Foto ilustrasi diambil dari Berita Hati.
Aku tak pernah menyangka, jika permintaan yang (menurutku) sangat sederhana bisa memancing emosinya. Dengan tatap mata memerah, semerah amarah yang teramat sangat. Hanya helaan nafas dalam, penanda rasa kecewaku saja. Apalagi ditambah dengan perkataan kasar darinya, ah…betapa hati ini semakin sakit.
Tak tahukah ia, jika semua yang dimiliki sekarang ini hasil jerih payahku? Istri yang seharusnya dinafkahi oleh seorang suami? Tak pahamkah dia, bahwa tak sepantasnya kata-kata kasar begitu mudahnya diucapkan kepada istrinya sendiri? Bagaimana perasaan anak-anak kita yang kelak akan merekam apa yang dilihat, didengar, dan didapatkannya dari pendidikan dalam keluarga? Argh…
14 Tahun Lalu
Usiaku 16 tahun ketika itu, sekitar tahun 2000 silam. Kedua orangtuaku sudah tak sanggup lagi untuk membiayai sekolahku di tingkat atas. Bagi mereka, anak perempuan lulusan sekolah menengah pertama sudah cukup. Karena menurut mereka, anak perempuan kelak jika sudah diperisteri seorang lelaki, maka tugas utamanya yakni sebagai isteri dan mengatur urusan rumah tangga.
Sebagai anak gadis, wajar jika aku ingin seperti teman-temanku yang lain ingin melanjutkan pendidikan. Namun apa daya, orangtuaku memiliki anak empat yang kesemuanya masih membutuhkan biaya untuk sekolah. Ibu hanya seorang pedagang kecil dan bapak hanya buruh serabutan. Kami bisa makan saja sudah sangat berarti, apalagi bisa sekolah meskipun hanya sampai tingkat SMP.
Mas Mardi, seorang pemborong yang usianya 15 tahun lebih tua dari aku ketika itu. Dia adalah teman Bapak. Dari Mas Mardi lah Bapak kerap mendapatkan pekerjaan sebagai pekerja bangunan. Kalau ada proyek, maka bapak pasti diikutkan bekerja di proyek yang ia kerjakan. Sebagai pemborong bangunan, Mas Mardi bukan lulusan perguruan tinggi. Masa remajanya juga dihabiskan untuk membantu orang mengerjakan proyek-proyek bangunan. Lama kelamaan Mas Mardi makin terampil dan terbiasa dengan pengerjaan pembangunan rumah dan bangunan.
Dari sana aku dipertemukan oleh Mas Mardi. Karena kedekatan Bapak dan laki-laki yang akhirnya (kini) jadi suamiku. Permulaan pernikahan kami pun melalui pertemuan yang tak pernah kubayangkan. Dulu, aku dijodohkan dengan seorang pemuda tetangga satu desa. Waktu itu aku dan dia langsung bertunangan begitu kedua keluarga menyetujui hubungan dari perjodohan kami. Ketika beberapa hari menjelang hari pernikahan kami, tiba-tiba Mas Mardi mengajakku pergi. Aku yang masih lugu dan tak pernah bepergian jauh, tak bisa berbuat apa-apa dan hanya menurut saja saat aku dibawa Mas Mardi dengan alasan ingin diajak jalan-jalan sebelum aku tak bisa pergi senang-senang kalau sudah diperisteri orang.
Tiga hari aku diajak Mas Mardi. Ke suatu tempat yang aku sendiri tak tahu. Bukan kota kelahiranku. Aku diajak jalan-jalan, makan-makan, sampai aku tak sadar ketika itu kalau aku juga sudah kehilangan keperawanan dalam tiga hari itu. Antara bahagia, takut, bingung, dan perasaan yang campur aduk. Aku ingat dengan jelas, Mas Mardi mengantarkanku kembali pulang lepas maghrib. Saat dimana kedua orangtuaku juga bingung dan tengah mencari-cari keberadaanku. Melihat kedatangan kami, belum sempat orangtuaku berkata apa-apa, Mas Mardi langsung melamarku dihadapan bapak ibu.
Akhirnya pernikahan yang tak kuinginkan itu terjadi. Dan calon pengantin laki-laki tetangga desaku dulu juga sudah menikah dengan teman seangkatanku kala aku ‘menghilang’ selama tiga hari.
Ternyata Laki-Laki Itu…
Aku tak tahu sifat asli laki-laki yang menjadi imamku tersebut. Banyak sekali perbedaan antara kami. Selain usianya yang jauh diatasku, pemikirannya yang berbeda dengan pemikiran seusiaku, termasuk juga sifat jeleknya yang ternyata suka meneguk minum-minuman keras. Jika sudah begitu, maka emosi suamiku tak bisa terkontrol. Aku memiliki dua orang anak, laki-laki dan perempuan. Saat itu aku hanya sebagai ibu rumah tangga biasa dan suamiku tetap dengan pekerjaannya sebagai pemborong bangunan. Tak ada masalah keuangan dalam rumah tanggaku. Akan tetapi, sepertinya suamiku tidak memperlakukanku dengan sebagaimana layaknya seorang suami terhadap isteri. Suamiku kerap melayangkan tangan hanya gara-gara masalah sepele. Akupun hanya bisa diam dan menangis. Kedua orangtuaku tak mengetahui apa yang terjadi dengan keluargaku. Aku tak ingin merepotkan mereka dan menambah beban pikiran mereka dengan apa yang menimpa keluarga kecilku.
Suatu malam sekitar pukul 1, suamiku pulang ke rumah dalam keadaan mabuk. Orang yang sedang terpengaruh minuman keras, bicaranya juga ngelantur dan tak terkendali. Entah bagaimana awal permbicaraannya hingga kata-kataku yang awalnya kukira biasa saja ditanggapi dengan emosi oleh Mas Mardi. Tak pelak, sebuah pukulan keras mendarat di pelipis kiri. Sontak pandangan mataku berkunang-kunang. Kepalaku pusing dan aku langsung pingsan.
Melihatku demikian, suamiku memiliki rasa iba dan merawatku hingga siuman kembali. Namun bekas pukulan tangannya membekas menjadi sebuah benjolan dan memar yang tak bisa kusembunyikan lagi. Tak kusangka, sejak itu suamiku sering sekali memarahi kami, aku dan anak-anak. Ternyata ada masalah dengan pekerjaannya hingga pekerjaan suamiku satu-satunya itu tak bisa kami jadikan lagi penghasilan utama keluarga.
Dengan sisa uang yang ada dalam tabungan, aku pun memutar otak. Pilihan pertama langsung jatuh dengan warung kelontong. Dengan modal yang tak begitu besar, aku mulai berdagang. Dengan sabar aku tekuni usahaku, sampai lambat laun usahaku berkembang. Untuk ukuran suksesku sekarang, dengan omset lima juta rupiah per hari dari usahaku membuka warung, aku bisa mencukupi kebutuhan perekonomian keluargaku. Malah gantian suamiku kini yang kerjaannya hanya membantuku berjualan. Mengantarku berbelanja ke pasar sejak jam 3 pagi, membongkar dagangan, ikut menjaga warung hingga warung tutup sekitar jam 9 malam. Kata lelah tak ada dalam kamus hidupku. Meski begitu, ada kalanya sifat jelek suamiku yang pemabuk kerap kambuh. Sudah lebih dari 3 kali tangan suamiku dengan mudahnya memukul wajahku. Keinginan bercerai dibenakku juga sering sekali terlintas. Apalagi aku tahu, suamiku memiliki satu rekening tabungan yang aku tak pernah tahu berapa banyak jumlah tabungannya. Kalau ditanya hanya dijawab puluhan juta pokoknya. Namun angka pastinya aku tak tahu. Kenyataan itu membuatku berpikir. Akupun memiliki sejumlah investasi yang tak diketahui Mas Mardi. Sebagai jaga-jaga saja jika suatu ketika Mas Mardi menceraikanku tiba-tiba dan aku masih memiliki simpanan sejumlah uang.
***********
Kini kujalani kehidupanku dengan Mas Mardi dengan perasaan yang tak sepenuh hati. Aku tak yakin rumah tanggaku akan langgeng. Namun aku juga tak tahu apakah aku sanggup untuk berpisah suatu hari kelak jika aku sudah tak tahan lagi dengan sikapnya. Kulewati semuanya dengan datar. Entahlah sampai kapan, aku bisa bertahan.
Diceritakan kembali oleh Enno Salsa