Foto ilsutrasi diambil dari us.macmillan.
Sebagai seorang anak yang harus berbakti kepada orangtua, rasanya aku sudah melakukannya sesuai dengan kemampuanku. Aku ingin mereka bahagia dengan apa yang kulakukan. Aku juga ingin melihat mereka tersenyum dengan apa yang telah kuraih sampai hari ini, di usiaku sekarang.
Bentuk dari keinginanku untuk membahagiakan orangtua yakni dengan menuruti apa permintaan beliau. Termasuk yang kulakukan sekarang, menjadi seorang penjual koran di perempatan. Sudah kulupakan apa itu malu, sudah kusingkirkan ‘hak-hakku sebagai seorang anak’. Bahkan cita-cita sederhana untuk menamatkan sekolah dasar saja harus kupendam dalam-dalam. Arrhhgg….
******************
Namaku Untung. Kata bapak dan ibuku, arti namaku itu agar aku selalu menjadi anak yang beruntung. Umurku masih sembilan tahun. Tapi aku sudah bisa mencari uang sendiri dengan berjualan koran. Tiap jam 10 pagi sampai jam 2 siang masa kerjaku di sebuah perempatan cukup ramai di kota dimana aku dilahirkan. Awalnya aku sempat protes sama bapak dan ibu. Sebab tanpa kutahu kapan pastinya, orangtuaku tak mengijinkanku tuk melanjutkan sekolah lagi. Alasan pastinya aku tak tahu. Ataukah, sejak dulu bapak pernah sakit ya? Ah, entah lah…Sekolah tempatku menimba ilmu katanya gratis tapi kok bapak sama ibu masih keberatan kalau aku sekolah. Untuk itulah aku berjualan koran ini.
Setiap jelang subuh, bapak sama ibu sudah membangunkanku. Setelah sholat subuh, bapak pergi ke agen koran untuk mengambil dagangan. Sedangkan aku bersama adikku yang masih TK masih terkantuk-kantuk menunggu ibu yang tengah memasak di dapur. Walaupun rumah kami tak seluruhnya berdinding permanen alias ada beberapa bagian rumah terutama di dapur yang masih menggunakan dinding, keluargaku ini sangat menikmati kehidupan kami.
Setelah membantu adikku mandi dan membantunya memakai baju seragam sekolah, aku sendiri juga terus mandi. Sekitar setengah 7 pagi, usai aku dan adikku sarapan nasi dan tempe goreng, ibu bergegas ke rumah tetangga. Disana ibu bekerja sebagai tukang cuci. Ya, walaupun tidak setiap hari namun cukup lumayan untuk membantu menghidupkan perekonomian keluarga.
Dahulu, tepatnya setahun lalu sebenarnya aku juga sekolah. Akan tetapi suatu ketika bapak yang sering mangkal sebagai tukang koran di perempatan sakit. Otomatis membuat ibu sedikit kelabakan karena bapak satu-satunya tulang punggung keluarga. Oh ya, saudara-saudara baik dari ibu maupun bapak juga kehidupannya sederhana. Jadi tidak bisa membantu banyak atas keadaan rumah kami. Awalnya setelah pulang sekolah (aku masih kelas 1 SD ketika itu) ibu membawaku dan adikku (yang belum sekolah) ke perempatan jalan, tempat biasa bapak menjajakan dagangannya.
Entah karena iba atau hari keberuntungan kami sekeluarga ketika itu, dalam waktu tak berapa lama dagangan ibu laris manis. Anehnya, setiap motor atau mobil yang lewat, mata mereka selalu tertuju padaku dan adik. Ehm…aku dan adik ketika itu cuek saja. Malah asyik becanda dipinggir jalan sambil sesekali menutup hidung karna asap kendaraan yang lalu lalang terlalu pekat.
Beberapa jenis koran yang kami jual pada waktu itu, awalnya aku tak tahu mendapat keuntungan berapa. Aku sendiri belum terlalu pintar menghitung uang. Yang kutahu, membeli sesuatu itu harus pakai uang. Baru kutahu berapa keuntungan dari menjual koran setelah setahun kemudian aku benar-benar menjadi penjaja koran. Dan kami hanya mendapat keuntungan 10% dari harga koran.
Seminggu sudah bapakku sakit. Aku tak tahu sakitnya apa. Hanya sering sekali kudengar bapak batuk-batuk terus. Kasihan sekali bapakku. Ibu yang dengan sabar merawat bapak tak pernah kudengar mengeluh. Uang hasil kerja ibu, sejak bapak sakit lebih banyak dihabiskan untuk membeli obat dan membawa bapak ke puskesmas. Beberapa tetangga yang dekat datang menengok bapak. Ada yang memberi buah-buahan, ada yang membawa beras, malah ada pula yang memberi uang. Alhamdulillah…bapak dan ibuku tersayang masih disayangi pula oleh tetangga-tetanggaku.
Aku masih ingat, waktu itu musim hujan. Ah…aku benci! Dagangan ibu jadi banyak yang tidak terjual. Aku dan adik berteduh di emper rumah orang. Belum lagi setelah berjualan, kami pulang ke rumah dan melihat atap rumah bocor sana-sini. Aku cepat-cepat membantu ibu mencari ember atau apa saja yang bisa digunakan untuk menampung air hujan yang masuk ke rumah. Adikku kedinginan. Kupeluk dia karena aku juga kedinginan. Melihat aku dan adik saling berpelukan, ibu segera membuatkan teh hangat dan beberapa gorengan kepada kami. Ah, terimakasih ibu….
Hari-hariku semenjak ibu jadi akrab dengan berbagai kendaraan dan jalanan. Bapak mulai sembuh pun ibu belum mengijinkan bapak berjualan. Ibu mengambil alih tugas kepala rumah tangga. Meski dirumah, bapak tak hanya diam saja. Berbagai pekerjaan rumah seperti bersih-bersih, menyapu, mencuci piring, dikerjakan oleh bapak. Terkadang batuk bapak sesekali masih terdengar. Siang hari atau menjelang waktu dhuhur biasanya kami sudah pulang dari berjualan koran dan membeli beberapa makanan untuk lauk makan siang.
Beberapa bulan kemudian pas penerimaan rapor kenaikan kelas, dan karena kondisi bapak yang kerap sakit-sakitan membuat ibuku mengambil keputusan pahit, aku harus membantu ibu berjualan dan gantian adikku yang masuk Taman Kanak-Kanak. “Setahun saja ya, Nak.” kata ibu ketika itu. Aku diam. Entah mengiyakan ataukah protes tanda tak mau, yang pasti sejak itu aku benar-benar membantu ibu berjualan.
********************
Saat kulihat anak-anak seusiaku diantar orangtuanya ke sekolah, ada perasaan yang sulit kukatakan. Aku ingin seperti mereka. Aku hanya bisa menunduk dan menenggelamkan wajah dalam tumpukan koran yang kujual. Bahkan ketika aku sering diperhatikan oleh mbak yang akhirnya mampu membuatku bercerita ini, aku masih berkeinginan untuk sekolah lagi.
Nasibku mungkin tak sebagus nama yang kusandang, Untung. Namun aku bersyukur, Allah masih memberikan kami nikmat kesehatan. Bapak sudah bisa bekerja lagi dan adikku juga bisa sekolah. Ibu dan aku juga sehat. Yah..Setidaknya untuk saat ini keadaanku begitu.
Akan tetapi, aku berdoa kepada Allah SWT, agar kelak aku bisa memetik buah kesabaran ini. Sampai detik ini, apa yang kulakukan semata-mata untuk membahagiakan orangtuaku. Esok pun, saat Allah memberiku kesempatan untuk meraih cita-citaku sebagai polisi, tetap akan kupersembahkan untuk kebahagiaan keluargaku, orangtua dan adiku tersayang.
Ya Allah…aku ingin Kau kabulkan doaku.
Aku ingin, cita-cita sederhanaku untuk bisa sekolah lagi dapat terlaksana secepatnya.
Sebab aku juga ingin, secepatnya bisa membahagiakan bapak dan ibuku..
Ya Allah…semoga inginku ini menyata.
Amin.
Diceritakan kembali oleh Enno Salsa