Kuntaman dan tim ahli Mikrobiologi FK UNAIR. Foto diambil dari http://fk.unair.ac.id/
Infeksi Methicillin-resistant Staphylococcus aureus atau MRSA masih menjadi keprihatinan dunia. Di Indonesia, prevalensi infeksi MRSA di lingkungan rumah sakit diperkirakan melonjak signifikan. Upaya menurunkan angka kejadian infeksi MRSA memang tidak mudah. Terlebih lagi, Indonesia belum memiliki angka pasti berapa besaran prevalensinya.
Terkait dengan hal itu, pakar ilmu Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (UNAIR) Surabaya, Kuntaman mengatakan, infeksi MRSA sudah sepatutnya mendapat perhatian khusus, mengingat saat ini emergency microba resistent sudah masuk golongan emerging diseases yang memerlukan tindakan pencegahan sesegera mungkin.
Untuk itulah, Kuntaman dan tim ahli Mikrobiologi FK UNAIR yang bekerja sama dengan Erasmus University Medical Center melakukan serangkaian penelitian berkelanjutan selama tahun 2004 hingga 2006. Dari penelitian ini, tim Mikrobiologi FK UNAIR berhasil menyusun sebuah guideline.
“Guideline ini adalah bentuk upaya menekan laju peningkatan prevalensi MRSA. Dalam waktu dekat rampung dan selanjutnya akan kami serahkan kepada Kemenkes RI untuk ditindak lanjuti,” ujarnya, Senin (6/2/2017).
Di tahun pertama penelitian, tim Mikrobiologi berhasil menemukan parameter untuk melihat seberapa besar permasalahan MRSA di Indonesia. Sementara di tahun kedua, diperoleh seberapa besar penyebaran MRSA di rumah sakit. Dan puncaknya di tahun 2016, Kuntaman dan tim menyusun guideline untuk mengendalikan resistensi antimikroba.
Sebelum guideline ini ditawarkan ke pihak Kemenkes RI, FK UNAIR terlebih dulu akan mendiskusikan guideline ini dengan sejumlah rumah sakit pusat di Indonesia. Seperti RSUD Dr. Saiful Anwar, RSUD Dr. Moewardi , RSUP Dr. Kariadi, RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan, RSUP H. Adam Malik, RSUP Dr. Mohammad Hoesin, dan RSU Dr M. Jamil Padang.
“Dalam menyusun guideline, kita harus bekerjasama dengan rumah sakit pusat lainnya, karena diskusi ini untuk menilai apakah guideline ini dapat diterapkan juga di seluruh rumah sakit di Indonesia. Nantinya akan ada win-win solution,” cetus Kuntaman.
Kun berharap, lahirnya guidline ini dapat meningkatkan sistem pelayanan penyakit infeksi dengan menurun mikroba resisten, sekaligus mempersiapkan data valid infeksi MRSA di Indonesia khususnya di RSUD Dr. Soetomo terlebih dulu.
Kuntaman meyakini, dalam mengendalikan laju infeksi MRSA, kuncinya ada pada kebijakan pemakaian antibiotik. Karena hal tersebut sangat berkaitan dengan kuat tidaknya pengaruh infeksi MRSA. Semakin tidak baik kebijakan antibiotik maka semakin tinggi resistensi antibiotik.
Metode pencegahan dianggap sebagai bentuk upaya yang lebih efektif dalam mengendalikan peningkatan resistensi antimikroba di Indonesia.
Menurutnya, jika dibiarkan kondisi ini justru dapat merugikan pelayanan kesehatan, dalam hal ini BPJS. Karena yang ditangani adalah pasien dengan komplikasi penyakit yang semakin berat akibat terinfeksi MRSA, sehingga biaya terapinya membutuhkan dana yang lebih besar lagi.
“Dengan menerapkan metode pencegahan, sebenarnya ada banyak pihak yang diuntungkan. Dokter lebih mudah memberi terapi, BPJS diuntungkan, demikian juga rumah sakitnya. Sehingga tidak perlu banyak membelanjakan obat antibiotik,” pungkasnya. (yw)