Foto ilustrasi diambil dari shutterstock.
Tepatnya 3 Februari 2008 kupijakkan kakiku pertama kalinya di negeri Formosa ini dan mendapatkan majikan yang baik di mana aku bekerja merawat akong dan amah. Pekerjaanku sih.. sebetulnya tidak begitu berat; hanya merawat akong yang buta sedangkan amah masih bisa sedikit jalan sebab dulu pernah mengalami kecelakaan. Di rumah kami berlima; aku, akong dan amah serta 2 cucu mereka yang sudah remaja
Awalnya pekerjaanku di sana sangat menyenangkan dan tidak ada masalah berarti. Paling-paling selama 3 bulan pertama lantaran bahasaku yang belum mantap maka amah pun sering marah. Beruntung ada anak amah yang nomor 3 yang yang setiap hari datang dan sedikit bisa membantuku. Kupanggil saja dia kakak ke-3 dan dia adalah ayah dari 2 remaja yang tinggal serumah denganku. Orangnya sangat baik terhadapku dan sering membawaku kerja sampingan untuk membantu dia. Sungguh tak pernah aku menyangka, tersimpan sesuatu yang tak kuinginkan di balik kebaikannya itu. Hampir setiap malam dia membawaku berjalan-jalan ke pasar malam dengan alasan membantu membersihkan rumahnya. Karena dia kakak majikanku, kuturuti saja kemauannya meski dalam hati ada sedikit perasaan takut dan was-was.
Hingga akhirnya pada suatu malam, dia mengajakku minum arak sambil menonton TV. Kutolak permintaannya dan tak kusangka bila penolakanku membuatnya marah. Dengan terpaksa kuturuti kemauannya. Sebetulnya aku sudah mulai paham maksud dia tetapi aku juga tidak boleh asal menuduh. Dia diam-diam menaruh hati padaku dan ingin mengajakku menikah dengan janji yang tinggi-tinggi. Aku bersikeras menolaknya. Kemarahannya pun melonjak, bahkan saat dia mabuk dia hampir memukulku dan mengancam akan memulangkanku.
Dia sempat menelpon agen dan memarahinya. Dengan perasaan gundah gulana akhirnya aku meminta agen untuk datang ke rumah majikanku dan minta bantuan dicarikan majikan baru. Keesokannya agenku datang dan menanyakan masalahku. Semuanya pun kubeberkan. Agen hanya menasehati dan menyarankanku agar bersabar dan tetap bekerja pada majikan itu.
Seminggu pun telah berlalu, tetapi perlakuan kakak ke-3 tetap saja tidak berubah, ditambah lagi amah yang selalu menuduhku bahwa akulah yang menggoda anaknya. Rasanya hati ini semakin tak kuat menahan cobaan ini. Maka kutelpon Lulu, temanku yang bekerja di Taipei dan kepadanya kuutarakan niatku untuk kabur dari rumah majikan. Mendengar ceritaku Lulu pun mengenalkan aku pada Papi, seorang agen kaburan. Kuminta padanya untuk menjemputku saat itu juga, tetapi karena Lulu tidak libur maka dia meminta bersabar hingga minggu depannya.
Menunggu seminggu rasanya lama sekali. Semua barang-barangku telah kukemas. Hingga tiba hari Minggu, sekitar pukul 2 siang, Lulu dan Papi menjemputku. Dengan bekal bahasa seadanya kujawab semua pertanyaan Papi, untungnya ada Lulu yang membantuku menjawab semua pertanyaannya. Setelah mengantar Lulu pada rumah majikannya, kami pun meneruskan perjalanan menuju sebuah rumah kecil yang akan menampungku sementara waktu.
Nah…dari sinilah aku mulai menikmati kebebasan dan kekejaman negeri Formosa. Gemerlapnya bumi Formosa telah menggelapkan mataku. Semua telah membawaku pada dunia yang dulu pernah kualami.
Mungkin lantaran imanku yang kurang kuat, pergaulan bebas dan tanpa adanya orang yang menuntunku hingga aku kembali terjebak dalam dunia kelam ini
Lima hari aku beristirahat di rumah agen sambil menunggu pekerjaan. Akhirnya Papi pun memberiku pekerjaan merawat 3 anak dengan rumah besar berlantai 4. Majikanku sangat baik, ramah dan masih muda. Kerja di sana serba terjamin dengan gaji NT$ 19,000 / bulan.
Oh…sungguh capai dan sangat melelahkan. Baru 2 minggu bekerja, badanku sakit semua ditambah lagi menstruasiku yang tidak normal dan demam. Lalu kutelpon Papi untuk datang menjemputku karena dengan keadaan begitu aku tidak sanggup bekerja. Aku minta izin pada majikanku dan mereka pun memberikan izin 2 hari.
Seperti biasa aku tidur di mess agen. Waktu 2 hari berlalu begitu cepat dan aku harus kembali bekerja. Malangnya, Papi ada kepentingan yang membuat aku harus menumpang kereta api ke Yuan Lin.
Nah…di kereta inilah awal babak baru dalam petualanganku. Aku bertemu seseorang cowok Thailand, sebut saja namanya TT. Cowok dengan penampilan sederhana dan berhasil memikat hatiku. Percakapan pun terjadi. Sungguh bila kuingat saat itu aku malu karena aku masih belum mantap dengan bahasa mandarinku. Awalnya dia hanya mendengarkan percakapanku dengan temanku lewat HP. Melihat aku yang begitu bahagia, meluncurlah kalimat pertama dalam bahasa Mandarin yang lancar dari bibir tipisnya, “Kamu kelihatan bahagia sekali” Terkejut dengan pertanyaannya langsung kujawab “Ya, betul.” Sejenak kami saling berpandangan dan dalam hatiku aku bergumam, “Oh…begitu manisnya dia.”
Kami pun terus melanjutkan percakapan. Dia menanyakan nama dan alamat kerjaku. Awalnya aku tidak menyangka kalau dia dari Thailand. Maka kupikir, “Sombong sekali orang ini, sesama Indonesia koq…ngomongnya mandarin?” Lantaran penasaran, kuberanikan diriku menanyakan asalnya. Oh la…la… ternyata dia memang bukan orang Indonesia, tapi dari Thailand. Untung saja aku belum menegurnya untuk sikapnya yang kusangka sok…tak mau bicara bahasa Indonesia.
Hampir saja aku malu. Perjalanan akhirnya sampai di Taichung dan dia pun harus turun. Dengan kata-kata yang ramah dia berkata, “Mau pergi denganku?” Langsung kujawab, “Tidak, terima kasih.” Namun sebelum beranjak dari tempat duduknya dia sempat menanyakan nomor HP-ku dan kami pun saling bertukar nomor telepon, sejenak dia memandangku lalu melempar senyuman.
Oh… pertemuan yang menyenangkan, pada saat itu aku juga sudah merasakan desir-desir yang tak menentu di dalam hati. Perpisahan di kereta pun terjadi, dan perjalananku pun dilanjutkan hingga tiba di Yuan Lin di tempat majikanku. Dan masa kerjaku tiba lagi. Sungguh tidak pernah kuduga bila malam itu juga TT menelponku. Aku masih gugup berbicara dengannya.
Sejak itu hampir setiap hari dia menelponku dan mengajakku jalan-jalan. Aku hanya menyanggupinya sampai aku dapat liburan lagi. Tak terasa satu bulan sudah waktu yang kutunggu. Kukatakan niatku pada papi bahwa aku ingin libur ke Taichung. Awalnya papi mau menjemputku tapi kukatakan bahwa aku bisa pergi sendiri. Hari Sabtu pun tiba dan berangkatlah aku ke Taichung. Di sana seorang pemuda yang tak lain adalah TT tengah menunggu kedatanganku. Setelah saling menyapa dia pun mengajakku ke toko dan rumah makan Thailand. Tetapi karena tak paham dan tak biasa mendengar musik Thailand, aku mengajaknya keluar dan pulang. Kulihat kalau dia sangat kecewa dan terpaksa menerima ajakanku. “Kemana kita pergi?” tanyanya. Dengan enteng kujawab, “Terserah…”
Maka dia mengajakku pulang ke mess tempat dia bekerja. Inilah awal mula aku mengenal pergaulan bebas lagi. Bagiku yang tidak memiliki bekal iman yang kuat, mungkin kehidupan seperti itu begitu nikmat, bak sorga dunia. Ada yang melukiskan kita seperti hidup di istana bertaburan bidadari cantik dan siap melayani. Ada pula yang mengatakan di sana kita dapat memancing berbagai macam hiburan seperti di taman hiburan. Bahkan ada yang berpikir bahwa kehidupan seperti itu tidak ada penyakit dan tidak menyebabkan penyakit, tidak adanya masa tua, tidak ada air mata yang berlinang, suasana begitu menyenangkan. Suasana yang sedang dinikmati saat itu benar-benar menyenangkan. Aku seperti orang bodoh, kotor dan tersesat. Kehidupanku mulai acak-acakan sejak aku libur kerja.
Kuakui kalau TT sangat sayang padaku. Apa pun yang kuminta diberikannya. Meskipun status kami yang sama-sama kaburan, TT nampaknya lebih berhati-hati ketimbang aku. Dia lebih memilih berada di rumah kecuali bila terlalu boring barulah diajaknya aku jalan-jalan. Telah 3 bulan berjalan bersama dia, dia menyuruhku berhenti bekerja dan hidup serumah. Sungguh…tanpa pikir panjang kuiyakan ajakannya. Kehidupan layaknya suami-isteri pun terjadi, malah aku sempat berandai-andai kalau dia jadi pendampingku kelak.
Meskipun sudah serumah, kebiasaanku pergi ke toko Indonesia pun masih saja ada. Sayangnya dia tidak pernah mau menemani aku pergi. Kalau saja aku ingin kirim uang pada anak-anak kukatakan padanya. Dia pun memberiku uang untuk dikirim. Hanya satu pesannya padaku agar aku sedikit berhati-hati. Kehidupan seperti ini kujalani selama 2 bulan saja. Karena rasa bosan tinggal di rumah saat ditinggal kerja TT dan tidak ada kerjaan yang dilakukan.
Akhirnya kuutarakan niatku pada TT untuk bekerja lagi. Ditolaknya permintaanku, tetapi aku terus merengek padanya. Mungkin karena mendengar rengekanku setiap hari dia pun mengijinkanku kerja dengan janji setiap minggu pulang ke messnya.
Mendapat izin darinya aku sangat bahagia dan segera menelpon agenku untuk menjemputku. TT membekaliku NT$ 20,000. Di tengah perjalanan Taichung – Jhongli papi bertanya kepadaku, “Pacarmu sudah begitu baik tapi kenapa kamu masih mau bekerja?” dan kujawab, “Aku bosan setiap hari di rumah tanpa kerjaan.” Dan kukatakan pada papi kalau aku ingin kirim uang. Dan dia pun membantuku mengirimkannya.
Setelah mengirim uang, tibalah aku di depan rumah kecil. Aku segera masuk rumah ke bagian atas. Perjalanan yang melelahkan. Lalu segera kuambil bajuku dan mandi untuk menghilangkan kepenatan. Tak kuduga kalau papi masih menunggu aku di ruang tamu karena dia akan segera pergi lagi. Setelah mandi papi berkata padaku bahwa aku harus tinggal di mess beberapa hari untuk kerja.
Hari-hari kulalui di mess bersama teman-teman. Sudah 3 hari papi membawaku kerja. Sesuai janjiku pada TT, setiap minggu aku pulang ke messnya. Untungnya aku mendapat majikan yang baik. Waktu terasa begitu cepat. Telah 2 bulan aku bekerja dan pembantu resmi di rumah majikanku datang, maka aku pun harus pulang ke rumah agenku.
Baru sehari di mess aku ke Taichung. Rasa malas untuk bekerja tiba-tiba begitu menyerangku. Seperti yang pernah kualami dulu, aku tinggal serumah lagi dengannya. Saat itu aku mendapat kabar dari rumah bahwa putriku sakit. Kukatakan pada TT tentang itu dan kesampaikan kalau aku perlu uang. TT segera memberiku NT$ 17,000 untuk dikirim. Hari Senin, 8 Desember 2008 aku pergi ke Toko Indonesia di Taichung. Rasanya aku ingin sekali pergi ke disko, tapi karena ingat pesan TT bahwa bulan itu menjelang Imlek akan ada banyak razia, maka kuputuskan pulang saja.
Tetapi keinginanku untuk ke diskotik sepertinya tak bisa terbendung. Kuutarakan lagi keinginanku itu pada TT, namun dia diam saja. Aku semakin nekat karena ada seorang temanku di Hsinchu menelpon dan mengajakku ke diskotik. Agar TT percaya bahwa aku tidak sendirian ke sana, maka kuberikan HP-ku padanya dan memintanya untuk bicara langsung dengan temanku tadi. Entah karena tidak enak hati dengan temanku tadi, TT pun akhirnya mengizinkanku untuk pergi.
Rabu, 10 Desember 2008: aku pergi ke Hsinchu dan kukatakan padanya bahwa aku tidak pulang, dia membolehkan asalkan hari Sabtu aku sudah harus pulang. Setelah semalam di Hsinchu, keesokannya kuhubungi papi bahwa aku berniat untuk beristirahat di mess. Dan pergilah aku ke Chungli, dan di sana ada Opy, temanku dulu yang juga bekerja di Yuan Lin. Aku merasa cocok dengan dia karena kami sama-sama suka pergi ke diskotik Indonesia.
Tidak ada rasa takut sedikit pun akan ditangkap polisi, hampir setiap hari kami selalu ke diskotik di Toko Indonesia. Hari Sabtu, HP-ku berdering tanpa henti. Aku tahu kalau TT yang menelpon, tapi kubiarkan saja tak kuangkat. Sampai akhirnya dia mengirim sms dalam bahasa Inggris, “When will you go home, if something happens to you, I don’t care about you.” Bahkan sms-nya ini pun tak kuhiraukan. Setelah malam aku pulang ke mess barulah aku berani menerima telponnya. Tapi malangnya, mendengar suaraku dalam keadaan mabuk dia begitu marah dan langsung menutup telepon. Kutelepon balik namun tak diangkatnya.
Melihat kami pulang dalam keadaan mabuk, papi memberi peringatan pada kami yang intinya kami harus baik-baik di rumah dan bila masih nekat pergi lalu terjadi apa-apa, maka itu bukan urusannya. Karena bandelnya, kata-kata papi juga tak kami hiraukan. Keesokon harinya kami masih tetap pergi ke toko Indonesia.
Minggu, 14 Desember 2008 merupakan hari naas kami. Malam harinya kami tertangkap di depan toko Indonesia B di Chungli ketika kami masih berada dalam taxi. Lalu polisi membawa kami ke kantor Imigrasi Taoyuan. Selama 4 hari di sana dan akhirnya kami dikirim ke tahanan di Yilan.
Setelah mendapat musibah ini barulah aku menelpon dan merengek-rengek pada TT. Pertama kali mendengar kabarku dia sempat menangis sedih dan berjanji akan membantuku. Seminggu berada di Yilan begitu tersiksa. Seringkali aku menelpon TT meminta bantuannya, tapi jawabannya selalu menunggu gajian. Dengan setengah memaksa kutanya kalau dia sanggup membantuku atau tidak. Akhirnya kutemukan jawabannya bahwa dia tak sanggup membantuku.
Sungguh hancur hatiku, tak kusangka dia begitu kejam padaku. Betapa tersiksanya di penjara ini. Tetapi mungkin aku harus berterima kasih pada polisi karena telah menyadarkan aku dari semuanya dengan dipenjarakannya aku.
Di penjara aku sangat tertindas dengan kelakuan orang Tiongkok yang semena-mena terhadap bangsa kita. Aku tidak ikhlas menerima semua itu. Aku berontak demi mereka. Tapi tak disangka kalau ada seseorang malah rela diperlakukan seperti itu. Dia menyanjung mereka hingga besar kepala. Aku dan Opy sangat kecewa dengan semua itu. Lalu aku dan Opy yang semula sekamar dipisahkan. Oh… sungguh tersiksa aku harus berpisah tidur dari Opy setelah sekian lama bersama. Ditambah lagi mendengar berita bahwa Opy mau pulang, aku sering berpikir merenungi dan meratapi nasibku.
“YA ALLAH, AMPUNILAH SEMUA DOSAKU. AKU TELAH MENODAI DIRIKU SENDIRI. JIKA ENGKAU TIDAK MENGAMPUNI DOSAKU, MUNGKIN AKU TERMASUK ORANG YANG RUGI. YA ALLAH, JANGANLAH ENGKAU JADIKAN AKU ORANG YANG CONDONG PADA KESESATAN. BERILAH PETUNJUK BAGIKU AGAR SELALU DI JALANMU, KARUNIAKANLAH RAHMAT DAN RIZQIMU KEPADA KAMI.”
Hanya doa dan penyesalan yang mewarnai hidupku selama di penjara ini. Penyesalan kini mulai terasa dengan kehidupanku di sini akibat ulah yang aku buat. Perasaan sedih, putus asa, kesepian, dan kegelisahan, penyesalan bercampur baur. Mungkin aku dapat membayangkan ini suatu karma dari perbuatanku sendiri.
Kehidupan di penjara yang penuh aturan dan keterbatasan yang membuatku merasa bosan. Kadang aku ingin berteriak melepaskan gundah gulana di dalam hatiku. Tapi semua itu tak mungkin kulakukan. Di penjara ini kepada siapa kucurahkan isi hatiku dan masalahku? Aku butuh orang yang bisa kupercaya dan membantuku. Tak sanggup kupendam semuanya ini.
Keseharianku di penjara ini hanyalah menghitung hari lamanya aku di sini dan menanti kepulanganku. Setelah 6 bulan aku di sini, kepulanganku tak pasti karena belum ada biaya. Sungguh di dalam penjara ini, aku sangat merindukan canda tawa sang buah hati yang sudah lama tak kudengar, yang dulu selalu kudengar meski cuma lewat telepon. Dalam perasaan sesedih apa pun mereka menjadi penghiburku. Mereka akan bernyanyi untuk menghibur kegalauan hati bundanya. Masih terngiang dalam benakku kata-kata mereka, “IBU, JANGAN BERSEDIH, KAMI DI SINI AKAN BERDOA DAN BERNYANYI UNTUK IBU AGAR IBU BAHAGIA.”
Begitu kata-kata yang terucap dari bibir si mungil. Sungguh tersentak aku mendengar kata-kata mereka. Ketegaran hatikupun musnah bersama air mata yang bercucuran.
Waktu yang membatasi komunikasiku dengan mereka membuatku tertekan. Andai aku dapat cepat kembali, akan kuwujudkan impian dan harapan mereka yang selama ini belum pernah kuberikan.
Aku tidak mau kecewakan mereka, apa pun aku akan berusaha demi mereka. Allah telah menitipkan mereka sebagai rizqi padaku dan aku pun harus merawat dan menjaga mereka. Karena mereka adalah buah hatiku dan harta yang paling berharga.
Kapankah aku harus akhiri kehidupanku di penjara ini agar aku dapat menikmati keceriaan dan kebersamaan dengan buah hatiku?
“YA ALLAH, (ENGKAU) YANG MEMPUNYAI KEKUASAAN DAN KENIKMATAN. HANYA KEPADA-MU LAH AKU MENCARI PERLINDUNGAN DAN PERTOLONGAN. JIKA (ENGKAU) MENCATAT AKU DALAM ORANG YANG CELAKA, TERHALANG, JAUH DARI SISIMU, DAN DISEMPITKAN RIZQIKU, MAKA HAPUSKANLAH. DAN JADIKANLAH AKU SEBAGAI ORANG YANG BERBAHAGIA DAN LUAS REZEKI SERTA DIBERI PETUNJUK KEPADA KEBAIKAN.”
AMIN
Begitulah akhir kisahku di Taiwan ini. Semoga semua ini akan ada hikmah dan manfaatnya bagi kita semua.
NB:
Begitulah kehidupanku semasa masih menjadi TKW kaburan; hidup penuh gemerlap dunia tanpa memikirkan akibat dari semuanya. Dan aku baru tersadar setelah masuk penjara. Sungguh sangat tersiksa batin kita., sengsara. Kuingatkan bagi rekan-rekan TKI yang punya niat untuk kabur, urungkanlah niatmu karena hanya akan merugikan kalian. Demikian juga yang kawin kontrak di Taiwan.
Dengan penyesalanku saat ini, yang kutuangkan dalam kisah nyata ini semoga bisa membuka mata hati kalian semua dan ini suatu palajaran bagiku. Aku sangat berterimakasih pada Allah karena telah menyadarkan aku dalam penjara ini.
By: NN