Foto ilustrasi diambil dari Shutterstock.
Tinta ini memang sengaja kugoreskan menjadi sebuah dongeng nyata agar orang dapat berkaca dari cermin retak perjalanan hidupku yang terjal dan penuh liku. Setidaknya aku ingin berbagi rasa suka dan duka supaya beban yang selama ini menumpuk dalam sanubariku tidak terlalu berat kupikul sendiri. Bulan ini usiaku beru genap menginjak dua puluh tahun. Di usiaku yang baru memasuki fase dewasa ini rupanya Tuhan telah mengujiku dengan ujian yang sangat berat. Cobaan itu datang tanpa tanda-tanda ataupun isyarat, dalam sekejap bahtera rumah tanggaku yang belum genap satu bulan terbina telah kandas tak bersisa.
Ya! Mungkin orang tak pernah tahu statusku yang sesungguhnya dan mungkin sulit bagi mereka untuk mempercayai apa yang aku katakan saat ini. Aku telah menjanda di saat usia pernikahanku baru menginjak tiga minggu. Kebahagiaan yang baru seumur jagung itu harus tergantikan dengan duka yang sulit disembuhkan. Tuhan telah mencabut roh yang berpendar dalam raga suamiku dua puluh satu hari tepat setelah pernikahan kami baru usai digelar.
Semua berawal dari satu bulan yang lalu aku dan Mas Deddy memutuskan cuti ke Indonesia setelah dua tahun bekerja untuk menikah dan berencana masih akan kembali ke Taiwan lagi meneruskan kontrak yang baru diperpanjang satu tahun lagi. Dua minggu setelah menikah aku sudah harus berangkat lagi ke Taiwan karena majikan hanya memberi izin cuti selama dua minggu saja. Sementara Mas Deddy rencananya akan kembali satu minggu setelah kedatanganku ke Formosa ini. Mas Deddy sendiri yan mengantarku ke bandara Juanda hari Sabtu sore pada tanggal 2 Juli 2011. Pesawat akan terbang jam 5 sore transit di Singapore terlebih dahulu, anehnya Mas deddy yang biasanya suka usil menggodaku sejak pagi jadi pendiam. Kupikir wajar, karena kami tidak bisa berangkat bersama-sama dan perpisahan sementara ini membuat perasaannya jadi kurang nyaman.
Satu jam sebelum keberangkatan aku masih duduk sambil memeluk erat lengan mas Deddy di ruang tunggu. “Laokong wo ai ni..” rayuku. Suamiku hanya tersenyum tipis sembari mengelus rambutku. Sebenarnya aku ingin menanyakan apa yang sedang dipikirkannya namun tetap kupendam. Aku tidak tega semalaman Mas deddy juga tidak tidur seolah kegundahan itu karena keberangkatanku ini. Tiga hari terakhir Mas Deddy seperti tak lelah menanyakanku, apakah jadi berangkat lagi ke Taiwan. Seperti ibu yang sedang meredam ketakutan anaknya, akupun tak henti-hentinya memberikan pengertian pada suamiku. “Mas, aku berangkat dulu, kamu cepat pulang terus istirahat, sampai ketemu lagi di Taiwan nanti.” Pamitku sambil mencium tangannya. Tiba-tiba saja tubuhku ditarik dalam peluknya, “Dek, jaga dirimu baik-baik selama aku tak disampingmu…” Aku terharu mendengar ucapannya, sebisanya air mata ini masih kutahan agar tak terurai di depannya. “Mas satu minggu lagi kita ketemu lagi, pabrikmu yang sekarang kan dekat jangan sedih ya, hao bu hao?” lalu Mas Deddy melepasku, “Ingat Dek jaga diri baik-baik.” “ Siap! Suamiku kayak mau ditinggal kemana aja! He..he..” candaku.
Dan aku bergegas menuju rombonganku, kulambaikan tanganku ke arah Mas Deddy yang masih berdiri di sana. Aku tak pernah menyangka bahwa itu adalah pertemuan terakhirku dengannya. Karena satu minggu kemudian di hari yang sudah dijanjikan, Mas Deddy mengalami kecelakaan ketika dalam perjalanan menuju bandara. Memang semalaman aku tidak bisa tidur gara-gara takut pada mimpiku saat tidur siang. Aku bermimpi melihat suamiku menikah lagi dengan wanita lain. Aku pernah membaca di buku primbon tentang tafsir mimpi. Aku ingat pada tulisan di buku yang mengatakan jika bermimpi tentang pernikahan merupakan pertanda buruk. Karena khawatir malam itu juga kutelepon suamiku untuk memastikan bahwa dia baik-baik saja. “Jam segini belum tidur, Dek? Nanti dikelonin pocong lho..” canda suamiku berupaya menakut-nakutiku. “Pocongnya kamu kali Mas, pake hitam siapa takut!” balasku mengejek. “Yang bener gak takut?Hi..hi..hi..” “Sumpah, aku kan hen yong kan!” “Sumpah pocong mau Dek” “Apa sih Mas yang dibahas pocong melulu!” kataku sebal dan suamiku terus tertawa.
Obrolan kami hanya lima belas menit saja, kututup telepon karena Ama yang kujaga terbangun ingin diantar ke toilet. Pukul delapan pagi waktu Indonesia Mas Deddy masih sempat mengirim sms padaku, mengabarkan keberangkatannya menuju Taiwan. Karena masih sibuk, sms itu baru kubalas satu jam kemudian. Perasaanku mulai tak menentu setelah beberapa jam berlalu Mas deddy tidak membalas sms ku sama sekali. Aku juga tahu jam keberangkatannya masih lima jam lagi. Kuhubungi nomornya sudah tidak aktif, sebisa mugkin kutenangkan diriku, lalu aku menelepon orang tuaku.
Tubuhku lemas, gemetar dan seketika terhuyung jatuh ke lantai setelah mendengar suara histeris ibu dan keluarga mertuaku yang sudah berkumpul di Rumah Sakit Haji Surabaya. Suamiku turut menjadi korban kecelakaan maut bersama rombongan satu travelnya. Mobil yang ditumpangi suamiku diperkirakan mengalami kerusakan pada rem sehingga terperosok masuk ke jurang setelah sebelumnya bertabrakan dengan bus pariwisata. Entah berapa lama aku pingsan, karena majikan tidak tinggal bersama maka tidak ada yang membawaku ke Rumah Sakit, sementara Ama-ku sudah tertidur di kursi ruang tamu.
Hari menjelang sore saat aku terbangun, pandangan mataku sedikit berkunang-kunang dan darah segar merembes dari pelipisku, aku hanya menangis dan menangis saat teringat pada kecelakaan yang merenggut nyawa suamiku. Semua ini seperti mimpi yang sulit untuk kupercayai. Orang yang sangat berarti dalam hidupku begitu cepat dipanggil oleh yang Maha Kuasa dengan cara yang tragis. Aku terseguk sambil berurai air mata, memanjat seuntai doa untuk mengiringi kepergian suamiku ke alam baka. Tidak mampu kumengantarkan suamiku menuju tempat peristirahatan terakhirnya. Ini merupakan pukulan terberat dalam hidupku. Kehilangan sayap pengharapanku yang selalu membuatku merasa hidup untuk selamanya. Duka yang sulit untuk ditepiskan.
Bunga impian bersama kami kini telah layu di taman. Keindahan sekejab itu tinggalah kenangan. Wajah cintaku hanyalah bayangan fatamorgana, semua telah hilang. Hanya tersisa rintik-rintik nestapaku melangkah tanpa sandaran. Doa pada Tuhan yang selalu kujalankan untuk mengadukan segala pedih yang perihnya sulit untuk hilang. Aku tetap berusaha bangkit dari rasa keterpurukan, perlahan mencari benteng diri dari keimanan. Hanya itu yang bisa kulakukan, berserah pada Illahi akan membuatku merasa dekat dengan Almarhum suamiku tersayang.
Inilah misteri kehidupan, cobaan yang sudah diporsikan pada setiap orang, meski tidak selalu sama, namun Tuhan tak akan mungkin memberikan ujian melampaui batas manusia untuk menggapainya. Aku yakin Tuhan masih sangat mencintaiku, Tuhan mengambil suamiku karena Tuhan menyayangiku. Bila Tuhan memisahkan bahtera kami di dunia fana, mungkin saja karena Tuhan menginginkan aku dan Mas Deddy hanya berjodoh kelak di alam keabadian. Ya! Tak ada yang tidak mungkin terjadi jika Tuhan sudah berkehendak. Karena Tuhanlah raja dari segala raja, pencipta dan penguasa segala alam raya beserta isinya. Hanya Dialah yang mampu menghembuskan serta mencabut roh kehidupan pada setiap apa yang bernyawa.