Foto ilustrasi diambil dari isstock photo.
Sore hari ini cuaca sepertinya tidak mau bersahabat sama sekali, terik matahari yang masih menyengat tak juga pergi menenggelamkan diri, padahal sudah jam 4 sore lebih. Dengan keringat yang telah membasahi tubuh, aku mencoba melanjutkan perjalanan satu jam setiap hari itu untuk mengantar Ama yang aku jaga pergi terapi.
Sampai di ruang ber-AC ini, aku merasa lega dan melakukan administrasi yang segera dilayani oleh seorang xiao jie karena memang masih sepi pasien. Setelah mengecek tidak ada yang tertinggal, aku segera membawa Ama ke lantai 2. Seperti di bawah, Ama langsung mendapat pelayanan dari seorang laoshi muda yang sudah cukup lama di sana, katanya.
Seperti biasa aku memilih duduk di samping lift yang telah menjadi tempat favoritku sejak berada di tempat ini, sambil memainkan hp aku berusaha mencari kesibukan di dunia maya, atau sekedar iseng sms teman-teman yang tak pernah dapat balasan. Sebenarnya hal itu telah membuatku cukup bosan sejak tadi. Aku berusaha mengalihkan perhatian ke lain hal, memperhatikan kesibukan laoshi-laoshi atau orang-orang yang datang maupun pulang yang sedikit mampu mengobati kebosananku, karena tak jarang mereka menyapa dengan senyum atau ucapan apa kabar dan sampai jumpa. Untung-untung kalau ada yang mengajak aku bicara, setidaknya mampu membuatku merasa tetap ada dan hidup di negeri orang ini dengan bahasa yang sangat sulit bagiku.
“Mei-mei, ni lai le” sapa seorang wanita setengah baya sambil duduk di sampingku, mungkin usianya diatas ibuku, karena aku dengar dia sudah mempunyai seorang cucu.
“Tai-tai, hao jiu bu jian, ni hao ma,” jawabku.
“Wo hen hao.. en dui a hao jiu mei you kan dao ni, dui bu dui, wo cai sang mien,“ ucap dai- dai itu tanpa aku bertanya dia menunjuk lantai atas. Dia juga menjelaskan disana banyak anak Indonesia, bahkan ia bertanya heran kenapa hanya aku saja yang berada di lantai bawah, dan tentu saja aku juga tidak tahu kenapa. Kalau boleh sih ingin rasanya berbaur dengan mereka. Tapi sejak tiba disini aku sudah berada di lantai bawah, aku sering kali mencuri waktu untuk berjumpa dengan mereka dan untung saja laoshi mengizinkan tanpa memberitahu majikanku.
Aku pikir obrolan itu akan berakhir seperti biasa, pertanyaan basa-basi dari orang-orang yang aku temui, apalagi aku lihat Ama sudah selesai, segera aku menghampiri Ama dan memindahkan wanita tua itu di tempat lain. Tidak banyak terapi yang dijalani Ama karena dia hanya punya masalah di kakinya yang tidak bisa dibuat jalan akibat kecelakaan kesalahannya sendiri. Setelah selesai memindahkan Ama, aku segera mencari tempat duduk lain yang tidak cukup sulit karena memang masih sepi, aku memilih duduk di samping toilet karena tempat favoritku itu telah di isi pasien lain.
“Mei-mei kamu orang Indonesia kan,” tanya tai-tai tadi yang kebetulan memilih duduk tepat di sampingku.
“Iya benar,” jawabku.
“Jadi kamu juga pakai kain penutup kepala itu ya,” tanyanya sambil memperagakan pemakaian jilbab.
“Tentu saja tai-tai,” jawabku.
“Memangnya kenapa tai-tai? Apa itu menurut kalian aneh?” tanyaku penasaran sekalian ingin tahu pendapat orang sini tentang jilbab yang kami gunakan.
“Iya sedikit, karena di agamaku (kristen) juga ada,” ucapnya.
“Tapi mereka wanita yang memakai penutup kepala (biarawati) seperti kalian itu, tidak boleh bicara kotor dan menggoda laki- laki,” ucap tai- tai yang seketika membuat heran dan geram bersamaan terpompanya jantungku. Kebiasaanku bila merasa tertekan, aku segera membatin beberapa dzikir pendek untuk menenangkan hati. Aku tahu mereka bicara seperti itu dengan apa yang mereka lihat dan dengar, bukan pemahaman apalagi penjelasan.
“Ya tentu saja tidak boleh. Jangankan bicara kotor atau menggoda laki-laki, berdekatan dengan mereka saja jika bukan suami atau saudara tidak diperbolehkan,” jawabku berusaha setenang mungkin.
“Oh ya, tapi aku lihat temanmu melakukan itu, bahkan dia kadang-kadang memakai baju ketat,” kata tai-tai dan beberapa orang disana yang mendengar ikut berkomentar.
Aku mulai merasa gemetar, antara ingin marah, berteriak dan takut, ya takut menghadapi orang-orang dewasa sebanyak itu, apalagi mereka pasti orang-orang berpendidikan tinggi. Tapi aku tetap berusaha menahan semua, aku harus bisa menjelaskan yang aku tahu. Aku menarik nafas dan menyebut Allah berkali-kali, aku harus bisa merangkai kata-kata supaya mereka mengerti dan tidak salah paham. Sebenarnya aku ingin membantah dengan mencontohkan beberapa dari mereka yang memakai baju kurang sopan, namun segera aku urungkan, mengingat itu percuma saja.
“Kalau itu ya tergantung setiap orang, sama seperti kalian kan, ada yang baik dan ada yang buruk,” ucapku akhirnya.
“Kami juga tahu kok kalau ada teman kami yang seperti itu, tapi ya mau gimana lagi itu sudah kemauan dia, kami dulu pernah bertanya padanya dan dia jawab, mumpung masih di sini, karena nanti bila sudah di Indonesia, kami tidak bisa bebas lagi memakai pakaian seperti itu, mau bagaimana lagi,” jelasku.
“Iya betul, aku juga lihat berita di TV seperti itu,” ucap salah seorang wanita muda membelaku.
“Benar tai-tai, kalau soal tingkah laku ya semua orang berbeda,” kali ini laoshi ikut bicara.
“Nah buktinya, banyakkan teman-teman saya yang baik dan sopan,” ucapku.
“Jadi di Indonesia itu semua wanita memakai jilbab ya,” tanya seorang laoshi berambut pendek. Belakangan kutahui kalau ternyata dia cewek, padahal aku sempat naksir padanya.
“Tidak juga kok, karena di Indonesia sendiri memiliki banyak agama. Ada 5 agama yang diakui pemerintah,” jawabku.
“Banyak banget, tapi kenapa dalam agama kalian tidak boleh makan babi,” tanya pengunjung lain yang membuatku tersadar sekarang telah penuh. Jujur pertanyaan itu membuatku mati kutu, sebagai negara yang setiap harinya mengonsumsi babi, pasti hal itu sangat aneh.
“Itu perintah agama kami, lagian saya tidak suka daging, jadi tidak masalah,” akhirnya hanya itu yang mampu aku ucapkan, aku pikir saat aku tinggal untuk memindahkan Ama mereka melakukan obrolan lain, ternyata dugaanku salah, dan kali ini aku duduk lagi di samping lift lagi dan mereka terus saja bertanya.
“Terus apa karena perintah agama, kalian langsung mengikuti gitu saja, tanpa mengecek kenapa?” ucap salah seorang tidak sabar, padahal aku belum selesai membantu Ama.
“Tentu saja,” jawabku ragu, bukan aku tak tahu kenapa dilarang makan daging babi, sebagai lulusan SMK kimia tentu aku sedikit paham, belum lagi kata-kata ustadz yang masih aku ingat, hanya saja aku bingung cara menjelaskan pada mereka.
“Kenapa?” mereka terus mengejarku bicara.
“Karena kami sudah terbiasa mau bagaimana lagi,” jawabku seperti seorang pecundang, tapi pikirku hanya itu satu-satunya jawaban aman tanpa menyinggung perasaan.
“Tapi kalau pun boleh, mungkin aku tetap tak mau memakannya, apalagi aku baru tahu kalau sampah basah di truk sampah untuk makanan babi,” kataku saat ingat ucapan seorang tetangga semalam saat buang sampah.
“Iya juga sih,” ucap mereka sedikit ragu, tapi setidaknya mereka akan mulai berpikir cukup jauh, dalam hati aku berdoa semoga cepat pergi dari tempat ini, bila ditanya lebih aku masih belum siap.
Untung saja mereka tidak bertanya lagi, walau dari wajah mereka aku yakin belum menunjukkan rasa puas, di tambah lagi Ama yang mulai rewel pengen cepat pulang, jadi aku punya alasan untuk menghindar. Dalam hati, aku berjanji akan mencari informasi lebih, siapa tahu nanti mereka bertanya lagi. Setidaknya aku sudah cukup siap untuk menjawab dengan bahasa yang lebih baik pula.
Dalam perjalanan pulang, masih terngiang-ngiang ucapan mereka tadi. Jadi begitukah penilaian mereka tentang kami, aku memang tidak tahu apa-apa, toh di Indonesia juga banyak wanita seperti itu, kadang pakai jilbab kadang tidak, tapi kami pasti lebih mengerti dan paham walau tanpa kata-kata.
Tapi mereka, orang-orang yang hidup di non muslim dan jelas tak tahu apapun tentang Islam, pasti akan bertanya-tanya heran, dan tentu saja mereka akan terus bertanya hingga mengerti. Iya kami orang Indonesia yang tentu saja memiliki banyak seragam, sebagai bangsa berkembang yang masih bingung menentukan memakai seragam atau kostum negara sendiri atau negara lain. Setidaknya aku mengerti pemikiran mereka sehingga walau tak mengubah apapun, aku akan berusaha menjaga ciri khas Indonesia, pasti bisa.