Foto ilustrasi diambil dari Shutterstock.
Aku tak menyangka jika keluarga kecilku harus karam karena orang ketiga. Bahkan yang tak pernah kuduga sebelumnya, orang yang menghancurkan keluarga kecilku itu justru orang yang pernah kutolong dari kemalangan kemiskinan hidupnya. Andai saja waktu bisa kuputar ulang, aku akan berusaha mati-matian mempertahankan keutuhan rumah tanggaku. Semata dan tak lain demi masa depan kedua bocah kecilku yang tak tahu apa-apa namun sudah ikut merasakan akibat perpisahan orangtuanya.
Mengenang masa lalu seperti membolak-balikkan slide kenangan dalam sebuah komputer ingatan. Ada banyak hal yang tak bisa kukatakan dengan apapun tentang rasa di dalamnya. Ada cinta, haru, perjuangan, ada pula cucuran air mata. Adalah perempuan yang kukenal secara tak sengaja disaat aku masih berprofesi menjadi seorang tukang ojek. Perempuan berambut hitam lurus sebahu, berkulit sawo matang, memiliki lesung pipit yang menggemaskan, tinggi badan sekitar 158cm, dialah Tina.
Saat itu hari menjelang pagi. Aku yang sebenarnya ingin pulang ke rumah (ketika itu jam kerjaku jadi tukang ojek lepas maghrib sampai subuh) mendadak mengurungkan niat. Kulihat seorang perempuan turun dari sebuah bis antar kota. Di sebuah perempatan besar di jalan lingkar kota yang searah dengan terminal kelihatan sepi. Disanalah aku mangkal. Ada beberapa teman sesama pengojek yang pulang duluan, ada juga yang sedang mengantar penumpang.
Ah, ini mungkin rejekiku. Pikiranku berubah jadi senang dan otomatis tidak jadi mengantuk melihat ada calon penumpang turun dari bis. Hatiku mengembang. Ada sebuah koper besar dan satu tas ransel lumayan besar yang dibawa calon penumpangku itu. Benar saja, perempuan itu menghampiriku dan langsung mengucapkan sebuah tempat tujuannya. Lokasinya cukup lumayan jauh. Kesempatan untuk mengeruk uang dalam jumlah lumayan besar nih, batinku. Tanpa menanyakan berapa ongkos untuk sampai ke rumahnya, perempuan itu langsung menyerahkan koper besarnya untuk kutata di atas motor.
Lebih kurang empat kilometer perjalanan, akhirnya sampai tujuan juga. Tak nampak seorangpun di depan rumahnya yang asri. Matahari mulai menyembul malu-malu di ufuk timur. Perempuan itu langsung memberiku uang seratus ribu rupiah. Mataku terbelalak. Rupanya penumpangku itu menangkap keherananku mendapat uang lumayan besar hanya dengan sekali antar. Padahal untuk jarak yang sama, maksimal hanya kutarif 50 ribu saja.
“Tak apa-apa mas, itung-itung sedekah pagi hari ini,” katanya pelan.
“Bantu saja bawa koper sampai teras ya.” lanjutnya kemudian meninggalkanku yang masih sedikit bengong.
Sebelum aku pergi meninggalkan rumahnya, kita sempat berkenalan. Dan kutahu kalau namanya, Tina. Sederhana, manis, dan menyenangkan. Tiga kata untuk menggambarkan Tina dalam pandangan pertamaku.
Entah mengapa sejak itu aku selalu kepikiran Tina. Hingga beberapa hari kemudian, sore-sore kuberanikan diri untuk melewati jalan arah ke rumahnya. Pucuk dicinta ulampun tiba, aku bertemu dengan Tina di sebuah belokan jalan persis dekat rumahnya. Tina langsung memanggilku. Akupun kemudian berhenti. Obrolan pun terjadi. Dan ujung-ujungnya sebuah nomor hp-nya bisa kudapat. Komunikasiku sama Tina berlanjut setelah itu.
Singkat cerita, aku dan Tina menjadi sepasang kekasih. Tak menunggu lama setelahnya, kupinang Tina dengan niatan suci untuk membahagiakannya. Setahun kemudian lahirlah seorang bayi laki-laki, buah hati kami. Dan dua tahun sesudahnya, seorang bayi perempuan mungil lahir melengkapi kebahagiaan keluarga kecilku. Alhamdulillah.
Tiga tahun berlalu, dan kedua malaikat kecilku semakin menunjukkan kelucuannya. Akupun semakin menyayangi keluarga kecilku. Dahulu aku hanya seorang tukang ojek. Namun sejak kusunting Tina, aku beralih menjadi seorang sopir taksi. Untuk mendukung kehidupan perekonomian keluargaku yang makin meningkat, aku membuka warung kelontong di rumah. Selain sebagai tambahan sumber pendapatan, juga bisa menjadi kegiatan buat istriku tercinta.
Hanya dalam beberapa pekan saja, warung kelontong kami sudah menampakkan hasil yang cukup bagus. Makin banyak tetangga yang menjadi pelanggan kami. Karena semakin repotnya istriku mengurus warung kelontong kami, maka aku mencari seorang laki-laki sebagai karyawan yang bisa membantu kerjaan istriku mengantarkan pesanan ke rumah pelanggan. Andi, seorang pemuda lajang yang kukenal dari seorang teman. Andi merupakan pemuda yang lumayan santun, ia dari keluarga tidak mampu namun memiliki semangat kerja yang tinggi. Untuk itulah aku percayakan kerjaan sebagai asisten istriku dirumah padanya.
Bulan berlalu dan kehidupan pun mengalami perubahan. Entah mengapa aku mendengar kabar tidak enak mengenai istriku. Karena saking cintanya pada Tina (mungkin), aku tak begitu mengindahkan kabar burung yang jelek tentang ibunya anak-anak. Namun suatu ketika, tanpa kesengajaan kudapati Tina sedang bergelayut manja di pundak Andi. Deg! Hatiku sungguh kaget. Betapa sebuah pemandangan yang tak ingin kulihat apalagi itu menyangkut orang yang kukasihi. Aku pura-pura tak melihat kemesraan mereka (tepatnya mendiamkan saja sementara).
Sore yang tak biasanya aku pulang lebih awal dari tempat kerjaku dan akhirnya kudapati Tina sedang membagi kasih sama orang lain. Aku langsung ke dapur dan mengambil segelas air. Tak kudapati anak-anak di rumah. Biasanya sore-sore begini, Doni dan Nita buah hatiku sedang bermain ke rumah tetangga sambil menunggu waktu maghrib untuk mengaji bersama di mushola terdekat. Tina yang mengetahui kedatanganku di dapur segera menghampiriku. Dengan suara sedikit manja ia mencoba membuka pembicaraan. Sedetik kemudian kudengar sebuah motor menjauhi rumah kami. Bisa kutebak itu Andi yang sengaja pergi menghindariku.
Tadinya aku tak ingin bertengkar dengan Tina. Tetapi begitu kulihat kamar pribadi kami berantakan yang tak sewajarnya, sontak tak bisa kubendung lagi emosiku. Dengan masih menahan amarah, kutanya dengan pelan-pelan pada istriku tentang kamar yang acak-acakan. Dan istriku pun masih menyangkal kalau kamar barusan dipakai bermain Doni dan Nita anak-anak kami. Ah, memangnya aku anak kemarin sore apa? Dan menurut saja tentang kebohongan istriku.
Sejak peristiwa itu, jujur saja aku dan Tina sering cek-cok. Hal-hal kecil yang dulunya sering kumaklumi, sekarang bisa menjadi alasan pertengkaran. Dan memang benar, akhirnya Tina pun mengakui kalau ia ada hubungan dengan Andi. Astaghfirullah…..
Rumah tanggaku diujung tanduk. Aku sudah berbulat hati untuk mengikhlaskan saja istriku jatuh kepelukan Andi. Toh kenyataannya istriku juga mencintai pemuda lajang itu. Akhirnya perceraian pun menjadi ujung dari kisah kehidupanku dengan Tina. Dan saat Tina meminta harta gono-gini, kuberikan sebuah warung kelontong, dua buah sepeda motor dan perlengkapan rumah tangga. Akupun dengan tegas juga bilang pada Tina agar tak menyisakan sedikitpun barang-barang untukku. Biarlah aku melanjutkan hidupku bersama kedua buah hatiku yang kebetulan hak asuh anak akhirnya jatuh ke tanganku.
Doni dan Nita pun ikut merasakan imbas perceraian kami dan menjadi bahan gunjingan teman-temannya di sekolah. Maka kuputuskan untuk memasukkan keduanya ke sebuah sekolah yang berbasis agama agar kelak mereka bisa mengarungi hidup yang tak selamanya indah ini dengan landasan agama yang kuat. Supaya kehidupan mereka lebih baik dan lebih tertata .
Kehidupanku pun dimulai dari nol kembali. Perjuangan di medan bernama kehidupan dimulai sejak itu. Tak takut apapun bahkan tak perlu ada yang dikhawatirkan, meski seorang lelaki sepertiku harus mengasuh kedua buah hati sendirian. Rintangan apapun akan kuhadapi.
Kini, dua tahun sudah aku menduda. Namun, aku tetap tegar.
Diceritakan kembali oleh Enno Salsa