Peringatan Hari Buruh Internasional (May Day) 2017, Front Perjuangan Rakyat (FPR) menggelar aksi massa di beberapa daerah di Indonesia, Hongkong dan Macau. Di Jakarta, aksi massa dilakukan di Kedutaan Amerika Serikat, Balai Kota Jakarta, Kementerian Pertahanan, dan puncaknya di Istana Negara.
Aksi diikuti oleh ribuan buruh, kaum tani, rakyat miskin perkotaan, buruh migran, perempuan, dan pemuda mahasiswa. Ini adalah bentuk perjuangan melawan kebijakan pemerintah yang mengabdi kepentingan neoliberal globalisasi dibawah pimpinan imperialis yang terus meningkatkan agresi dan intervensi berkedok demokrasi, HAM, kemanusiaan, pencegahan dini (pre-emptive), dll yang pada kenyataannya semuanya untuk keuntungan ekonomi, keuangan, perluasan pasar kapital dan barang komoditas secara berkelanjutan.
Pemerintah Indonesia melayani kepentingan imperialis di regional, internasional, dan spesifik memastikan kepentingannya berjalan sukses di Indonesia. Mempercepat dan mempermudah investasi, fleksibilitas tenaga kerja yang menjamin upah murah, memanjakan borjuasi komprador mendapatkan keringanan pajak (tax holiday, tax amnesty), membuka 35 jenis usaha yang sebelumnya diharamkan bagi investasi asing, reformasi pelabuhan dan bongkar muat (dwelling-time), dan memberikan perlindungan maksimum bagi keamanan industri dan infrastruktur. Seluruh kebijakan ini menyebabkan kemerosotan hidup dan penderitaan panjang klas buruh, kaum tani, perempuan, buruh migran, dan rakyat lainnya.
Rudi HB Daman, Koordinator FPR dalam rilis yang diterima Redaksi Indosuara menyampaikan bahwa paket ekonomi di Indonesia telah membatasi kenaikan upah dan mengekang hak buruh dalam perundingan penentuan upah. Secara sistematis menghilangkan upah sektoral (UMSK) karena implementasi PP No. 78 tahun 2015 tentang Pengupahan. Akibatnya, kenaikan upah hanya 8,25 persen. Level defisit upah semakin lebar akibat jauhnya angka nominal upah dengan tingkat kebutuhan hidup minimum (living cost).
Untuk mengintensifkan fleksibilitas tenaga kerja (labour flexibility), pemerintah memberlakukan Permen No. 36 tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Pemagangan. Cara ini melegalkan pengusaha merampas upah dengan mempekerjakan orang dalam status magang dengan memberikan uang saku hanya sebesar 75 persen dari UMK. Hak berpendapat semakin dibatasi melalui penerapan berbagai regulasi. Kehidupan mayoritas rakyat miskin di perkotaan juga terus merosot karena pendapatan kecil dan tidak tetap, sementara harga kebutuhan pokok justru semakin naik.
Bagi kaum tani, perampasan tanah di desa dan terdesaknya rakyat di kota telah mendorong migrasi paksa semakin tinggi. Melalui Roadmap 2017, pemerintah mengekspor tenaga kerja berkeahlian khusus sertifikasi yang justru melegalkan overcharging (biaya penempatan berlebih) dan menjerat calon buruh migran dengan hutang melalui skema KUR (Kredit Usaha Rakyat). Pemerintah menutup mata atas penderitaan Buruh Migran, namun mengambil keuntungan besar dari remitansi keuangan migran.
Rakyat semakin menderita akibat implementasi skema neoliberal imperialis melalui Paket Kebijakan Ekonomi. FPR sebagai rakyat Indonesia menyatakan tuntutan:
- Cabut dan hentikan Paket Kebijakan Ekonomi, 2. Cabut PP No. 78 tahun 2015 tentang upah murah dan Peraturan Menteri No. 36 tahun 2016 tentang Pemagangan, 3. Hentikan reforma agraria palsu. Turunkan biaya produksi dan naikkan harga produksi, sehingga upah buruh tani naik, 4. Turunkan Harga kebutuhan pokok, 5. Cabut UUPPTKILN No 39 Tahun 2014, 6. Hentikan kekerasan dan diskriminasi negara terhadap kaum perempuan Indonesia, 7. Cabut UU Pendidikan Tinggi, hentikan segala bentuk pungutan liar di sektor pendidikan. 8. Hentikan perampokan kekayaan alam di tanah Papua oleh imperialis, 9. Mengutuk intervensi, agresi dan provokasi perang oleh imperialis.
Dalam peringatan May Day 1 Mei 2017 kemarin melalui aksi di jalan FPR menyerukan Pemerintah Indonesia harus menghentikan Kemitraan Strategis Indonesia dengan pihak asing yang hakekatnya adalah pengkhianatan terhadap kedaulatan bangsa. (ol)