Foto diambil dari herworldPLUS.
Berbicara tentang takdir, aku tak berani menunjuk semua ini dan menyalahkan pada Sang Maha Hidup. Apalagi menuding Tuhan sebagai satu-satunya pihak yang bersalah, aku tak mau melakukan itu dalam hidupku. Suka duka menjadi ujian untuk meraih apa itu arti dan makna sebuah kedewasaan. Seperti kisah pedihku dalam perjalanan meraih sukses.
“Apa Mbak? Minum air kran? Teganya!” sontak dari seorang sahabat dekatku di Taiwan. Sengaja kuceritakan perlakuan seorang agensi di Malaysia.
“Benar sekali, Mbak. Tak hanya itu saja, Sembilan hari aku tidak diberi makan dengan sengaja, justru malah disuruh membersihkan kantor,” jawabku dengan perasaan dada sesak bila mengingat kejadian pahit tersebut. Meski demikian, aku adalah eks BMI Malaysia 3 tahun, yang pada akhirnya harus melayangkan nasib ke negeri Formosa untuk pertama kalinya.
“Apakah kamu tidak meminta bantuan saat itu?” lanjutnya, mengaku sebagai seorang penulis dan kakak angkat bagiku.
“Percuma Mbak. Aku hanya pasrah dengan keadaan, mengingat bahwa diam adalah wujud dari rasa syukurku. Bagaimana tidak? Karena sebelumnya, aku justru akan dibuang di jalan sebagai gembel oleh majikanku. Niatnya memulangkanku secara paksa.” jawabku dengan mata berkaca-kaca.
***
Panggil saja namaku Intan (bukan nama sebenarnya), berasal dari Kesamben, Jawa Timur. Hsincu adalah nama kota tempatku sekarang bekerja menjaga Ama. Setahu aku Taiwan menjanjikan keberhasilan nyata, bila hasil jerih payah selama 3 tahun terkumpul dan pastinya bermanfaat bagi masa depan. Tapi, lagi-lagi ujian besar datang dalam hidupku untuk kedua kali.
Stres yang kurasa akibat setelah ditinggal suami, menjadikanku banyak melamun. Usiaku yang masih di bawah 30 tahun harus menyandang status janda beranak satu, suamiku lari dengan wanita pujaannya. Pilihan pergi merantau adalah jalan terbaik untuk membiayai jatah hidup dan sekolah anakku yang masih duduk di Sekolah Dasar.
“Ya Allah, ingin rasanya aku bisa kembali lagi ke Taiwan untuk yang kedua kalinya, namun kenapa anak-anak Nenek begitu jahat terhadapku?” keluh tangisku dalam doa pada suatu malam.
Ama (sebutan untuk nenek) yang kurawat sudah tak banyak bicara, namun dari pihak salah satu anaknya ingin memulanganku. Kendati aku tak bersalah, akhirnya dengan bantuan agensi maka aku terlepas dari tuduhan dan kesalahan yang dibuat-buat olehnya.
Ada sesuatu mengganjal dan terpendam di dada ini, mampu kuceritakan kepada seorang penulis. Darinya, aku banyak belajar apa arti sebuah kesabaran dan semangat. Ada satu kalimat yang sampai detik ini teringat jelas di benakku, “Hidayah itu mahal,” begitulah ucapnya. Benar sekali, dari itulah aku bercermin bahwa kesuksesan diraih bukan dengan cara instan.
“Mbak, sadar. Istigfar sebanyak mungkin,” ungkap sepupuku yang ada di Indonesia. Sengaja aku menceritakan kisahku untuk meminta pertimbangan tentang rencana dijadikan istri kedua oleh seorang ustadz.
“Baiklah, aku akan berpikir lagi.” jawabku singkat. Sambungan telepon pun kututup. Ada keanehan memang semenjak aku mengenal seorang yang mengaku sebagai ustadz dan memintaku menyetujui niat nikah sirinya. Dalih dari rasa cintanya itu beralasan bukti cinta terhadap Allah. Bagai kerbau yang dicucuk hidungnya, aku hanya mampu mengiyakan tanpa menolak alasan apapun.
***
Awal kisah pahitku terjadi karena perkenalan di dunia maya, facebook. Profil pria gagah bersorban, senyum manis dan status ribuan yang mencerminkan akhlak baik serta terpuji. Sebagai wanita yang masih trauma dengan rasa sakit dan luka perbuatan suamiku, pun tunduk dan mengaguminya. Perkenalan berbuah asmara dan melahirkan benih cinta dalam hitungan waktu singkat.
Seiring waktu berjalan, pengorbanan tenaga, pikiran dan perasaan pun akhirnya tak bisa kuhindari. Bukan hanya itu, dengan mudah aku merogoh kocek dalam jumlah besar dan memuluskan niat busuknya dengan mentranfer uang ke ATM rekeningnya. Tak sekali, dua kali, hal itu kulakukan karena menganggapnya mencintaiku dengan tulus.
Aku tak percaya bila usahaku berbuah sia-sia, geram dan marah telah menyelimuti emosiku hingga meledak. Pertengkaran tak terhindar pun terjadi di telepon, karena memang tidak pernah ada pertemuan yang terjadi di antara kami berdua. Mungkin, ini cara Allah membuka pintuku untuk terlepas dari niat jahatnya.
“Apakah gendam itu bisa mengatasnamakan Allah, Mas?” tanyaku seketika.
“Apa maksudmu!” Amarahnya meluap bagai lahar yang siap menelan mentah-mentah tubuhku. Dia menyadari, bahwa gendam yang selama ini menjadi ritualnya telah kubongkar. Istiqomah dan sholat malam selama ini, menunjukkan pada siapa orang yang kucintai, tepatnya pria yang salah, sesat.
Mengaku sebagai ustadz, namun ibadah dan sholatnya ditinggalkan. Tutur kata manis dan lembut hanya bualan untuk meraih perhatian dan rasa sayangku dari jarak jauh. Ah, rasanya sesal ini tak berarti. Semua sudah terlambat untuk kutangisi.
Aku tidak terima perlakuan bejatnya dengan menipuku, tapi aku pun berusaha ikhlas. Dari kejadian ini, ada dua hikmah besar yang kudapatkan. Satu sisi, aku pernah mendapat wejangan dan penuturan tentang ilmu agama. Sayangnya, kepandaian itu dimanfaatkannya untuk hal negatif. Sisi lainya, kekecewaan luar biasa kurasakan lahir batin yang mengakibatkanku terlalu berharap lebih akan cinta tulus suci dari sosoknya yang begitu sempurna di mataku. Meski kusadari kali ini, kesempurnaan itu berubah 180 derajat, yang ada hanya kepalsuan dan kebohongan belaka.
Cerita kisah hidupku ini terjadi di akhir Desember 2012 hingga Juni 2013, entah kebetulan atau rencana Tuhan, bulan berikutnya aku membaca warta utama di tabloid Indosuara tentang kisah BMI yang juga sama kena tipu bohong oleh ustadz gadungan untuk dijadikan istri.
Padahal, tidak ada namanya kebetulan dalam hidup ini. Mungkin ini cara Allah menegurku untuk segera sadar dalam ilmu gendam pria yang mengaku ustadz itu, dan seperti kata penulis sebagai tempat curhat yang selalu memotivasiku untuk bangkit, “Bahwa hidayah itu mahal, tak terganti dengan segala isi perut bumi.”
Alhamdulillah, Ya Allah. Jodoh tak harus datang dari dunia maya, dengan pelajaran berharga ini, aku akan lebih waspada dan hati-hati. Mengingat masa kontrakku tersisa hanya dalam hitungan jari, semoga membawa berkah dan ridhoMu di kemudian hari. Aamiin.