Foto ilustrasi diambil dari hdwallpapergirls.
Kalau saja airmataku tidak terkuras dulu, mungkin aku sampai sekarang tetap wanita yang mudah menangis. Aku harus bersyukur bahagia, ataukah menangis dengan kenyataan ini. Aku tak tahu. Akan tetapi perlakuan bapaknya anak-anakku memang tak pantas ditiru. Cukup lah aku saja yang mengalaminya. Jangan anak-anakku. Karena sakitnya, tak terkatakan lagi.
**********************
Dua anakku menangis, saat mengetahui bapaknya pergi dari rumah sambil marah-marah. Walaupun masih duduk di sekolah dasar ketika itu, dan mereka belum paham arti kepergian bapaknya yang memang untuk meninggalkan kami karena menikah lagi dengan seorang wanita yang masih perawan. Diam-diam air mataku menetes juga. Namun aku tidak boleh terlihat lemah didepan anak-anak yang tangisannya membuat dadaku sesak. Aku peluk mereka. Sabar Nak, Ibu akan merawat dan menjaga kalian. Pecah sakit ini.
Mantan suamiku itu, seorang penjahit rumahan. Dahulu kami hanya mengandalkan penghasilan dari hasil menjahit saja. Aku membantu suamiku sambil mengasuh anak. Awalnya rumah tangga kami biasa-biasa saja. Suamiku juga sosok yang tidak banyak bicara. Sayang juga sama keluarga. Entah bagaimana awalnya hingga suamiku mulai berubah dan keluargaku berantakan karena berpisahnya aku dan suami.
Kehadiran orang ketiga, perempuan muda yang usianya terpaut 20 tahun dengan suamiku yang pantasnya menjadi anakku. Ya, Allah…mengapa ini harus terjadi dalam keluargaku? Tak hanya itu, bahkan wanita yang mengambil suamiku itu sempat memaki dengan kata-kata yang tak pantas. Aku dikatakannya ditinggal suami karena aku berselingkuh. Padahal tak pernah sekalipun aku menduakan suamiku seperti yang dilakukannya padaku sekarang dengan menikahi wanita lain.
Hidup harus terus tak berhenti begitu saja meskipun keluargaku tak utuh lagi. Aku harus bangkit demi buah hatiku. Sakit hati ini saat ditinggal suamiku, tak sesakit ketika aku juga difitnah membagi cinta. Sungguh sakitnya tak terkata. Salah apa aku? Sudah suamiku diambil, masih pula harus difitnah keji.
Tahun-tahun pertama kulewati penuh linangan airmata, keringat, juga doa. Tak henti aku memohon agar aku bisa kuat. Dengan dukungan keluarga, aku mampu melewati hari-hariku kembali. Dan kuputuskan, tak ingin menikah lagi. Biarlah hidupku kini hanya untuk mendampingi anak-anakku yang mulai tumbuh besar. Aku berharap banyak titipan Tuhan itu kelak menjadi sosok yang bisa dibanggakan.
Tahun kedua pernikahan mantan suamiku, lahirlah buah hati mereka. Aku pun ikut bahagia. Rasa sakit itu sudah kuhapus dengan keikhlasan. Tak perlu berlama-lama menyimpan sakit dihati. Tak baik untukku dan anak-anak. Beberapa tahun kemudian, saat keadaan mulai normal kembali, aku dan mantan suamiku pun kembali berkomunikasi atas nama anak. Komunikasi biasa. Tak ada perasaan apapun. Dari cerita anakku yang bungsu, yang akhirnya sesekali diasuh Bapaknya itu kuketahui kalau mereka bahagia. Syukurlah. Semoga tak ada orang ketiga lagi diantara mereka sehingga perceraian tak akan terjadi.
Tak terasa anakku sudah beranjak dewasa. Lepas sekolah menengah atas, mereka pun memilih pekerjaannya masing-masing. Meski untuk menyekolahkan hingga perguruan tinggi aku tak sanggup, akan tetapi anak-anakku tidak protes. Mereka menerima kenyataan bahwa mereka tumbuh tanpa didampingi seorang Bapak. Sebab dalam sebulan saja belum tentu mereka bertemu mantan suamiku.
Anak sulungku bekerja disebuah perusahaan spare part sepeda motor merk ternama di Jakarta. Sebulan sekali aku dikirimi uang untuk menambah uang dapur. Anakku yang kedua masih sekolah di SMU. Jadi masih memerlukan biaya. Sedikit lega memang dengan bekerjanya anakku. Setidaknya, ada yang membantuku menguatkan ekonomi keluarga. Setahun kemudian, anakku sudah memiliki teman dekat perempuan. Tak menunggu lama pula, si sulung sudah meminta restu dan ijinku untuk menikah. Akhirnya, salah satu anakku pun menikah. Aku bersyukur. Sangat bersyukur.
Usiaku makin bertambah. Bahkan tak terasa sudah kepala lima. Itu artinya, lima belas tahun sudah aku sendiri. Dan nyatanya aku mampu. Suatu kabar kembali terdengar. Istrinya mantan suamiku hamil kembali. Padahal anak pertama mereka sudah remaja. Suamiku kini berumur 60, otomatis isterinya sudah 40 tahun. Ah kalau Tuhan berkehendak ternyata memang masih memberi keturunan pada mereka. Ikut bahagia saja.
Sembilan bulan sepuluh hari kurang lebih, isterinya mantan suamiku melahirkan. Seorang bayi laki-laki, sehat, montok. Keduanya selamat meskipun beberapa kali kudengar keluar masuk rumah sakit karena isterinya sering mengeluh ada masalah selama kehamilan. Untungnya, keduanya bisa sehat kembali. Bertambahlah keluarga bapaknya anak-anak.
Minggu ke minggu yang cepat, tak kurasakan. Aku juga bahagia karena telah menjadi seorang nenek. Ah, bahagia yang berlipat diusiaku sekarang. Namun kabar yang kuterima malam itu, sangat mengguncang hati. Isterinya mantan suamiku jatuh dari kamar mandi dan langsung dilarikan ke rumah sakit. Keadaan makin genting karena ternyata, selain memiliki masalah kesehatan dengan penyakit diabetes, harus pula mengetahui kalau dia juga menderita kanker payudara. Astaghfirullah……
Langit ikut muram semenjak itu.
*************
Seminggu dirumah sakit, rupanya Allah SWT lebih menyayanginya. Isteri mantan suamiku meninggal diusia muda. Innalillahi wa inna ilaihi rojiuun…hujan yang turun sore itu, turut serta mengisyaratkan duka yang mendalam. Seorang bayi merah yang harus kehilangan pula ibu yang telah melahirkannya.
Aku tahu, suamiku pasti sedih. Perempuan yang ia cintai pergi meninggalkannya untuk selama-lamanya. Mungkin Tuhan punya rencana lain. Manusia tak pernah tahu. Aku pun datang ikut bela sungkawa. Laki-laki yang dulu pernah menyakitiku, kini merasakan sakit yang teramat pula. Padahal belum lama mereka membeli rumah setelah bertahun-tahun hidupnya hanya mengontrak. Allah sungguh Maha Melihat, Maha Mendengar. Aku malu pernah marah karena hidupku yang hancur. Jawaban atas doa itu memang hanya Tuhan yang tahu. Dan bahwa apa yang kita lakukan sekarang, akan menuai hasilnya kelak dikemudian hari.
Diceritakan lagi oleh Enno Salsa