Foto ilustrasi diambil dari fatgirltales.
Hari Kamis 22 Mei, hari itu hari ulang tahunku yang ke-19. Ada dua peristiwa bersejarah di hari itu dalam hidupku, baik suka maupun duka. Sukanya, aku bertambah umur, diberi umur panjang oleh yang Maha Kuasa. Dukanya, ayahku meninggal di hari itu, meninggalkan aku untuk selama-lamanya. Ayah satu-satunya tulang punggung keluargaku, aku anak kedua dari 4 bersaudara, dengan satu kakak dan dua adik yang masih kecil-kecil.
“Sudah Ma, jangan terus menangis. Kita ikhlaskan kepergian ayah,” itulah yang aku katakan pada mama, sedangkan diriku sendiri juga menjerit, perih dan ga terima ayah dipanggil-Nya begitu cepat tanpa meninggalkan pesan apa-apa kepadaku. Tapi aku selalu berusaha tegar agar mamaku tidak terlalu sedih. Ayah telah meninggalkan kami semua, jadi akulah yang harus menggantikan ayah sebagai tulang punggung keluarga, sedangkan kakakku, dia sudah berkeluarga dan sibuk dengan keluarganya sendiri.
Tiap hari aku lihat tak henti-hentinya isak tangis mamaku akan kepergian ayah. Mama sangat terpukul karena ayah sakit mendadak lalu meninggal karena serangan jantung. Aku sangat bingung melihat kondisi rumah yang seperti itu, apa yang harus aku lakukan? Oh, Tuhan…tolonglah hambaMu, aku berjanji dalam hatiku aku akan bahagiakan keluargaku dengan melakukan apa saja.
Suatu ketika, bertepatan dengan 40 hari kepergian ayah, keluargaku mengadakan tahlilah bersama. Tiba-tiba ada seorang lelaki berumur 43 tahun, seusia ayahku, datang menghampiriku. “Saya turut berduka cita,” ujarnya. “Terima kasih,” jawabku sambil mempersilahkan dia duduk. “Tunggu sebentar, saya ambil barang-barang dulu ya,” sahutnya sebelum beranjak pergi.
Tak lama ia kembali dengan membawa 10 dus air mineral, makanan, dan juga amplop berisi uang, membantu untuk acara tahlilan. Setelah acara selesai, aku dan dia pun ngobrol-ngobrol. Rupanya dia sudah lama mengenalku dari saudaraku, cuma kebetulan ga pernah sempat ngobrol. Tak lama dia pun pamit untuk pulang dan berkata, “Nia, terima kasih atas waktunya.” “Ya, aku harusnya Pak yang terima kasih, sudah dibantu,” jawabku. “Kapan-kapan boleh saya datang lagi ke rumahmu?” “Ya, boleh-boleh aja,” jawabku lagi.
Seminggu pun telah berlalu, dia datang lagi, bahkan sangat sering menemuiku diamana pun aku berada, sampai risi rasanya. Tapi aku juga ga bisa menolaknya karena dia baik dan selalu memberikan uang kalau ketemuan. Rasa malu pada teman dan orang-orang sekitar kubuang jauh-jauh, karena mereka tidak tahu dengan kebutuhanku, yang penting uang! Saat itu benar-benar kumanjakan keluargaku dengan uang yang aku punya: beli makanan yang enak-enak, pakaian, dan yang lainnya. Semakin hari, semakin lengket dan semakin banyak pemberiannya kepadaku.
Bahkan dia pun mulai berani mengataku suka padaku. Seperti disambar petir rasanya mendengar perkataannya, karena selain suka padaku, sepertinya dia pun ingin memperistri aku, dengan catatan aku mau dimadu. Oh Tuhan… tolonglah aku… bingung rasanya untuk menerima, dia sudah tua dan pantas menjadi ayahku. Dia beristri dan punya banyak anak, gimana nanti orang menilaiku? Gimana perasaan istrinya? Bahagiakah aku nanti? Akupun memberitahu mamaku mengenai masalah ini, dan aku bilang pada mama, “Aku ga mau.” Tapi apa kenyataannya? “Nia, kamu jangan bodoh. Dia baik, banyak uang, mau cari apa lagi sih?” Aku menjawab, “Iya, Ma,” sambil kutundukkan kepalaku dan bergegas pergi. Perih, tersiksa batinku. Rasanya sudah menjadi simalakama untuk menentukan pilihan. Pilih “Ya”, aku dimadu. Pilih “Tidak”, hidupku sengsara.
Akhirnya aku pun pilih “Ya”. Aku siap menghadapi apa yang terjadi demi kebahagiaan keluarga. Perasaanku aku korbankan, rasa malu dan khawatir aku buang jauh-jauh. Yang penting aku ga pusing-pusing cari uang untuk makan keluargaku. Persetan dengan orang-orang yang bilang aku ini itu. Aku tak peduli karena keluargaku lebih penting dibandingkan diriku sendiri. Kalau bukan aku, siapa lagi yang membantu mereka? Dan dari situlah akhirnya akupun berusaha untuk menerima dan belajar mencintai dia.
Singkat cerita, akhirnya sampailah di hari pernikahanku dengannya. Pesta itu cuma dihadiri kerabat dekat saja, dan tak ada satupun teman-temanku yang kuundang, karena aku malu menikah dengan suami orang. Sebenarnya aku tahu betapa dosanya aku mengambil suami orang. Bagaimana kalau hal itu menimpa diriku? Karena pada dasarnya perasaan manusia itu sama, tidak ingin disakiti. Tapi demi pengorbanan, semua itu tidak kuhiraukan. Waktupun berlalu, dari pernikahanku aku dikarunia anak laki-laki. Aku punya rumah yang lumayan cukup besar, kehidupanku lebih baik dari semula, jarang sekali kekurangan uang. Tetapi gundah gulana hanya kurasakan sendiri, karena hidup dimadu tidak sama seperti punya suami sendiri, selalu menunggu dan menunggu giliran, pulang ke rumah juga tak menentu. Terlebih saat aku sakit, dia tak ada. Hari raya dimana banyak orang berkumpul dengan keluarganya, dia tidak bisa, karena dia harus kumpul dengan istri pertamanya. Oh, betapa tersiksanya hidup rumah tangga seperti ini, tetapi itu sudah menjadi resiko, siapa suruh mau dimadu. Kesedihan itu tak pernah aku tampakan pada keluargaku, aku selalu berusaha terlihat bahagia, walau sebenarnya sangat menderita. Yang penting keluargaku bahagia, itulah bentuk baktiku kepada keluargaku.
Roda pun berputar, kehidupan ekonomi rumah tanggaku morat-marit, aku pontang-panting cari uang kesana-kesini dengan berjualan makanan. Suami sudah jarang pulang, mungkin uangnya tak ada untuk diberikan padaku. Berjualan makanan rasanya tidak cukup untuk membiayai kebutuhan keluargaku. Aku pun sampai-sampai menyusul ke Jakarta, tempat dimana dia tinggal. Dia memang marah, tapi tak kuhiraukan. Akhirnya aku tak mau pulang lagi dan mengontrak rumah petak di Jakarta. Di rumah petak itu, kehidupan jadi terbalik. Aku yang pontang-panting banting tulang cari uang kesana-kesini, dengan usaha kredit-kredit barang dari modal usaha teman, sedangkan suamiku menganggur. Sering juga hasil usahaku dibawanya ke keluarga istri pertamanya. Tak apalah berbagi, selagi ada, mungkin bisa gantian di saat aku susah, dia bisa bantu.
Suatu ketika, suamiku ada usaha bisnis, aku senang dengarnya, karena dia sudah lama menganggur dan ada tambahan penghasilan. Akupun tak segan-segan membantunya mencarikan modal, karena dari ceritanya, bisnis itu terdengar sangat menarik, walaupun aku tak tahu jelasnya. Aku pinjam sana-sini, begitu juga dia. Akhirnya malang nasibku, ternyata usahanya tak berhasil, hutang pun banyak. Yang menagih hutang sudah sering datang, bahkan sampai ada yang sampai marah-marah padaku. Aku pun sering sampai menangis dimarahi orang, hutang suamiku sangat banyak. Akhirnya ga ada pilihan lain, rumah di kampung kujual untuk melunasi hutang-hutang itu.
Mama dan keluarga semua marah, tapi apa yang bisa kujual selain rumah? Karena harta yang kupunya hanya itu. Mama kuajak ngontrak di Jakarta, tapi dia tak mau. Dia lebih memilih tinggal bersama saudara. Sebenarnya aku juga sedih melihat keadaan seperti itu, tapi saat itu ga ada jalan lain selain jual rumah, karena kutunggu-tunggu hasil usaha dari suami tak kunjung juga.
Bahkan dia tak pulang karena pusing banyak yang menagih. Kebencian keluarga saat itu semua tertuju padaku. Caci maki pun sering kudapatkan lewat telepon. Sakit rasanya dihina tak henti-hentinya. Setelah hutang terbayar, ada sedikit sisa uang hasil penjualan rumah. Aku pakai untuk modal usahaku, semakin semangat aku usaha. Siang malam tak kenal lelah, kadang sampai ga tidur sampai pagi. Anakku juga sampai tak terurus dengan baik karena aku sibuk berdagang demi mengejar untuk bisa membeli rumah lagi. Suatu hari suamiku menanyakan uang itu dan dia pinjam untuk modal usaha. Ya namanya suami, aku kasih juga agar dia kembali bekerja.
Menjelang Ramadhan, kredit usahaku macet total, bahkan relasiku ada yang kabur, sedangkan dari dia aku dapat setoran uang harian terbesar. Dia melarikan uang modal usaha temanku cukup banyak, begitu juga dengan uangku. Hancurlah usahaku kalau begini, darimana aku dapat setoran ke bank kalau setoran harian sudah tidak ada? Karena uang sudah tak ada, barang-barang pun jadi korban. Dijuan untuk mencicil setoran ke bank. Dari kejadian itu aku sangat syok, drastis jatuh sakit. Usaha ambruk, aku minta tolong suamiku untuk membantu masalahku. Uangku habis, barang-barang yang berharga habis, tinggal kutunggu suami untuk bisa mengembalikan keadaan seperti semula dan bisa beli rumah.
Siang itu jenuh rasanya di rumah Cuma bisa menanti dan menanti penghasilan suami yang tak kunjung datang. Aku pergi ke rumah bibinya, dan dari obrolannya aku kaget ternyata yang aku tunggu-tunggu dari hasil usaha suamiku ini sia-sia. Dia tak lagi bekerja sekarang, melainkan ada di rumahnya sedang sakit meratapi usahanya yang tidak berhasil seperti usaha yang dulu ia lakukan. Aku langsung telepon dia dan memintanya untuk segera pulang ke rumahku. Walau sakit, aku tak peduli, pokoknya pulang. Ada yang harus dibicarakan, aku beranjak pulang dari rumah bibi. Aku tunggu suami di rumah, tapi dia tak pulang, bahkan HPnya pun dimatikan.
Aku benci, muak, dengan semua ini. Dia lari dari kenyataan, saat dia pulang, aku menanyakan usahanya itu. Bukannya jawaban yang enak, malah kemarahan dan pertengkaran mulut yang sering terjadi. Keharmonisan rumah tangga sudah tidak ada lagi, rasanya aku sudah tak sanggup lagi hidup begini. Jangankan uang untuk beli rumah, untuk makan pun terancam. Akhirnya kuputuskan pulang ke kampung tanpa pamit pada suamiku. Namun tragis, setelah tiba di kampung, kehadiranku dan anakku tidak disambut seperti dulu saat aku banyak uang. Mereka acuh tak acuh dengan penderitaanku, aku pontang-panting cari uang kesana-sini untuk makan anakku. Ternyata hidup susah, saudara pun jauh. Mereka tak ingat saat aku dulu berkorban untuk mereka, aku berpikir, rasanya sia-sia pengorbananku dulu kalau jadinya harus begini. Hidupku sangat susah, sangat menderita. Aku tak punya apa-apa lagi. Sepertinya mereka juga malas dengan kehadiranku di tengah-tengah mereka, karena aku susah.
Keadaan itu membangkitkanku untuk berangkat ke Taiwan demi masa depanku dan anakku. Akhirnya berangkatlah aku ke Taiwan dengan pendidikan bahasa 2 bulan di PT. Di Taiwan aku menjaga ama yang lumpuh, sekarang aku sudah bekerja dan mendapat gaji per bulan. Peristiwa yang lalu aku jadikan pelajaran berharga untuk hati-hati dalam mengambil keputusan, menyimpan uang, agar segala pengorbananku sekarang, dengan meninggalkan buah hatiku, tidak sia-sia lagi. Bahkan bisa sangat berguna untuk masa depan yang lebih baik.
Berkorban untuk kebahagiaan keluarga memang perlu, tapi kalau pengorbanan itu jadi sia-sia, sungguh menyakitkan. Aku berpesan pada rekan semua untuk jangan cepat mengambil keputusan, pertimbangkan dulu bakal akibatnya, karena hidup tak semudah yang kita bayangkan. Begitu juga kita harus bisa menabung untuk masa depan, karena hidup tak selamanya di atas. Dan yang terpenting, jangan pernah mau hidup rumah tangga dimadu, karena sungguh sangat menyakitkan.