Foto diambil dari Wikihow.
Malam ini, aku kembali ditemani oleh kegelisahan. Suasana yang dingin semakin membekukan hatiku.
Jarum jam dinding yang tergantung tepat di samping jendela kamarku sudah menunjuk pukul sebelas, namun mataku masih enggan terpejam.
Berulang kali aku mencoba membenamkan kepala di balik bantal, memutar posisi badan dan merubah letak selimut. Namun itu semua tak cukup untuk membunuh galau yang tengah menderaku.
Semakin aku paksakan untuk terpejam, jiwa ini semakin jauh mengembara. Segala kisah kehidupanku sebelum ini terasa begitu jelas dan nyata.
Kurasakan butir-butir hangat membasahi kedua pipiku, saat semua yang telah terjadi dalam perjalanan hidupku selama ini hadir kembali dalam ingatanku.
Kutatap foto yang sengaja aku letakkan di bawah lampu tidurku. Dalam foto itu ada aku, suami dan anak semata wayangku. Dalam foto itu kami bertiga tersenyum dan tertawa. Alangkah indah kenyataan yang terjadi pada saat itu, pada saat foto itu diambil.
Tapi, semua kebahagian itu sekarang hanya serupa fatamorgana saja. Angin laut telah membawa pergi semua kenyataan indah itu.
Kini, yang tersisa hanyalah luka dan air mata.
Oya, panggil saja aku Murni. Hariyanto dan Anggun adalah nama suami dan anakkku. Aku berasal dari Surabaya.
Kalau teringat kejadian itu, kejadian yang telah merenggut kebahagian dari dekapanku ini, rasanya aku hanya bisa mengutuk dan menyalahkan diriku sendiri. Ya, karena semua itu terjadi lantaran sifat keras kepala serta ego-ku yang terlalu tinggi.
Dulu, sepuluh tahun yang lalu, saat usia pernikahanku baru memasuki tahun ke-4 dan umur putriku baru menginjak 3 tahun, cerita pilu rumah tanggaku bermula.
Waktu itu, suamiku termasuk dalam barisan karyawan yang dirumahkan oleh perusahaannya yang mengalami pailit. Sebenarnya, waktu itu posisi suamiku di perusahaan itu sudah lumayan tinggi. Dari pekerjaan suamiku, kami bisa hidup bahagia dan serba kecukupan.
Namun setelah suamiku tidak bekerja, semuanya berubah. Kebutuhan rumah tangga semakin meningkat, sedang suamiku belum mendapatkan pekerjaan baru. Uang tabungan yang sedianya untuk biaya pendidikan anak kami akhirnya habis untuk biaya kebutuhan sehari-hari.
Hari-hari kami waktu itu selalu diwarnai keributan-keributan kecil. Sebenarnya semua keributan berawal dari tuntutan-tuntutanku. Aku menuntut kehidupan kami yang sebelumnya. Kehidupan yang berkecukupan.
Beruntung suamiku adalah seorang yang penyabar, hingga setiap kali kami ribut, dia memilih untuk menghindar.
Hingga suatu hari, hampir setahun dari pemecatan suamiku itu, seorang sahabat SMP menawariku untuk ikut menjadi TKW. Tanpa pikir panjang aku langsung menyetujui. Aku membayang dengan gajiku sebagai pembantu di Taiwan akan bisa menjadi modal usaha untuk suamiku.
Lantas aku segera menyampaikan niatanku itu kepada suamiku, namun sungguh jauh dari yang aku harapankan. Suamiku tidak mengijinkan aku untuk pergi merantau keluar negeri.
Tapi aku tidak putus asa. Aku terus membujuk suamiku. Entah karena keras kepalaku atau karena dia mempertimbangkan hal lain, hingga akhirnya aku mendapatkan ijin.
Akhirnya aku pun berangkat ke Taiwan sebagai TKW, saat itu putriku genap berumur 4 tahun. Air mata tak henti membasahi wajahku kala itu, saat menatap wajah-wajah yang begitu aku sayangi sepertinya tak rela melepaskan kepergianku.
Tapi saat itu aku sudah bertekad, bahwa aku akan menerjang badai demi bisa kembali membuat keluarga kecilku bahagia. Meskipun aku harus menanggung rindu selama 3 tahun.
Dua tahun pertama kontrakku aku jalani dengan penuh air mata. Kerinduan akan buah hati serta suami membuatku menangis setiap malam. Selama 2 tahun itu aku sama sekali tidak pernah bergaul dengan dunia luar.
Setiap ada waktu luang aku menggunakan untuk sekedar menulis surat kepada keluarga.
Memasuki tahun ke-3 aku mulai tahu dunia luar. Aku mulai mengenal beberapa teman setanah air. Dari situ, sedikit demi sedikit aku bisa menghibur diri sendiri.
Kebahagaianku membuncah kala sisa kontrakku sisa 1 bulan saja. Selain karena bisa segera bertemu dengan anak dan suami, aku juga bahagia karena uang hasilku bekerja selama ini telah suamiku pergunakan sebagai modal usaha kecil-kecilan.
Hari kepulanganku tiba, aku harus menahan kesedihan dan kehilangan yang sama seperti saat aku akan berangkat dulu. Selama 3 tahun bekerja, kelurga majikan telah menganggap aku sebagai bagian dari keluarga mereka. Mereka memintaku untuk kembali bekerja, namun aku tolak.
Setiba di rumah, aku yang sudah terbiasa hidup serba enak di Taiwan kembali menjadi diriku yang egois. Pendapatan dari usaha suami yang hanya cukup untuk makan saban harinya membuat aku kembali berpikir untuk kembali lagi ke Taiwan.
Entah pengaruh dari mana hingga saat itu aku benar-benar seperti terlupa anak dan suami. Yang ada dalam pikiranku saat itu hanya materi dan materi.
Setelah adu mulut dengan suami, 3 bulan setelah kepulangan aku kembali lagi ke Taiwan.
Tak seperti kontrak pertama, kedatanganku kali ini sudah tidak terlalu membawaku larut dalam kesedihan, meskipun kerinduan akan anak dan suamiku tetap memenuhi setiap rongga dari hatiku.
Tiga tahun pun berakhir, aku kembali pulang ke tanah air. Setiba di rumah aku kaget karena uang hasil selama 3 tahun terakhir masih tetap utuh di dalam tabungan. Suamiku tidak mempergunakan untuk menambah modal usahanya. Aku sempat marah akan hal itu. Namun suamiku hanya diam, dia mengatakan sudah lebih dari cukup dengan uang yang dihasilkanya setiap hari, tanpa perlu mengambil tabungan. Dua bulan di rumah, aku seperti orang asing. Anakku hampir tidak mengenalku. Suamiku menjadi begitu pendiam. Entah apa yang terjadi. Entah apa yang telah aku lewatkan selama 6 tahun ini. Mereka menjadi orang lain bagiku.
Aku marah. Aku tidak terima dengan kenyataan yang aku dapati. Kenyataan bahwa ternyata, aku menjadi asing dalam hati anak dan suamiku.
Kemudian yang bisa kulakuan adalah lari. Ya, aku kembali ke Taiwan. Saat itu aku dirasuki oleh ego. Saat itu aku tak menyadari kebodohanku. Di saat itu seharusnya aku berusaha untuk kembali masuk ke dalam hati anak dan suamiku, bukannya malah kembali meninggalkan mereka. Bodoh!
Dan kini, setelah aku kembali dari 3 tahun pelarianku, aku tak mendapati apa dan sesiapa dalam rumah ini. Mereka telah pergi. Mereka telah menemukan kebahagian yang hakiki.
Pada sebuah petang, 2 minggu yang lalu, kabar itu datang padaku, bahwa kedua belahan hatiku telah berpulang, mendahuluiku. Meninggalkanku.
Saat itu aku tidak bisa menangis, aku hanya tergugu, namun entah hingga berapa lama. Aku hanya bisa mengutuk diriku sendiri. Mengutuk kenapa harus kembali meninggalkan mereka. Kenapa aku tidak berada di atas motor yang saat itu tengah mereka kendarai, kenapa aku tidak memeluk kalian di bawah gilasan roda kereta api itu, kenapa?!
Selesai.
Diceritakan kembali oleh Justto, dari AA di Surabaya.