Foto ilustrasi diambil dari can stock photo.
Malam itu, hawa musim dingin yang tidak mau bersahabat dengan tubuhku, Wang Mama yang bukan siapa-siapa aku, rela mencarikan sebuah taxi serta menemaniku untuk pergi ke sebuah klinik Dokter. Sampai di tempat itu, Dokter bilang padaku bahwa sakitku akan semakin parah jika tak bisa lepas dari depresi beratku. Diriku yang rapuh, menangis dan menangis tanpa menghiraukan sekitar. Wang Mama dengan sabar menggandeng tanganku, membawakan jaketku yang terjatuh di lantai, sambil mengelus pundakku.
“A Mei, sudahlah! Putrimu sudah damai di sisi-Nya, kamu masih muda, suatu hari Tuhan pasti akan memberi gantinya.” Entah kenapa tangisku justru menjadi-jadi mendengar ucapannya.
“Tenangkan hatimu, masih ada putramu yang masih memerlukan kasih sayangmu, kalau dia tahu kamu begini, betapa dia akan bersedih melihatmu,” ucapnya yang keras, maklum Wang Mama dari kecil memang ada kelainan di indera pendengaranya.
Tanpa kami sangka gerimis hujan pun datang, namun Wang Mama masih bersemangat mencari sebuah taxi untuk segera pulang. Akhirnya, sebuah taxi pun kami dapatkan. Dalam perjalanan di dalam taxi itu pun, Wang Mama masih saja menyemangatiku, untuk tetap bersemangat, yah, maklum aku baru belum berapa lama datang di daerah Taoyuan itu.
Ternyata menyeberangi samudera demi menghilangkan sebuah jejak dari sesuatu kejadian atau yang lebih tepatnya sebagai pelarian kesedihan hatiku karena kehilangan hal terindah dalam hidupku adalah keputusan keliru. Aku kira dengan pergi ke Taiwan, kesedihanku akan kepergian putriku yang selalu membayangi, akan hilang. Justru di saat jauh dari keluarga, suami dan anak yang kucinta tak mampu membuatku lebih kuat untuk bisa melupakanya. Di saat sendiri ingatan-ingatan itu justru semakin membuatku bersedih yang akhirnya berakibat buruk pada kondisi fisikku yang sebenarnya memang rentan dan lemah. Dokter menyatakan jantungku bermasalah, jadi jika depresi yang terlalu berat akan membuat jantungku tidak berfungsi dengan baik yang juga berakibat sesak napas, apalagi musim dingin seperti saat ini akan lebih beresiko kambuh. Di saat sakitku kambuh dan tiada orang-orang yang kucinta di sampingku, baru aku sadari, betapa aku sangat dan sangat mencintai suamiku, dan begitu aku bisa merasakan betapa sangat besarnya rasa cinta suamiku padaku, yang sebelumnya tidak aku rasakan saat masih berkumpul di kampung Indonesia. Juga putraku, betapa dan betapa aku tidak bisa jauh darinya. Sedetik terasa setahun. Di setiap detik yang kulalui seolah ada rindu yang mengiringi. Andai saja Doraemon itu benar-benar ada dan berada di dekatku, aku ingin meminjam pintu ajaibnya agar sewaktu-waktu di saat aku rindu pada suami dan anakku, jadi mudah untuk bertemu dengan mereka. Ah, itu hanya hayalanku yang tak mungkin bisa ada di dunia nyata.
Hatiku mulai agak terhibur, manakala melihat Wang Mama yang terus-terusan ngedumel karena kesal pada sang sopir taxi yang melintas pada rute yang tidak sesuai keinginan hatinya yang menjadikan ongkos taxinya lebih mahal. Akhirnya, kami pun sampai di rumah juga dengan baik hati Wang Mama, meminjamiku uang sebesar NTD 680 untuk membayar ongkos pulang pergi naik taxi tersebut dan juga untuk membayar berobat ke Dokter.
***
Hujan rintik-rintik yang disertai angin petang itu, tanpa sengaja ketika Wang Mama datang untuk sekedar ngobrol di tempatku, Wang Mama mendapatiku yang sedang sakit dengan sekujur tubuh penuh dengan merah-merah serta bentol-bentol.
“A Mei, apa yang terjadi denganmu?!” ucap Wang Mama dengan nada tinggi karena panik.
“Mungkin saja karena alergi makan ‘sea food’ Wang Mama,” ucapku sambil menggaruk-garuk karena gatal.
Dengan bekal selembar kartu nama seorang Dokter dari tetanggaku, Wang Mama bergegas pulang mengambil sepeda motornya untuk segera mengantarkanku berobat. Hujan disertai angin itu tak menyurutkan semangatmu untuk mengantarkanku.
Tak tahu kenapa, ketika tangan ini memeluk tubuh Wang Mama yang kurus ketika membonceng diriku dengan mencari-cari tempat praktek Dokter itu, airmataku menetes begitu saja. Betapa baiknya dirimu, Wang Mama. Akhirnya dengan susah payah lama berputar-putar kami menemukan tempatnya. Dengan sabar Wang Mama menungguiku di ruang tunggu bersama pasien-pasien lain yang kebetulan banyak sekali waktu itu.
Bukan hanya itu, sepulangnya dari sana, Wang Mama mengajakku pergi ke pasar yang berada di sekitar daerah Daju. Wang Mama bilang karena selama bekerja di tempat majikanku, aku tidak pernah pergi kemana pun. Wang Mama hanya ingin aku senang dan santai sejenak. Wang Mama dengan bangga memperkenalkan kuliner yang enak-enak di Taiwan yang sebenarnya aku sudah tahu dan pernah memakannya. Tapi, demi membesarkan hatinya aku berusaha membuat hatinya senang. Wang Mama membelikan lima buah ‘sui cin pao’ isi kubis dan ‘cenchu nai cha’ hangat untukku. Hhhh, Wang Mama, andai engkau tahu, sebenarnya aku sangat sungkan sekali padamu, bahkan untuk uang pengganti bensin pun engkau tidak sudi menerimanya.
***
Wang Mama, sering kali ketika engkau datang ke tempatku kau mendapatiku sedang mengerjakan shalat sebagai kewajibanku sebagai seorang muslim dengan memakai mukena merahku.
“A mei, itu bagus sekali, meski engkau sekarang di Taiwan, engkau tetap melaksanakan itu (shalat).”
“Dengan demikian, dimanapun engkau berada Tuhanmu akan selalu melindungimu.”
Setiap Wang Mama berkata begitu, aku sangat senang sekali.
Wang Mama, engkau sering datang ke tempatku sekedar untuk ngobrol dan curhat bersamaku.
Tak kusangka di balik senyum cerah ceriamu, engkau bilang padaku terkadang engkau sangat kesepian. Dua orang putrimu yang sekarang berhasil dan sukses di Amerika jarang menjengukmu. Engkau bilang padaku bahwa kebahagian bagi orangtua seusiamu bukan hanya berlimpah materi saja. Kau bilang, terkadang juga merasa iri melihat tetangga yang seusiamu yang sedang asik bermain dengan cucunya. Engkau tidak akan pernah merasakan itu, karena kedua putrimu lebih mementingkan karir mereka daripada memiliki seorang anak. Mereka memutuskan untuk tidak memiliki anak. Namun demikian engkau tetap menyayangi putrimu, itu adalah keputusan mereka. Kau juga berusaha memahami cara pikir kedua putrimu, karena kau juga menyadari bahwa hidup tanpa materi yang cukup juga sangat sulit. Sudah beberapa ‘guo nien’ engkau tidak bisa merayakanya bersama putrimu.
***
Pagi itu ketika aku masih tertidur, Wang Mama datang ke tempatku dengan membawa sarapan untukku.
“A mei, A mei, lihat! Hari ini aku membuat sarapan ini untuk anakku,” ucap Wang Mama
“Anakmu?” tanyaku.
“Iya dan yang ini khusus kubuat untukmu tanpa daging babi, semoga engkau suka,” ucapnya senang sekali sambil menyerahkan ‘cien shu ping’ padaku.
“Wang Mama, terima kasih,” ucapku.
“A mei, hari ini aku sangat senang sekali karena putriku datang dari Amerika, mungkin aku akan sibuk dan tidak bisa datang ke tempatmu.” ucapnya.
“A mei, aku sangat bahagia sekali karena aku bisa merayakan ‘guo nien’ bersama putriku,” ucapnya senang.
“O, ya, syukurlah kalau begitu,” ucapku juga ikut senang saat melihat wajah sumringahnya.
Wang Mama, terima kasih atas kebaikanmu selama ini padaku.
“Yaa Allah, yaa Tuhanku, terima kasih, hamba tahu bahwa semua ini adalah atas takdir dan kehendak-Mu, Kau pertemukan hamba dengan orang sebaik Wang Mama.”
Wang Mama, aku juga ikut bahagia, karena apa yang engkau inginkan selama ini terkabulkan, yaitu merayakan ‘guo nien’ bersama anakmu yang selama ini selalu engkau rindukan.
“Wang Mama, semoga ‘guo nien’ tahun-tahun berikutnya akan lebih indah, ‘gong xi fa zai, wo ai ni’.”
Wang Mama, zen de hen xie xie ni.
The End