Foto ilustrasi diambil dari 123rf.
Remang kota Taichung malam itu, seolah seperti temaramnya hati ini. Rasanya kenangan indah dengan suami tercinta selalu membayangi perasaan gundah gulana di jauhnya sanak keluarga. Kadang aku membenci diriku sendiri ketika teringat masa yang dulu, ketika sang suami masih di sampingku. Sayangnya karena egoku, kini hanya nama dan penyesalan yang membekas di dalam dada. Pada siapa aku harus marah, sedangkan semua telah menjadi garis kehidupanku. Meski Taiwan bukan negara asing bagiku karena kini ketiga kalinya aku menginjakkan kaki di pulau ini. Tapi rasa takut selalu menghantuiku, takut terulang kembali kejadian yang dulu, yang membuat sakit dan penyesalan untuk selamanya.
Dua tahun yang lalu, kontrak kerjaku di Taiwan yang kedua kali akan segera selesai, tepatnya hanya tersisa satu bulan lagi. Tapi Tuhan tidak mengijinkan diriku untuk mengecap kebahagiaan untuk seutuhnya, karena Tuhan telah lebih dulu mengambil suamiku ke sisi-Nya, sebelum kepulanganku. Padahal setahun sebelum kepergiannya, dia memintaku untuk menyelesaikan kontrak kerja dua tahun saja, dia bilang anak-anak sudah dewasa dan membutuhkan bimbingan dari orang tuanya, apalagi sosok ibu, begitu penting bagi mereka. Tapi karena egoku, egoku, dan egoku… selalu saja kurang cukup. Dan yang kuharapkan kala itu adalah masa tuaku bahagia. Tapi tak aku dengarkan permintaan dari suamiku, hingga aku lanjutkan kontrakku yang tahun ketiga.
Aku tidak tahu firasat apa yang kurasakan ketika Tuhan akan mengambil suamiku dalam kecelakaan itu. Memang beberapa hari sebelum kepergiannya dia lebih manja terhadap diriku, dia selalu bilang bahwa dia begitu menyayangiku. Kuanggap itu hal yang wajar, karena aku akan segera pulang. Pada suatu malam ketika aku baru pulang dari membeli kado buat oleh-oleh untuk pulang, saat membungkus jam tangan untuk kado suamiku, pikiranku tidak karuan, lalu kuambil foto suamiku dan kuletakkan di meja tempat aku membungkus kado. Setelah kado aku bungkus, aku simpan dalam koperku, dan ketika kado kuangkat, tiba-tiba kado itu jatuh menimpa foto suamiku hingga pecah kaca piguranya. Ketika kupungut dan kubersihkan, karena tidak hati-hati, tanganku berdarah terkena pecahan kaca dari pigura itu. Seketika itu pula perasaanku kacau tidak karuan, karena kutahu ini adalah firasat buruk. Meskipun begitu aku tetap berpikiran positif, semoga saja tidak terjadi apa-apa dengan suamiku di Indonesia.
Saat itu juga kuraih ponselku dan segera menghubungi suamiku, tapi tak ada jawaban di seberang sana. Kuhubungi sampai beberapa kalipun, tak pernah teleponnya diangkat. Lalu kuhubungi sanak keluargaku yang lain, tapi tetap saja mereka bungkam dan tak ada penjelasan memuaskan.
“Pak Le, apa yang terjadi? Perasaanku tidak enak begini,” tanyaku kepada paman dengan perasaan yang sudah tidak karuan.
“Tidak ada apa-apa Tin, semua baik-baik saja,” ucapnya dengan ragu.
Kutanyai saudara dan anak-anakku satu-persatu, tapi tetap saja tak ada penjelasan.
“O…ya, ada Rasdi, teman kerja suamiku. Mungkin dia tahu apa yang tidak beres,” pikirku.
Langsung kutelepon dan kutanyakan apa ada yang tidak beres. Dengan ragu dia mengatakan,
“Tin, kamu yang tabah ya terima semua ini,” ucapnya.
“Apa maksudmu??” tanyaku cemas.
“Suamimu mengalami kecelakaan, mobilnya menabrak pohon, ketika kemarin dia pulang kerja, dan dia meninggal.”
“APA??”
Jatuhlah ponsel yang kugenggam, seketika itu pula aku menangis sejadi-jadinya, sedangkan Rasdi masih memanggil-manggil aku di ujung sana. Tidak perduli Laopan dan Laopan Niang menatapku dan bertanya-tanya apa yang terjadi, segera aku kemasi barang-barangku. Aku minta pulang hari itu juga, berharap masih bisa melihat wajah suamiku untuk yang terakhir kalinya, meski tak bisa mendengar lagi kata sayang yang sering dia ucapkan.
Sayang sungguh sayang, kala itu angin topan sedang menerpa pulau Taiwan, dan tak ada satupun pesawat yang berani melayang di udara. Kutunggu malam hingga esok hari, tapi angin topan itu benar-benar memenjarakanku, tak mengijinkan aku untuk menatap wajah suamiku untuk yang terakhir kalinya, karena angin topan itu menerpa hingga tiga hari lamanya.
“Ya Tuhan, apa salahku? Aku hanya ingin memeluk dan mencium suamiku untuk yang terakhir kali, juga ingin memberikan kado ini meski dia tak bisa memakainya,” jeritku dalam hati.
Hanya Al-Qur’an yang kudekap selama tiga hari kutunggu angin topan berlalu. Tak ada makanan yang masuk dalam tubuhku, karena pikiranku benar-benar kacau. Tibalah angin topan meninggalkan Taiwan, langsung majikanku mengantar ke bandara dan membelikan tiket jurusan Surabaya. Hanya ucapan terima kasih yang bisa kuucap kepada majikan yang begitu baik terhadap diriku.
Meski begitu, majikanku masih berharap aku kembali dan menghubunginya. Pukul 08:30 pesawat lepas landas meninggalkan Formosa. Perjalanan itu terasa sangat lama, selama itu pula air mataku tak hentinya membasahi pipiku.
“Siao Cie, ni hai hao ma?” seorang pramugari menanyaiku sambil menyodorkan segelas air putih.
“Hao, sie-sie ni.” Diapun berlalu dari hadapanku.
Satu jam kemudian pesawat mendarat dengan selamat di bandara Juanda, Surabaya. Aku keluar dari pesawat dengan kaki yang sangat lemas, kulihat dari kejauhan, keluargaku sudah menunggu dan melambaikan tangannya. Rona sedih kulihat dari wajah mereka, dan tak kuasa lagi menahan air mataku, segera aku memeluk ketiga buah hatiku. Wajah anakku terlihat begitu sembab, aku tahu mereka pasti menangis terus sejak kehilangan ayah tercinta.
“Bu, Ria kangen.” Anak yang paling bungsu yang berumur 12 tahun langsung menciumku, langsung diikuti kedua kakaknya yang langsung merangkulku. Di sepanjang perjalanan dari bandara, tak hentinya mereka memegangi tanganku.
“Ibu ingin langsung ke tempat istirahat ayah,” ucapku memecah keheningan, dan semua menganggukkan kepala, termasuk orang tuaku.
Sampailah kita di sebuah pemakaman umum di desaku, kulihat dari jauh segunduk tanah yang masih basah dan bertabur bunga yang masih segar. Dan untuk yang kesekian kalinya, air mataku kembali membanjiri kedua pipiku.
“Tadi pagi kami menaburkan bunga-bunga itu,” ucap lena, anak sulungku.
“Terima kasih nak,” ucapku.
Langsung aku berlutut di sisi pusara itu, dan kukeluarkan sebuah kado dari dalam tas tanganku.
“Mas, kamu tak sabar menungguku, hanya satu bulan lagi mas, kontrak kerjaku selesai. Kalau saja aku tahu kau akan secepat ini meninggalkanku, pasti kuturuti kata-katamu ketika kontrak kerjaku dua tahun, maafkan aku mas.”
“Mas, lihatlah kado ini, sudah kupersiapkan sedari lama, hanya untukmu. Dan apakah kau ingat mas, bulan depan adalah hari ulang tahun pernikahan kita. Kini kuhanya bisa mengelus fotomu, dan yang kudapatkan hanyalah pusaramu. Aku tidak tahu bagaimana hidupku tanpamu, sedangkan anak-anak sudah dewasa dan memerlukan kita mas.” Tangisku benar-benar pilu.
“Bu, sudahlah. Ayah sudah tenang di sana,” Lena menyadarkanku, isak tangisnya sungguh menyayat hatiku.
“Kita pulang Bu,” ajak mereka, padahal aku masih ingin di sana menemani suamiku.
Sore pun tiba, kutinggalkan tanah merah yang masih basah itu dengan berat, tanah yang kini menjadi tempat tinggal suamiku untuk selamanya, berharap Tuhan memaafkan semua dosa yang pernah dia lakukan..Amin.
Sesampainya di rumah, kulihat saudara-saudaraku yang lain sudah berkumpul, siap-siap untuk acara Tahlilan malam nanti. Tangis pilu yang kudengar dari kedua mertuaku semakin menyayat hatiku.
“Yang tabah ya, relakan, ini semua sudah menjadi takdir yang maha kuasa,” ucap mertuaku.
Kupeluk mereka satu-persatu, melepas rasa rindu dan beban kesedihan dalam hatiku, agar sedikit berkurang rasa sedihku. Setelah itu kumasuk ke dalam kamarku, kulihat foto suamiku, senyumnya mengobati luka hatiku. Terus dan terus kupegang dan kupandangi foto itu, hingga tak terasa aku tak sadarkan diri.
Sayup-sayup kudengar orang-orang membaca ayat suci dan kulihat anak-anak berada di sampingku memeluk dan menciumku, ibu mertuaku memberi segelas air putih untukku, setelah aku minum aku segera bangkit dari pingsanku untuk berwudhu dan ikut membaca ayat-ayat suci. Aku sadar suamiku telah tenang di samping-Nya, tapi anak-anakku sangat memerlukan aku, satu-satunya orang tua yang masih tersisa.
Setelah usai tahlilan, kami semua berkumpul untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, dan kenapa aku sebagai istrinya malah tahu kabar itu dari orang lain.
“Sebenarnya bagaimana kejadian itu dan kenapa kalian tidak memberitahukan aku segera?” tanyaku dengan perasaan yang sudah lebih baik.
“Semua ini sudah menjadi takdir suamimu Tin. Tidak ada yang tahu malam itu dia kecelakaan, dia hanya bilang malam itu ada tugas dadakan di kantor Satpol PP (Pamong Praja), dan karena buru-buru dia tak membawa ponsel ataupun dompet, jadi ketika kecelakaan itu terjadi tak ada satupun identitas yang bisa dihubungi pihak kepolisian, baju yang biasa dia kenakan pun bukan baju seragam, jadi benar-benar tidak ada identitas,”ucap pamanku panjang lebar.
“Jadi bagaimana dia ditemukan?” tanyaku
“Baru besok paginya, ketika Sardi mau berangkat kerja, dia melihat mobil ringsek milik punya suamimu di kantor polisi, dan benar itu adalah punya suamimu. Baru kami tahu bahwa tadi malamnya suamimu kecelakaan dan jasadnya terlantar di rumah sakit semalaman,” ucap pamanku lagi.
“Sudahlah Tin, tak ada yang ingin di tinggalkan dia begitu cepat, tapi setidaknya ikhlaskan kepergiannya biar dia tenang di sana.” Sekali lagi paman menenangkanku.
Sejak saat itu, aku bisa lebih tabah menghadapi semua ini, hari-hari aku abdikan untuk mengurus ketiga buah hatiku. Satu tahun pun berlalu sesudah kepergian suamiku, ada rasa kesepian yang melekat dalam hatiku, sebagai wanita normal aku juga membutuhkan kasih sayang lawan jenis untuk mengobati luka hatiku. Aku tahu umurku tidaklah muda lagi dan memiliki tiga orang anak yang sudah beranjak dewasa.
Tak lama berselang, ada seorang lelaki yang ingin meminangku dan menerima keadaanku apa adanya, termasuk ketiga anakku. Menikahlah aku dengannya atas landasan agar saling berbagi hingga masa tua nanti, dan juga demi anak-anakku. Mereka membutuhkan sosok ayah yang nyata dalam kehidupannya, meski aku tahu ayahnya yang telah tiada tidak bisa menggantikan dalam hati mereka.
Bulan Desember tahun 2009, kutinggalkan lagi keluargaku untuk merantau ke Taiwan, meski berat hati melepas lagi kepergianku, mereka bisa mengikhlaskannya demi cita-cita mereka juga, mereka sekolah bukan dengan modal yang sedikit, dan kepergianku ini untuk mencari modal menyekolahkan mereka ke jenjang yang lebih tinggi. Maafkan aku suamiku, kutinggalkan engkau untuk mengurus anak-anakku.
Sebenarnya rasa takut itu selalu membayangi pikiranku, takut Tuhan mengambil orang-orang yang kucintai tanpa aku disampingnya, semoga saja tak terulang kejadian itu.
“ting…tong…ting…tong…” aku terperanjat dari lamunan panjangku, suara bel itu membangunkan aku dari masa laluku, “Mungkin majikanku pulang kerja,” pikirku.
Ternyata benar, sudah hampir satu tahun aku kembali ke majikanku yang dulu, bekerja demi anak-anakku.
“Tuhan, jangan kau ambil lagi orang-orang tercintaku tanpaku di samping mereka. Tapi jika sudah menjadi garis kehidupanku, aku akan ikhlas untuk menerimanya, dan menunda mimpi-mimpi indahku.”