Foto ilustrasi diambil dari Shutterstock.
Pagi yang cerah, “Cao!” Ku sapa satpam yang selalu standby di pagar apartemen tempatku bekerja. “Akong Cao! Jin thian thian chi hen hao,” sapa satpam pada kakek.
“Shi,” jawab kakek ketus.
“Dasar kakek galak,” batinku.
Panggil saja aku S, dua setengah tahun lebih aku di Taiwan. Jobku jaga Akong berumur 85 tahun, tinggi ganteng, cerewet, pikun dan suka makan seperti gilingan tahu. Masih bisa jalan, tetapi karena dia malas jadi memakai kursi roda. Aku menyukai jobku, keluarganya baik apalagi setiap pagi dan sore kakek selalu minta ke taman, jadinya aku gak terlalu boring…
Hari ini cerah, seperti biasa ku giring kakek ke taman untuk “dipanasi”. Ku dorong kursi roda ke jalan yang biasa ku lewati setiap hari, sambil melirik sana sini menyapa tetangga kanan kiri. Tiba-tiba…
“Tekk…”
“Suara apa itu?” tanyaku.
Aiyahhh… dasar kakek, gigi palsunya dibuang. Kakek memang memakai gigi palsu atas dan bawah, karena dia pikun, dia tidak tahu kalau itu gigi. Lalu ku ambil gigi palsu kakek yang dibuang di halaman rumah orang, ku taruh gigi palsu itu dalam plastik dan ku masukkan dalam tas yang ku cangking tiap hari, sekarang kakek hanya memakai gigi palsu atas. Tanpa pikir panjang, ku genjot dan ku lanjutkan perjalanan.
Rasa haus yang datang mengharuskan ku untuk berhenti sejenak di 7-11 terdekat, setelah membeli sebotol air kembali aku lanjutkan perjalanan ke taman. Sesampai ditujuan, aku langsung menuju tempat duduk yang selalu aku duduki. Majikanku melarangku berkumpul dengan teman-teman di taman, walaupun begitu tetap saja aku bisa menggosip jarak jauh.
Ku keluarkan anggur yang aku bawa dari rumah, kakek sangat menyukai buah anggur. Dengan tak sabar kakek mengambil anggur dan langsung masuk ke mulut lebarnya.
“A… yao bu dong,”
“Oh ya… kakek kan hanya ada gigi atas pantas ga bisa gigit,” tutur batinku. Aku langsung memasang gigi bawah kakek, tetapi anehnya ia tetap bilang ga bisa gigit.
“Aneh, sungguh aneh…” gumamku.
Setelah aku periksa, “Ha… wan dan… mampus… cilaka… kepriben…”
Gigi atas kakek hilang! Aku langsung bingung, aku mencari atas, bawah, kanan, kiri, jongkok, nungging sampai ndlosor, tetap tidak ada!
Aku langsung menyimpan kembali anggur dan gigi palsu kakek, “Bu yao che,” kataku pada kakek. Aku langsung tancap gas balik ke arah jalan pulang.
“Hai… S, kenapa balik lagi?” teriak salah satu temanku.
“Gigi kakek hilang,” teriakku. Semua orang langsung tertawa.
Aku berjalan bolak-balik, mondar-mandir. Mereka yang melihatku pada bingung, ah… ditambah kakek marah-marah. Aku memutuskan membawa kakek pulang ke rumah dan melapor pada thai-thai mengenai gigi atas kakek. Thai-thai yang menerima berita dengan kaget memberi tahu harga gigi palsu itu NT 60.000!!
“Wan dan… gaji 4 bulan,” gumamku, “Tekor dah…”
Waktu menunjukkan pukul 11.30, waktunya masak. Sambil masak, pikiranku tak lepas dari gigi palsu itu. “Kring…” bunyi telepon kamar rumahku. Aku tinggalkan dapur dan berlari ke kamar. Di ujung telepon terdengar suara anak perempuan kakek, hari ini hari Minggu ia mau pulang.
“Mampus, ce me pan?!” jantungku berdetak lebih kencang.
Dengan terpaksa aku telepon balik untuk memberi tahu perihal gigi palsu yang hilang, belum sempat aku jelaskan, semprotan yang langsung aku terima.
“Pokoknya harus ketemu!” teriaknya dalam telepon.
Setelah selesai masak tanpa istirahat dan makan, aku meminta izin pada majikan untuk mencari gigi palsu itu. Aku tinggalkan kakek di rumah, aku mulai mencari di rumput-rumput, pagar, selokan seakan seorang pemulung, berjalan berkeliling bolak-balik di bawah teriknya matahari. Detik waktu terus berputar, waktu menunjuk pukul 15.30, berarti hampir 3 jam perjalananku dalam pencarian ini, tanpa makan dan minum, namun tetap nihil. Aku dikagetkan dengan bunyi hp kakek yang aku bawa.
“Wei…” sapaku, tanpa aku duga dampratan dan semprotan anak perempuan kakek datang lagi. Dia marah besar, aku tertunduk dan berdoa pasrah, hen lei…
“Aha… kamera!” setiap sudut jalan di Taiwan hampir selalu ada kamera. Aku berdiri, semangatku kembali lagi. “Cia you…” teriakku dalam hati. Aku berlari mencoba mencari tahu, aku menemukan seorang bapak yang sedang duduk di teras. Dengan bahasa yang pas-pas an aku bertanya “ Pak, mohon tanya sebenarnya dimana kita bisa melihat kamera jalan?” tanyaku gugup.
“Barang adek hilang? Barang apa? Dimana?” tanya bapak itu.
“Bukan barang saya, tapi barang kakek,” jawabku
“Barang apa?” tanyanya lagi.
“Gigi palsu kakek jatuh,” jawabku
Dengan menahan tawa si Bapak mendengarkan ceritaku mengenai gigi palsu dan ancaman 4 bulan gaji yang akan hilang juga. Dia kaget dan menyarankan aku pergi ke RT/RW kampung ini jalan sekian, nomor sekian.
“Pojok kampung ini saja aku gak tau,” gumamku. “Sie sie nin,” kataku.
Aku berlari mencari, aku bertanya satu persatu pada mereka yang aku anggap tahu, akhirnya ketemu juga…
Tanpa pikir panjang, aku menekan bel rumah, “Tet…” seorang ibu paruh baya keluar.
“Ada yang bisa dibantu?” katanya.
“Boleh tanya bu, dimana bisa melihat kamera jalan?” tanyaku.
Sama seperti bapak tadi, aku menceritakan kembali kejadian mengenai gigi palsu dan tak beda dengan sebelumnya ibu itu meledak tawanya.
“Bu, saya tidak bercanda, kalau gigi itu tidak ketemu 4 bulan gaji saya akan di potong,” aku jelaskan dengan memelas. Tampaknya ia mulai iba, “Ok, kamu pergi ke kantor polisi dekat taman!” kata ibu itu.
“Apa?” aku kaget.
Aku langsung berlari dengan perasaan yang bercampur aduk, tujuanku kantor polisi. Tubuhku tak berhenti bergetar “kantor polisi” kata itu menambah derasnya kucuran keringatku. Penampilanku apa adanya: kaos dekil, celana pendek, sepatu dengan kepala bertopi dan bermasker hitam mirip perampok bank. Aku menguatkan langkah kaki masuk ke kantor polisi.
“Siao cie, ada yang bisa saya bantu?” sapa seorang polisi yang menyambut.
Aku langsung di interogasi, apakah anda kehilangan barang? Barang apa? Dimana? Kapan?
“Bukan barang saya yang hilang, tapi barang kakek,” tambahku.
“Barang kakek? Barang apa?”
“Gi-gi pal-su,” dengan terbata aku jawab.
“Ha?” polisi itu terkejut. Aku kembali menceritakan kejadian semuanya, aku disuruh duduk, aku mencoba duduk dan menenangkan diri. Dinginnya AC ruangan membantuku tenang, pandangan mukaku segera menyapu seluruh sudut ruangan, bersih dan nyaman rasanya. Saat aku alihkan pandangaku ke polisi tadi, ia tak henti-hentinya tertawa. Ah… menyebalkan sekali, satu persatu polisi yang melihatku merasa heran dan bertanya pada polisi pertama. Seperti yang kuduga, mereka semua tertawa, apakah aku ketoprak humor? Memalukan!! Tapi apa boleh dibuat!
Penantianku terhenti setelah seorang polisi datang menemuiku, wah… cakep juga nih polisi, tinggi dan putih.
“Mei-mei,” teriaknya.
“Ya…” jawabku kaget.
Aku diajak ke ruang belakang, “Duduk!” perintahnya.
Aku dijamu segelas plastik air mineral. Sambil menikmati segelas air mineral pengobat rasa haus dan lelah, aku melihat ia membuka komputernya. Aku mulai di tanyai satu persatau tentang masalahku, layaknya seorang narapidana.
Namun aku tidak melihat tanda-tanda ia akan membantuku melihat kamera jalan seperti harapanku. Mungkin masalah yang aku bawa ke hadapannya terlalu sepele sehingga tak terlalu serius ia melayaniku. Laporan gigi palsu hilang dan memohon membuka rekaman kamera jalan oleh seorang wanita muda TKA sungguh hanya akan membuang sia-sia waktu seorang polisi seperti dia. Aku merasa semakin lelah dan lemas, namun belum menyerah. Ku katakan bahwa harga gigi palsu itu sama dengan gajiku 4 bulan, ia kaget tak percaya.
Sebenarnya aku sendiri tidak 100% percaya benarkah gigi palsu itu semahal itu, tapi itulah yang dikatakan majikanku. Beberapa orang yang aku beri tahu perihal harga selangit gigi palsu itu pun terperanjat saat mendengarnya, mungkinkah majikanku berbohong? Aku tak tahu.
Tahu resiko yang akan aku dapatkan bila gigi palsu itu tidak ditemukan, polisi itu agak mulai berbaik hati. Ia mau membantuku memperlihatkan rekaman kamera jalan di komputernya. Dan baru aku tahu, ternyata memutar kembali rekaman kamera jalan tak segampang itu. Harus menentukan kamera mana, jalan apa dan kapan waktunya. Apalagi yang aku minta sepanjang jalan yang aku lalui saat membawa kakek pergi ke taman tadi pagi. Ditambah gambar kamera yang kurang begitu jelas hingga aku kesulitan memperhatikan gerak gerik kakek kira-kira dimana ia membuang gigi palsunya.
Entah sudah berapa puluh menit atau mungkin lebih dari satu jam aku merepotkan polisi itu. Aku merasa tak enak sendiri meski tanpa hasil. Akhirnya aku mohon diri, rekaman kamera pun tak bisa diharapkan.
Aku berserah dan pasrah padamu ya Tuhan… sekarang hanya baik-baik berdoa dalam kepasrahan yang aku lakukan dalam hati, aku merasa malu dan putus asa. Setelah berterima kasih aku keluar dari ruangan. Aku melihat beberapa polisi yang memperhatikanku merasa iba. Saat keluar dari pintu, aku melihat anak perempuan kakek telah menungguku di luar gerbang sana, sepertinya ia siap menerkamku!!
“Kamu di sini ngapain?” tanyanya heran.
“Tentu saya mencari gigi palsu kakek, aku meminta bantuan polisi untuk melihat rekaman kamera jalan. Melihat dimana kakek membuang gigi palsunya,” jawabku santai.
Rasanya aku siap menerima sanksi apapun yang akan ditimpakan padaku. Aku sudah berusaha semaksimal mungkin, namun nihil.
“Ketemu tidak?” bentaknya.
“tidak,” seketika matanya melotot. Omelannya semakin bertubi-tubi aku rasakan. Ternyata ia tadi tanpa sengaja melihat aku keluar dari kantor polisi. “Atau sekalian saja aku masukkan kau ke penjara di kantor polisi tadi, hah?!” umpatnya.
Kami berjalan beriringan pulang ke rumah, ia di depan aku di belakang. Aku diam mendengar semua kata-kata yang keluar dari mulutnya, namun mataku tetap mencari. Aku masih berusaha meski sudah hampir habis rasanya kekuatanku. Saat melewati 7-11 dimana aku berhenti membeli minuman tadi pagi, tanpa sengaja pandangan mataku terpaut pada sebuah benda putih kecil di dalam got. Aku dekati dan aku lihat lebih jelas, “Astaga… separo gigi palsu!!” gumamku.
“Cao tao le…” teriakku girang, Alhamdullillah. Ia berhenti jalan dan berbalik ke arahku, sekali lagi matanya melotot, namun kali ini diikuti bibirnya yang meringis lebar tak kalah girang dariku.
“O… ni hao pang, hao li hai o…” pujinya.
Lalu pergilah ia mencari bantuan untuk membuka besi penutup got itu. Beberapa orang datang, diantaranya ada yang membawa besi seperti linggis sebagai pengungkit. Tetapi lempengan besi kotak itu terlalu berat hingga tak bergerak.
Apa yang sedang kami lakukan menarik perhatian semakin banyak orang di sekeliling kami. Namun tak satupun ada yang bisa membantu kami membuka tutup got itu. Beruntung datang seorang lelaki yang dengan mudahnya dan dengan tangan kosong mampu membukanya.
“Begini caranya, sangat mudah bukan?” ternyata ada cara khusus membuka tutup besi got itu.
Kami semua tertawa, mentertawakan diri sendiri yang “pen dan”.
Berkali-kali kuucapkan puji syukur pada Tuhan, ternyata kesabaran dan usahaku dijawab oleh-Nya. Senang sekali teringat gajiku 4 bulan masih aman. Kakekpun aman bisa segera makan. Aku yakin ia kelaparan menungguku di rumah.
Tiba-tiba perutku terasa perih, aku baru sadar aku juga belum makan dari tadi siang. Aku lapar…