Foto ilustrasi diambil dari 123rf.
Bila saja suratku ini mampu kubaca ulang dihadapan anak cucuku kelak, pasti mereka akan menjadikannya suatu pelajaran yang mungkin tak pernah di dapatkannya di bangku sekolah. Andaipun mampu kukatakan pada seorang perempuan yang sanggup mendampingiku, tentunyalah ia dengan kebesaran jiwanya yang mau menerimaku akan senantiasa menjaga agar suaminya ini selalu di jalanNya.
Dan kalaupun kubersimpuh di telapak kaki ayah terutama ibu, kuharap dengan kasih tulusnya mereka merengkuhku kembali seperti ketika aku di lahir besarkannya. Tak terkecuali kepada orang-orang yang telah kusakiti, dan keluarga yang menanggung akibat dari perbuatanku, kusangat mengharap pintu maaf itu masih ada. Sehingga di hadapan satu-satunya pemilik nyawa ini, diriku diberi kesempatan untuk taubatan nasuha kembali ke jalanNya dan meneruskan jauhnya perjalanan bernama kehidupan ini dalam indahnya tuntunan agama. Bila saja…
*******************
Surat Penyesalan
Perenungan yang justru muncul bersamaan dengan tubuh tak berdayaku memasuki sebuah ruangan yang paling di benci oleh tiap manusia di muka bumi. Salah satu ruang di sebuah gedung dimana kebanyakan orang yang datang kesana ialah manusia yang sedang diberi kenikmatan ujian berupa sakit. Ruang yang beberapa jam lagi kumasuki ini bernama ruang operasi.
Aku memandang ke langit-langit dengan ribuan panjatan doa. Ada ayah, ibu, Mas Syakur, Mbak Ghina yang mengelilingi ranjangku dengan wajah penuh harap dan cemas. Aku tersenyum. Kucium tangan orang tuaku meski dalam tubuh yang lemah, masih bisa kulihat bening di sudut mata ibu. Beliau menyungging senyum, menyemangatiku, mengusap wajahku dengan lembut. Ah, aku seperti terlontar pada ruang hidupku dua puluh tahunan yang lalu. Saat Rie kecil demam setelah sebelumnya bermain hujan-hujanan. Ibu hampir setiap hari begadang untuk menjagaku, merawatku dengan sabar dengan sentuhan lembut tangan beliau yang slalu menenangkan jiwa.
Aku ingin kembali ke masa lalu, sungguh. Masa kecil yang penuh kepolosan. Apa adanya sebuah kehidupan yang semestinya dijalani. Sebuah kejujuran bersemayam disana. Kesederhanaan hidup yang sangat jarang kutemui diusia sekarang, ke sekolah di pagi hari hingga siang, bermain layang-layang atau sepak bola disore hari, dan lalu mengaji kala petang. Ah, waktu yang takkan terhapus di rekaman pikiran.
Tetapi yang berbicara padaku sekarang, ialah kenyataan yang pahit. Dunia penuh keindahan yang bisa kunikmati sebelum aku teruji sakit, harus kutinggalkan seiring lautan sesal di kedalaman pertaubatan. Rabb, baru kusadari jika ada anggota keluarga yang sakit pasti seluruh keluarga akan merasakan kesakitan itu. Bahwa jika ada anggota keluarga yang meninggal, tentulah seluruh keluarga bahkan saudara dan teman akan merasakan pula kehilangan. Rabb, kenapa ketika itu aku tak berpikir tentang semuanya? Kenapa demi keegoisan harus kusakiti banyak sekali orang? Rabb, aku sungguh menyesal.
Isi seluruh dadaku yang menyesak, merangsak naik dan mendorong embun bening mata keluar dari sudut-sudutnya. Ya, aku tak malu lagi menangis. Aku bukan Rie yang dulu, yang tak mengenal air mata dan kesedihan. Bukan seseorang yang dikenal jago berkelahi, juara mabuk, dan tak berperasaan menuntaskan masalah dengan hunusan pisau. Aku menyesal, Rabb. Sudah berapa nyawa tersakiti olehku. Beberapa diantaranya harus dirawat di rumah sakit bahkan ada yang kembali padaMu oleh tusukanku, dan berapa banyak orang yang merasakan duka karenaku? Ya Rahmaan, bilakah waktu bisa kembali sungguh aku takkan mau tersesat kembali di jalan gelap itu.
Kutatap satu persatu keluargaku. Kuyakinkan mereka bahwa Rie akan baik-baik saja. Allah akan menolongku. Ibu, seberapa banyak aku telah membuatmu kecewa, membuatmu merasa gagal sebagai orang tua, namun cintamu takkan pernah habis untukku. Aku tahu kau bahkan bertaruh nyawa untuk memberiku kesempatan di dunia ini. Kau bertaruh dengan banyak harapan yang terpanjat di doa-doamu. Tetapi kenyataan membuatmu mengeluarkan air mata tiada henti. Membuat hatimu terluka oleh sikap anakmu ini. Ibu, bahkan aku belum bisa membahagiakanmu. Membuatmu bangga memilikiku, anak yang selalu kau bilang hebat itu. Ibu, semoga Allah memberi kesempatan padaku untuk bisa membuatmu bahagia. Membuatmu merasa bangga dan merasa menjadi orang tua yang berhasil karna melahirkan anak hebat. Ibu, bilakah waktu akan Tuhan sediakan untukku membahagiakanmu?
Ayah dan Mas Syakur, berapa lebam hatimu terluka olehku? Saat polisi mencariku karna telah menyebabkan orang lain terkapar di rumah sakit, saat kalian kebingungan ketika aku pergi dari rumah beberapa hari tanpa pamit, saat menjelang subuh aku pulang dalam keadaan mabuk berat. Tentu ini sangat mengecewakan bukan? Sungguh, kini Rie menyesal, Rie minta maaf. Aku tahu kalian sayang padaku, kalian orang-orang yang tulus menjaga dan mengingatkanku tanpa henti, kalian ada untukku tanpa pamrih. Tak seperti temanku minum, mereka satu persatu pergi meninggalkanku justru di saat aku tengah sakit. Mereka seolah tak lagi mengganggapku ada. Satu hal yang dulu belum pernah kukatakan untuk temanku didunia hitam, aku sangat menyesal pernah berteman dengan mereka. Bilakah waktu memanggil juga mereka untuk bertaubat, Rabb?
Kembali aku tersedu. Mengingat lalu yang sungguh buatku gagu, ingin rasanya menghukum diriku dengan menegak racun serangga atau menusuk diri dengan pisau yang dahulu pernah kugunakan untuk melukai orang. Aku ingin melakukannya agar terbalaskan dendam mereka padaku. Dendam orang yang kusakiti, yang membenci dan merutuki perbuatanku. Aku ingin melakukannya di tebing jurang, lalu terjun bebas setelah itu.
Akan tetapi Allah masih sayang padaku. Diingatkannya hati ini pada orang-orang yang berjasa menjagaku hingga sekarang, hingga aku belum bisa membalas kebaikan mereka. Diingatkannya aku pada sosok guru mengajiku di waktu kecil. Dimana kukenal agama begitu dalam, dikenalkannya aku akan kitabNya yang kudus bahwa didalamnya telah tertulis firman yang melarang manusia menempuh jalan itu. Allah membenci orang-orang yang berputus asa dan perbuatan bunuh diri. Ya, sontak hatiku beristighfar. Kembali diri ini khilaf memiliki pikiran sesempit itu. Bilakah, bilakah memang aku diijinkan kembali ke jalanMu dan menjadi orang berguna?
Kidung-kidung doa bertebaran di sekelilingku. Bersamaan dengan suntikan penahan rasa sakit yang dokter berikan. Mataku terpejam pasrah. Batinku berdzikir memohon pertolonganNya. Sakit ini harus kulawan. Aku harus bisa bertahan dalam pertarungan ini dan menang. Mereka, keluarga yang mencintaiku sangat berharap diriku yang baru, bukan Rie yang penuh dengan rentetan cerita kelam. Mereka tak sabar melihatku berubah dan kupercaya Tuhan akan memberikan kesempatan. Sepucuk surat yang terselip di balik bantal putih rumah sakit, kelak kan kubacakan ulang untuk pelajaran.
Efek suntikan yang membius kesadaran mulai kurasakan. Sedikit demi sedikit kesadaran ini menghilang lalu kemudian hilang bersamaan tim dokter yang berjuang mengoperasi tubuh lemahku. Seperti melihat diriku sendiri di atas ranjang dimana aku tergolek tak sadar dari kerumunan tim dokter yang tegang. Tak terkecuali di balik pintu operasi, duduk orang-orang yang tak hentinya memanjat doa, ayah, ibu, dan kedua kakakku. Sungguh aku ingin segera terbangun dan berlari memeluk mereka. Akan kukatakan banyak hal untuk kesempatanku menjadi diriku yang baru.
Aku tak sabar untuk bisa membahagiakan mereka. Membuat mereka tersenyum dan bangga akan keberhasilanku. Ya Rabb, jangan waktu Kau hentikan seketika ini, jangan kau satukanku dengan sepi karena waktu telah memanggil. Oh Rabb, biarkanlah kucari sebanyak mungkin teman. Teman yang bisa menemaniku, teman sejati yang sangat kuidamkan, teman yang takkan hilang walau apapun. Teman itu bernama amal.
Rabb, masih adakan waktu itu untukku? Sebelum diri ini benar-benar kembali dan pintu kesempatan telah tertutup? Aku memohon padaMu. Bila saja waktu masih menyisakan tempatku bertaubat, maka takkan kusiakan lagi.
***********
Surat dari Rie memang terbaca, tak lama setelah ia keluar dari ruang operasi. Tetapi yang pertama membaca ialah keluarga yang menungguinya. Airmata yang memang sudah tumpah kian membanjir tiada kendali. Surat penyesalan yang ditulis Rie merupakan satu-satunya curahan hati yang tulus untuk orang-orang yang pernah ia sakiti.
Mungkin Allah SWT lebih mencintai Rie yang ‘baru’ untuk bersanding di sisiNya. Karna setelah ia benar-benar menyesal atas segala perbuatannya di masa lalu, dan bertaubat, dan kemudian kesempatan itu telah sampai di ujung masa ia harus kembali menghadap Illahi. Sebuah lagu Opick “Bila Waktu Telah Berakhir”, sungguh sebuah perjalanan keinginan seorang Rie yang akhirnya kehilangan waktunya untuk mengulang kebaikan di masa lalu.
Sungguh Allah SWT Maha Pengampun. Bertaubatlah dan kembali ke jalanNya, sebelum waktu itu telah habis tak menyisa sedikitpun kesempatan.
Diceritakan kembali oleh Enno Salsa