuskan untuk bekerja lagi walau Sultan tak mengijinkan. Aku ngotot untuk kerja lagi dan bilang bahwa aku bosan tiap hari susuk manis nunggu giliran.
Aku kemudian kerja di rumah seorang Kyai. Mereka benar-benar keluarga muslim taat, dan mereka adalah keluarga besar yang tiap kamis siang selalu ada jamuan makan siang, totalnya ada 26 orang, untungnya aku berdua dengan Joyce (Filipin).
Ternyata dari keluarga inilah Allah memberikan hidayah. Suatu waktu kuputuskan untuk tidak pulang ke rumah dan ikut mereka ke masjid Al-haram di Kamis malam. Setibanya di halaman masjid, ada perasaan bahagia bisa melihat masjid itu dari dekat. Langkahku berhenti di ambang pintu masjid, pintu nomor 25 itu terbuka lebar, namun membuat kakiku gemetar. Aku menelan ludah pahitku, “apa orang sepertiku diizikan masuk?” Seketika Salwa (bos perempuanku) menggandeng tanganku masuk ke dalam. Saat kulangkahkan kaki, hatiku merasa damai. Aku lalu solat sunah 2 Rokaat. Inilah pertama kalinya aku masuk bersujud pada Tuhanku yang pernah kulupakan.
Setelah selesai sholat, aku bertanya pada Tuhan: “Apa aku masih diterima di masjidMu ini yaa Rabb? Bila aku masih diizinkan bersujud, kumohon buka mata hatiku Tuhan.”
Sesaat kemudian Adzan berkumandang-suaranya masuk menyelubungi jiwaku yang kosong. Semua dosa yang pernah kulakukan terpancang satu per satu dalam fikiranku bak nonton layar lebar. Seketika itu pula aku menangis meratap. Aku benar-benar menyesali atas semua dosa yang pernah aku lakukan.
Sesaat setelah Adzan selesai berkumandang, kami sholat berjamaah Isya’. Selesai sholat Isya’, kamipun pulang.
Sesampainya di rumah, Salwa memanggilku. Di kamar Salwa bertanya padaku perihal tangisku yang tak kunjung reda di dalam masjid tadi. Akhirnya kuceritakan semua kebejatan yang pernah kulakukan. Lalu aku bertanya pada Salwa apa Tuhan mau memaafkan orang sepertiku?
“Sumpah demi nyawaku yang ada dalam genggamanNya, Allah pasti memaafkanmu. Sudahi saja. Solatlah 2 Rokaat, bersujud dan mohon ampun pada Rabbmu. Kiamat itu pasti, mohon ampunlah pada Tuhan yang memiliki nafasmu. Kecantikan itu jangan dipertontonkan, tapi suguhkan pada suami. Perbanyak dikir dan do’a, anggap esok kamu mati. Istighfar yaa umi-haram bagimu berbuat demikian” itulah sebait pesan Salwa yang selalu kuingat.
Pagi ini Salwa mengajakku ke masjid lagi untuk berta’ziah ke makam rosul. Aku dibantu Salwa minta izin pada penjaganya untuk diizinkan menyentuh kayu pembatas makam itu. Penjaga itu mengizinkan karena suami Salwa adalah pemimpin do’a di masjid itu. Subhanallah…..kayu berukir asma Allah itu wangi semerbak aroma hajar aswad. Aku seorang pendosa ternyata masih diizinkan berta’ziah dan menyentuh kayu pembatas makam yang mana tak seorangpun boleh menyentuhnya. Maka di hari itu pula aku disyahadatkan lagi, kemudian aku sholat sunah taubat 2 Rokaat. Dalam sujud panjangku itu aku menangis, meratap, menyesali semuanya. Aku berdoa pada Tuhan semoga Tuhan mengampuni dosa-dosaku.
“Ya Allah! Aku sempat berpaling dariMu, aku yang sombong, yang kufur nikmat, yang buta hati, aku mohon kembalikan aku pada fitrah, Ya Allah izinkan aku hidup beramal dan berjalan di jalanMu hingga seluruh amalanku mampu menutupi semua dosaku dan sadarkan pula teman-temanlu yang telah berpaling dari nikmatMu, tunjukkan pada mereka keagungan-Mu. Amin!” Doa itulah yang selalu kupanjatkan selesai sholat.
Sejak saat itu, kupakai lagi mukenaku yang selama 3 tahun ini selalu tersimpan rapi dalam koperku.
Selanjutnya kuputuskan untuk menyerahkan diri ke polisi. Sore itu juga aku pulang mengemasi barangku, dan sebelum menyerahkan diri, kusempatkan pergi ke rumah mami. Kemudian kami berempat pergi ke AL-Qammah belanja barang.
Sore itu kami bahagia sekali di sepanjang jalan penuh dengan tawa. Maksudnya ingin menjadikan sore itu sebagai perpisahan yang berkesan, tapi ternyata Tuhan berkehendak lain – sepulang kami dari belanja selepas 5 menit kami masuk, rumah mami digerebek polisi. Alhasil 7 orang berhasil dibekuk. Entah siapa yang lapor/polisi memang sudah lama mengincar rumah itu, yang pasti sore itu kami langsung dibawa ke tasaul (penjara kecil yang tanpa hukuman).
Sesampainya di sana, kami bertujuh dibawa ke ruang sidik. Di dalam ruangan itu ada 2 opsir polisi dan 2 orang tinggi besar-gemuk-brewok-pakai rok panjang putih dan pakai tutup kepala.
Lalu kami ditanya satu per satu alasan kabur. Ada yang menjawab bos cerewet-suka mukul-pelit-gaji gak dibayar dll. Kemudian tiba giliranku, lalu kujawab kalau bos cerewet, pelit, gaji kecil, gak cukup buat bayar utang di rumah, juga harus lebih diperhatikan lagi bila di luar sana banyak bos yang semena-mena dan …. Belum selesai penjelasanku, salah seorang dari mereka yang ber-rok panjang itu melepas egal (ikat kepala berwarna hitam yang terbuat dari rotan) nya dan melayangkannya padaku sambil memaki kami dengan sebutan 7 setan besar! jelmaan jin! ifrit neraka! Sampai urut-urutan nenek moyang setan disebut pada kami.
Oh my God!! Padahal maksud hati ingin bilang pada penguasa itu agar bertindak adil pada TKW agar tidak banyak yang kabur, eh…! malah kena pukul. Saat kulihat, lenganku berubah warna lebam merah kebiruan, nyeri-sakit sekali.
Keesokan harinya aku dipanggil lagi, padahal sakitnya masih terasa, masak harus kena pukul lagi (gumamku dalam hati). Tapi yang terjadi tak seperti yang ada di dalam otakku. Aku berdiri mematung diambang pintu kala kulihat sosok wajah yang kukenal betul, dia adalah Sultan.
Kami diberi waktu untuk berbicara, Sultan terlihat cemas sekali. Kamipun mulai ngobrol, dia mau membantuku keluar hari ini juga dengan syarat mau jadi istri ke-2nya. Tapi aku yang telah bertobat menolaknya sekalipun Sultan berkali-kali memohon. 2 minggu lamanya aku dan ke-5 temanku dalam tasaul dengan 3x sidang, sedang mami dan Mbak Susan dijemput suaminya sehari setelah penahanan.
Hari ini genap 3 tahun 1 bulan 17 hari aku berada di kota rosul ini, saatnya aku meninggalkan kota itu jam 5 pagi. Udara segarnya kuhirup dalam-dalam dan diambang pintu tasaul itu aku menoleh ke belakang melambaikan tangan sambil mengucap ma’assalamah (selamat tinggal) pada teman-teman di tasaul.
Mobil itu melaju cepat membawaku ke bandara, saatnya aku pulang ke rumah. Tak terasa air mataku jatuh… Dan di ambang pintu bandara, sekali lagi aku menoleh ke belakang – selamat tinggal kota Mainah, untuk seterusnya tidak ada lagi J-LO yang berkeliaran di kota itu, kota suci yang kujadikan sebagai kota jahanam dan kupenuhi dengan berjuta kemaksiatan itu akan tersimpan rapi dalam chip memory di otakku.
Selamat tinggal masjid Al-Haram, aku akan selalu merindukan aroma wangi nafasmu. Terimakasih keluarga Salwa, Tuhan memberikanku hidayah lewatmu. Ada lagi… selamat tinggal Sultan untuk selama-lamanya.
Semoga kisahku ini dapat diambil hikmahnya, kini bila aku mengingat masa itu, aku sering menangis. Betapa hinanya aku, aku tidak hanya merusak diri sendiri, tapi juga merusak nama baik bangsaku.
Maka dari itu teman, pengalamanku ini dapat dijadikan timbangan untuk berbuat maksiat, jangan sampai kita menjadi pendosa yang akan menjadikan kita awet duduk manis di neraka. Dan jangan sombong pada Tuhan yang menciptakan kita, karena kita hanyalah terbuat dari setets air hina lembek dan berbau ganjil pada fitrahnya. Teman, apapun agama kalian, berpegang teguhlah pada agama, karena agama akan melindungi jiwa kita dari kehancuran. Kita satu keluarga satu bangsa, jadi jaga terus martabat bagsa Indonesia, hati-hatilah mengambil keputusan dan …. CIA YOU!!!