Foto ilustrasi diambil dari 123rf.
Ketika kita merasa seorang yang kita punya adalah yang tak berharga, tetapi sebetulnya seorang itulah yang kelak akan menjadi warna yang indah di kehidupan kita. Ketika kita merasa bersama dia adalah derita. Maka ketika dia pergi, kehidupan kita akan menjadi hampa.
Aku membencinya, itulah yang selalu kubisikkan dalam hatiku hampir sepanjang kebersamaan kami. Meskipun menikahinya, aku tak pernah benar-benar menyerahkan hatiku padanya. Menikah karena paksaan orang tua membuatku membenci suamiku sendiri.
Walaupun menikah terpaksa, aku tak pernah menunjukkan sikap benciku. Meskipun membencinya, setiap hari aku melayani sebagaimana tugas seorang istri. Aku terpaksa melakukan semuanya karena aku tak punya pegangan lain. Beberapa kali muncul keinginan untuk meninggalkan dia, tapi aku tak kuasa karena tak ada dukungan dari siapapun. Kedua orang tuaku sangat menyayangi suamiku. Suamiku adalah sosok suami sempurna untuk aku, putri mereka satu-satunya.
Ketka menikah, aku menjadi istri yang teramat manja, kulakukan segala hal sesuka hatiku. Suamiku juga memanjakan aku, aku tak pernah benar-benar menjalankan tugasku sebagai istri. Aku selalu tergantung padanya karena aku menganggap hal itu semua sudah seharusnya, setelah apa yang dia lakukan padaku. Aku telah menyerahkan hidupku padanya, sehingga tugasnyalah untuk membuatku bahagia dengan menuruti semua keinginanku.
Di rumah kami, akulah ratunya. Tak ada seorangpun yang berani melawan. Jika ada sedikit saja masalah, aku selalu saja menyalahkan suamiku. Aku tak suka handuknya yang basah yang diletakkan di atas tempat tidur. Aku sebal jika ia meletakkan sendok sisa mengaduk kopi di atas meja dan meninggalkan bekas warna hitam. aku benci ketika ia memakai komputerku meskipun hanya sebentar. Aku marah ketika dia menggantung baju-bajunya di lemariku. Aku juga marah jika dia menghubungiku hingga berkali-kali ketika aku sedang bersenang-senang dengan teman-temanku.
Tadinya aku memilih untuk tidak punya anak. Meskipun tidak bekerja, tapi aku tidak mau mengurus anak. Awalnya ia mendukungku dan akupun menjalankan KB dengan pil. Tapi rupanya ia menyembunyikan keinginannya begitu dalam. Sampai suatu hari aku lupa minum pil KB dan ia membiarkannya.
Akupun hamil dan baru menyadarinya setelah lebih dari 4 bulan. Dokter pun menolak menggugurkannya. Itulah kemarahan terbesarku padanya. Kemarahanku bertambah ketika aku mengandung kembar dan harus menjalani kelahiran yang sulit. Aku memaksanya melakukan vaksetomi, agar aku tidak hamil lagi. Dengan patuh ia melakukan semua keinginanku karena aku mengancam akan meninggalkannya bersama anak-anak.
Tak terasa waktu berlalu hingga anak-anak berulang tahun ke-8. Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku bangun paling akhir, suami dan anak-anak sudah menungguku di meja makan. Seperti biasa, dialah yang menyediakan sarapan pagi dan mengantar anak-anak ke sekolah. Hari itu dia mengingatkan kalau hari itu adalah hari ulang tahun Rasya dan Tasya, kedua anak kembarku. Aku menjawab dengan anggukan tanpa memperdulikan kata-katanya yang mengingatkan aku dengan peristiwa setahun lalu. Saat itu aku memilih ke mall dan tidak ikut merayakan ulang tahun putra-putri kembarku.
Sebelum ke kantor biasanya suamiku mencium pipiku saja dan diikuti anak-anak. Tetapi pagi itu dia juga memelukku sehingga anak-anak menggoda ayahnya dengan ribut. Aku berusaha mengelak melepaskan pelukannya, meskipun akhirnya ikut tersenyum bersama anak-anak. Ia kembali mencium hingga beberapa kali di depan pintu, seakan-akan berat untuk pergi.
Setelah mereka pergi, aku juga pergi ke salon. Menghabiskan waktu di salon adalah hobiku. Tiba waktunya aku harus membayar tagihan salon. Namun betapa terkejutnya aku ketika menyadari bahwa dompetku tertinggal di rumah. Sambil berusaha mengingat apa yang terjadi hingga dompetku tak kutemukan, aku menelepon suamiku, “Maaf sayang, kemarin Rasya meminta uang jajan dan aku lupa menaruh kembali ke tasmu. Kalau tidak salah dompetmu aku letakkan di meja kerjaku.” Katanya menjelaskan dengan lembut.
Aku mengomelinya dengan kasar. Kututup telepon tanpa menunggunya selesai bicara. Tak lama kemudian Hpku berdering, meski kesal aku tetap mengangkatnya dengan setengah membentak.
“Apa lagi??” kataku dengan kasar.
“Yang, aku akan pulang sekarang, aku akan ambil dompet dan mengantarnya padamu. Sayang sekarang di mana?” aku lalu menyebut nama salonku, tanpa menunggu jawabannya aku langsung menutup telepon. Sebenarnya pemilik salon sudah memperbolehkan aku pergi dan membayar lain kali ketika aku ke salon lagi. Tapi karena rasa gengsi yang tinggi, aku tak mau.
Hujan sangat deras siang itu, aku melihat ke luar jendela, berharap mobil suamiku segera datang. Menit berlalu menjadi jam, aku semakin tak sabar dan segera menghubungi nomor suamiku. Berkali-kali aku telepon, tapi tetap tak ada jawaban. Dan aku berusaha menelepon lagi dan akhirnya diangkat. Ketika suara bentakanku belum lagi keluar, terdengar suara yang asing di telingaku. Aku terdiam beberapa saat.
“Selamat siang ibu. Apa ibu istri bapak Gunawan?” kujawab pertanyaan itu sesegera mungkin, “Iya pak.”
“Maaf bu, kami dari kepolisian. Suami ibu, bapak Gunawan, mengalami kecelakaan dan sekarang beliau ada di rumah sakit.”
Saat itu aku hanya terdiam dan memucat. Entah bagaimana, aku sudah berada di rumah sakit. Kudapati seluruh keluargaku dan mertua telah ada di kamar suamiku. Aku hanya terdiam seribu bahasa ketika dokter mengatakan suamiku telah tiada. Serangan stroke mendadak saat suamiku mengemudi itulah penyebab kecelakaan itu.
Ketika jenazah suamiku dibawa ke rumah dan aku duduk di hadapannya, tak setetes air mata pun yang kuteteskan, malah termangu menatap wajah itu. Kusadari baru kali ini aku benar-benar menatap wajahnya yang terlihat tertidur pulas. Kudekati wajahnya dan kupandangi dengan seksama. Saat itulah dadaku menjadi sesak, mengingat apa yang telah ia berikan padaku selama puluhan tahun kebersamaan kami. Kusentuh perlahan wajahnya dan kusadari inilah kali pertama aku menyentuh wajahnya yang dulu dihiasi senyuman. Tiba-tiba dada ini terasa sesak. Air mata yang tadi tak mau menetes justru kini berlinang tanpa henti. Aku berusaha menutupi air mata ini yang justru semakin deras mengalir.
Baru kali ini aku rasakan sakit hati, merasa kehilangan. Oh Tuhan, maafkan aku yang tak pernah perduli dan mencintai suamiku. Tuhan, kembalikan dia padaku, kembalikan Tuhan..
Kini suami yang selalu mencintai aku dan melindungiku terdiam tanpa kata di bawah pusaran tanah dan batu nisan. Aku hanya bisa menangis dan menyesal, karena baru kutahu saat aku kehilangan dia, aku rapuh. Dunia ini jadi hampa. “Mas, maafkan aku. Aku mencintaimu.”