Foto ilustrasi diambil dari Glassdoor.
Seharusnya aku bersyukur dengan keadaan keluargaku. Dengan kedua jagoan kecilku yang selalu menyenangkanku, dan tentu saja suamiku yang sangat setia. Si sulung yang jago futsal, si bungsu yang langganan juara menggambar, dan suami yang rela menempuh 1 jam perjalanan ke tempat kerjanya demi menafkahi keluarga yang ia cintai. Seharusnyalah, aku sangat bersyukur. Syukur yang sebenarnya dan benar-benar tulus, ketika apa yang kulakukan tak menyakiti mereka.
Sejak aku dinikahi oleh Mas Dar, dengan jarak usia kami yang terpaut 8 tahun dan aku lebih muda, hidupku terasa makin lengkap. Apalagi dengan kehadiran dua buah hatiku yang lucu-lucu. Sempurna! Ya, bersama suami yang jadi PNS disebuah Sekolah Menengah Kejuruan cukup bahagia diriku saat itu.
Oh ya, namaku Wanti. Perempuan berambut ikal, berkulit kuning langsat dengan bibir sedikit tebal. Usiaku tahun ini 43. Kedua orangtuaku sudah tiada. Bahkan almarhum Ibu meninggal saat aku masih kecil. Aku anak satu-satunya dalam keluargaku.
Untuk menunjang karir, sebagai pemegang keuangan disebuah sekolah dasar negeri, aku meneruskan kuliah yang dulu hanya sampai Diploma III. Disebuah perguruan tinggi negeri dengan jurusan ekonomi, disanalah kini aku tinggal menunggu wisuda. Kalau saja tidak muncul keresahan mendalam tentang seseorang yang berpengaruh dalam kantorku, tentu akupun tak ikut-ikutan merasakan resah. Dan mungkin, dari sinilah sekuat tenaga ingin ku akhiri saja ceritaku dengannya; lelaki kedua dalam hidupku.
Dia, lelaki yang sekitar 11 tahun menjadi sosok yang dekat denganku. Bukan suamiku! Bukan! Melainkan seseorang yang seharusnya ku hormati karena usia yang terpaut 17 tahun, dan yang lebih penting lagi dia adalah atasanku. Aku biasa memanggilnya Pak Gun. Siapapun segan untuk berdekatan denganku walaupun tidak ada maksud apa-apa. Sebab teman-temanku takut sama Pak Gun.
Awal mula aku dekat dengan Pak Gun memang tak sengaja. Atau sengaja mungkin? Sebab aku dengan sadar juga membukakan hati untuknya. Ah, entah apa itu namanya, yang jelas aku dan Pak Gun dekat. Sedekat apa, hanya kami yang tahu. Suatu ketika, 11 tahunan yang lalu aku diterima kerja menjadi pegawai negeri sipil. Alhamdulillah lingkungan kerjaku sangat baik. Dan tempat kerjaku tak terlalu jauh dengan tempat tinggalku. Cukup 20 menit saja sampailah aku dikantor.
Hari pertama masuk, tak ada yang istimewa namun aku sungguh bahagia. Sekitar seminggu kemudian, tiba-tiba Pak Gun mengajakku ke suatu tempat. Tanpa menjelaskan dengan detail kemana arah tujuannya, Beliau mengajakku dan aku menurut saja. Dalam hati, ada sedikit ketakutan dan tanda tanya kenapa Pak Gun mengajakku pergi berdua saja. Yang muncul dibenakku ialah ada kemungkinan aku melakukan kesalahan dan membuat Beliau marah.
Dalam perjalanan yang entah berujung dimana, Pak Gun mulai bercerita tentang kondisi istrinya yang sering sakit-sakitan. Maka dari itu Beliau membutuhkan seseorang untuk menjadi tempat curhat segala masalahnya. Dan, anehnya Pak Gun memilihku! Sontak aku ingat kata-kata Pak Herman, rekan satu kantor yang pernah memberitahuku kalau Pak Gun akan lebih perhatian sama karyawan barunya yang cantik. Ehm…hatiku tak karuan.
Dengan raut sedikit memohon dan dengan kesadaranku sepenuhnya akhirnya aku dan Pak Gun sepakat untuk menjalin hubungan. Arrghh…maafkan aku suamiku….diam-diam terselip rasa bersalah sama orang yang kucintai dirumah. Namun atas nama karir, aku harus rela menjadi kekasih atasanku.
Hari demi hari kulalui dengan penuh kecemasan, cemas kalau ketahuan dan cemas kalau aku dipecat. Jujur saja, kebahagiaan apapun dengan perselingkuhan ini tetap saja bukan kebahagiaan yang sebenarnya. Oh ya, sejak kujalin hubungan dengan Pak Gun, aku memiliki modal untuk berwirausaha. Bahkan aku mencoba-coba peruntungan dengan ikut bermain di pasar saham. Namun sayangnya, modal yang kusetor 15 juta akhirnya habis karena ditipu oleh teman yang kupercayai. Kenyataan pahit ini bahkan tak diketahui suamiku. Ohh…
Aku memiliki kolam ikan, juga membuka usaha air minum isi ulang. Semua penghasilan yang kuperoleh sudah berbuah hasil dengan sebuah mobil, rumah yang lumayan luas, beberapa sepeda motor, dan sedikit deposito di sebuah bank. Terakhir aku ikut investasi juga di sebuah asuransi sebagai tambahan cadangan uang untuk hari tua. Beberapa bulan lalu, aku bertengkar hebat dengan Pak Gun. Handphone milikku satu-satunya disita. Beliau marah dan curiga kalau aku memiliki hubungan khusus dengan lelaki lain. Padahal aku sudah bersumpah kalau aku tak memiliki laki-laki lain selain suamiku di rumah. Kejadian itu membuatku malas berangkat ke kantor. Dan beberapa hari aku tidak masuk kerja. Suamiku lagi-lagi tak mengerti masalah ini. Jam enam pagi sudah berangkat ke kantor dan pulang kembali jam 5 sore. Jadi ia tak pernah tahu kalau aku tidak pernah kerja soalnya jam 2 aku biasanya sudah pulang ke rumah.
Seorang temanku menjenguk. Temanku itu tahu persis hubunganku dengan Pak Gun dan kejadian perebutan handphone milikku. Disuruhnya aku bersabar. Yang mengagetkanku, penyakit Pak Gun ternyata kumat. Ya, Beliau memiliki penyakit darah tinggi dan penyakit gula. Kadar gulanya sampai 300. Dan beberapa hari sudah tidak masuk kerja pula.
Hingga satu minggu aku meliburkan diri, dengan perasaan yang sudah tidak nyaman, aku kembali kerja. Pak Gun masih belum masuk kantor. Beliau sakit. Semua temanku sudah menjenguk, kecuali aku sendiri. Yang kurasakan setelah sepekan tidak kerja ialah rasa yang pelan-pelan memudar. Entah mengapa, keinginanku untuk berpisah sama Pak Gun kuat sekali. Apalagi setahun lagi Beliau sudah pensiun, makin kuat lah hati ini untuk mengakhiri hubungan. Lelah sekali rasanya bermain perasaan dengan orang yang sebenarnya tidak boleh dicintai. Dan terutama yang membuatku sangat merasa bersalah sama keluargaku tercinta.
Aku ingin kembali ke pelukan suamiku utuh. Dengan cinta yang tak terbagi. Aku ingin menikmati hidup dengan kebahagiaan yang sejati. Bukan kepura-puraan atas nama apapun. Beberapa malam kudekatkan diri kepada Tuhan, semakin kuatlah aku dengan keputusan ini. Aku ingin pergi dari Pak Gun. Aku hanya ingin lebih tenang di masa tua, bersama anak-anak dan suami tercinta.
*********
Lepas, lepaskan cinta yang masih ada dalam hatiku Tuhan…
Dan dekaplah aku dalam ampunanMu…..
Mosaik perih hidupku, ingin kuakhiri sampai disini
Diceritakan kembali oleh Enno Salsa