Foto ilustrasi diambil dari www.nursingtimes.net
Jika ada pepatah ‘buah jatuh tak jauh dari pohonnya’, maka tak bisa kusalahkan siapapun atas kehidupan perih yang kualami. Melihat apa yang terjadi dalam kehidupan rumah tangga kedua orangtuaku, dan menyadari apa yang kualami sendiri di kehidupan perkawinanku, maka baiknya aku berpasrah dan banyak-banyak berdoa memohon ampun pada Tuhan.
********
Namaku Eka. Anak pertama dari dua bersaudara. Adikku satu-satunya berjenis kelamin laki-laki. Kulitku sawo matang dengan tinggi badan sekitar 165 cm. Aku lahir dari rahim seorang ibu yang penyabar, pekerja keras, dan tentu saja menyayangi keluarga. Umurku 35 tahunan ketika anak keduaku lahir. Setelah melahirkan anak kedua itulah baru kusadari, bahwa apa yang kualami ini mungkin ‘akibat’ perilaku bapak yang juga kerap menyakiti ibu dengan berulang kali menduakannya.
Bapak secara fisik ganteng. Kulitnya kuning dengan badan tegap dan tinggi. Meskipun tidak memiliki pekerjaan tetap namun ibuku yang berkulit gelap, dan tingginya hanya 155 cm rasanya kontras sekali jika disandingkan dengan Bapak. Namun jodoh telah mempertemukan keduanya agar menjadi sepasang suami isteri, hingga lahir aku dan adikku satu-satunya.
Bapak terlahir sebagai anak semata wayang. Hingga seluruh warisan dari kakek-nenek menjadi miliknya. Ada satu rumah besar yang dikontrakan dan menjadi pemasukan bulanan keluarga kami. Sedangkan ibu ialah seorang penjual sayuran keliling. Masa kecilku sudah diwarnai dengan pertengkaran bapak ibu. Hampir setiap hari orangtuaku bertengkar, sudah terlalu sering aku mendengar kata-kata kasar. Apalagi kalau mendapati bapak pulang dalam keadaan mabuk.
Pasti kedua orangtuaku bertengkar hebat dan ujung-ujungnya ibu menangis, karena selain dimarahi juga, bapak kerap melakukan kekerasan fisik. Menangis hampir sering pula kualami.
Kebetulan kakek sudah almarhum. Tinggal nenekku satu-satunya yang sering melerai pertengkaran orangtuaku. Namun sepertinya nenek lebih membela bapak karena mungkin anak satu-satunya, dan tidak pernah membela ibu walaupun yang salah bapak. Tak hanya suka mabuk, bapak juga sering pergi dengan wanita lain. Pernah ada perempuan datang ke rumah mencari bapak, bahkan tak merasa malu mengakui sebagai ‘pasangan’ bapak. Hingga terjadilah pertengkaran hebat antara bapak, ibu dan perempuan itu. Sampai-sampai ibu marah dan pulang ke rumah nenek dan aku hanya bisa menangis.
Bertahun-tahun aku hidup dengan keadaan yang tidak tenteram. Sampai kemudian aku bisa menamatkan sekolah menengah atas dan bekerja sebagai seorang buruh pada sebuah usaha konveksi. Setiap hari aku pulang pergi naik bis, dan di bis itu aku berkenalan dengan seorang laki-laki. Tubuhnya sedikit gemuk, tetapi dia laki-laki pertama yang mampu membuatku jatuh cinta, sampai-sampai seluruh perhiasanku habis terjual untuknya. Tak hanya itu, kehormatanku sebagai sesuatu yang paling berharga pun kuserahkan pada laki-laki itu secara suka rela. Astaghfirullah…..
Sampai suatu ketika, aku berbadan dua. Dan laki-laki yang kucintai pun hilang entah dimana. Tak mau menanggung malu, aku ingin menggugurkan kandungan. Namun rupanya Tuhan memiliki rencana lain. Janin yang kukandung tak mau gugur, hingga tiba waktu melahirkan. Dalam keadaan kalut dan bingung, aku berkata pada bidan ingin mengakhiri hidup saja karena tak ingin menanggung malu. Bidan tersebut membesarkan hatiku dan berbaik hati mengantarkanku pulang ke rumah. Oh ya, selama aku hamil sengaja kusembunyikan agar tak seorang anggota keluargaku tahu. Hingga kedatanganku bersama bayi juga bidan yang membantu persalinan mengejutkan orang tua juga tetangga-tetanggaku.
Pencarian terhadap laki-laki yang menghamiliku pun dilakukan. Hanya dalam beberapa minggu saja, sebuah kenyataan yang kuterima sungguh mengejutkan. Orang yang menyakitiku tersebut dikabarkan sudah meninggal karena kecelakaan. Innalillahi…
Aku harus bangkit setelah kelahiran putri kecilku. Waktu berlalu. Orangtuaku juga tak pernah berubah. Sering bertengkar dan hal itu membuat kesehatan ibu menurun. Oh ya, anak perempuanku meskipun dalam pengasuhanku namun diangkat sebagai anak asuh oleh tetanggaku yang baik hati. Seluruh keperluan anakku mereka yang menanggung. Sampai kini usia putriku sudah 10 tahun. Akupun juga sudah bekerja kembali sebagai juru masak di sebuah warung makan dekat rumah.
Sejak itu aku terus mendekatkan diri pada Allah. Semoga hidupku bisa menuju ke arah yang lebih baik. Tak disangka, kembali aku dipertemukan dengan seorang laki-laki. Meskipun usianya 15 tahun diatasku, namun entah mengapa akupun juga memiliki rasa ketertarikan. Singkat cerita, aku resmi menikah pada laki-laki yang konon katanya memiliki gaji 30 juta. Aku tak tahu dia bekerja dimana. Hanya saja kalau ke rumah selalu mengendarai mobil. Ah, mungkin ini waktuku untuk berbahagia.
Akupun mengandung anakku yang kedua. Selama kami menikah, aku tak pernah dibawa ke rumah suamiku. Pertengkaran pun pecah pada saat aku hamil. Suamiku kerap memukulku, kerap mengeluarkan kata-kata kasar dan bahkan ternyata mobil yang dipergunakan untuk ke rumah sebelum menikah ialah mobil rental. Suamiku kalau marah sering pergi dari rumah beberapa hari, bahkan pernah sampai sebulan. Keadaan rumah tanggaku dibarengi dengan kondisi ibu yang sakit-sakitan. Puncaknya ketika suamiku benar-benar marah dan pergi dari rumah, dari kehamilanku usia 7 bulan sampai aku melahirkan pun tak kembali. Ibu drop dan sakit parah. Ibu di diagnosa sakit diabetes. Suamiku pergi tak kembali dan aku pun tak berdaya untuk mencarinya karena anakku masih sangat kecil.
Keadaan rumah tanggaku sudah diujung tanduk. Putri keduaku hampir setahun pun suamiku tak kembali. Ibu yang bertahun-tahun menahan kepedihan akibat perbuatan bapak, akhirnya menghembuskan nafas yang terakhir tak lama setelah usia setahun cucu keduanya. Beberapa bulan kemudian nenekku pun menyusul ibu. Keadaan ini membuatku tak henti menangis. Bapak sebagai orangtuaku yang masih hidup malah memilih menikah lagi dengan seorang janda beranak tiga. Sejak itulah bapak pergi dari rumah dan ikut bersama isteri barunya.
Kerap aku menyendiri dan mendekatkan padaNya saat malam. Aku sering berpikir mungkin ini sudah nasibku. Aku tak bisa menyalahkan bapak yang kerap menyakiti ibu dan memainkan perasaannya. Sungguh rasanya hidupku ini sudah hancur. Menginjak 3 tahun usia putri keduaku, suamiku tak pernah kembali. Status pernikahanku pun tak jelas. Apakah aku masih isteri orang ataukah aku sudah menjanda.
Tak ada yang bisa kulakukan kini selain terus melanjutkan hidup dan membesarkan anak-anakku. Beberapa pekerjaan dari buruh cuci, juru masak, sampai pembantu rumah tangga kujalani. Tak banyak yang kupinta sama Allah, hanya aku ingin diberi kesempatan untuk bisa menjadi manusia yang berguna dan lebih baik lagi.
*********
Terima kasih Ibu. Di kesendirian ini aku hanya bisa merindukanmu dengan doa. Semoga Ibu bahagia disana. Semoga Allah juga menguatkanku seperti Ibu dahulu yang tegar menghadapi hidup.
Diceritakan kembali oleh Enno Salsa