Foto diambil dari Jawa Pos.
Jika anak-anak kita di rumah bisa sekolah dengan baik, maka tidak demikian dengan anak TKI di Malaysia. Mereka anak para pekerja kebun sawit tinggal di perkebunan dengan akses pendidikan yang tidak mudah. Banyak yang memilih membantu orang tua bekerja daripada sekolah.
Tapi tidak demikian dengan Aswan (22) meski menyandang status anak TKI, tak membuatnya minder. Justru sebaliknya, dia ingin mengubah persepsi orang bahwa anak TKI juga bisa berprestasi.
Aswan yang lahir di Sabah, Malaysia, 18 April 1994 adalah anak ketiga dari delapan bersaudara putra pasangan Amir bin Ten Ratu dan Mardiana, TKI asal Bone, Sulawesi Selatan. Sehari-hari Amir menjadi buruh di kebun kelapa sawit. Aswan lahir di tengah perkebunan sawit itu. Kini Aswan duduk di kelas XII SMA Permata Insani Islamic School setelah lolos seleksi beasiswa dari pemerintah.
Selama bersekolah di Tangerang, Aswan tidak pernah meminta uang ke orang tuanya. Cukup tidak cukup ia memanfaatkan uang saku beasiswa bulanannya Rp 300 ribu. Bahkan, kalau memungkinkan, ada yang ditabung agar bisa untuk membeli tiket pesawat PP Jakarta–Kinabalu. Setiap Lebaran Aswan ke Sabah menjenguk orang tua. Untuk menambah uang saku Aswan tidak malu berjualan makanan ringan di sekolah.
Hebatnya, di tengah keterbatasan ekonomi dan keprihatinan hidup, Aswan tumbuh menjadi anak muda yang mandiri, kreatif dan berprestasi. Khususnya di bidang sastra, sudah sembilan buku dia lahirkan. Dua buku kumpulan cerpen, tujuh lainnya antologi puisi. Ada yang karya tunggal. Ada yang bersama teman-teman sesama penulis remaja.
Buku perdananya, Setelah Gerimis (2015), berisi kumpulan cerpen yang dia tulis sejak masih duduk di SMP Terbuka Sabah. Sedangkan buku kedua Merantau di Negeri Sendiri (2016) berisi antologi cerpen bersama empat teman sesama anak TKI yang bersekolah di Permata Insani Islamic School.
Aswan mulai menekuni dunia tulis-menulis ketika duduk di kelas VII SMP. Saat usianya sudah 18 tahun. Maklum, di hutan kebun sawit, tak banyak anak yang mau bersekolah. Karena itu, kalau ada yang bersekolah, rata-rata umurnya sudah tua.
Saat itu Aswan diberi tugas oleh gurunya, Haris Cempaka, dari Tasikmalaya. Aswan memilih menulis pengalaman mengikuti ujian paket A. Tulisannya agak dramatis karena sebenarnya dia dipaksa mengikuti ujian kelulusan tingkat SD tersebut. Apalagi, kala itu usianya sudah 17 tahun.
Aswan sendiri mau bersekolah tidak sengaja, sebenarnya yang ditawari untuk mengikuti ujian paket A adalah Asma, adiknya. Karena jauh, Aswan ditugasi orang tuanya untuk mengantar Asma. Ternyata bukan hanya Asma yang ikut ujian. Aswan juga dirayu guru perintis sekolah terbuka Dedi Dermawan untuk mengikuti ujian. Aswan pun bersedia menggarap soal-soal ujian paket A. Padahal, dia sama sekali tidak belajar seperti adiknya.
Beranjak kelas VIII SMP, Aswan ditawari gurunya untuk ikut lomba mengarang yang diselenggarakan Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Sabah. Aswan dibimbing Diah Rachmawati, guru baru yang datang dari Surabaya. Tak diduga, karya Aswan terpilih jadi juara. Saat ujian kelulusan SMP, nilai yang dicapai Aswan termasuk tinggi. Bahkan, dengan nilainya itu, dia dinyatakan lolos seleksi beasiswa sekolah di Permata Insani Islamic School Tangerang.
Ketika berangkat untuk bersekolah di Indonesia itu, Aswan bertekad karyanya harus menjadi sebuah buku. Lahirlah buku perdana kumpulan cerpen karya Aswan berjudul Setelah Gerimis. Sebagian buku itu dia kirim ke kampung halaman di Sabah. Buku tersebut lantas menjadi koleksi sekolah-sekolah Indonesia di sana.
Kini Aswan duduk di kelas XII SMA. Tahun depan dia harus menghadapi ujian nasional (unas). Maka, dia lebih fokus belajar. Siswa yang dua kali terpilih sebagai ketua umum majelis perwakilan kelas (MPK) itu ingin mendapatkan nilai unas setinggi-tingginya. Dia ingin melanjutkan kuliah di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Sebagaimana dikutip dari Jawa Pos, Aswan ingin memperdalam ilmu cerpen dan puisi. (ol)