Kesuksesan seseorang bukan dilihat dari seberapa banyak dia memiliki, namun seberapa besar ia mampu berbagi terhadap mereka yang membutuhkan. Berbagi ilmu, salah satu kesuksesan yang dilakukan Khanipah. Mantan BMI Timur Tengah ini memilih jadi pengajar sukarela demi bisa memanfaatkan ilmu yang dimilikinya untuk kepentingan masyarakat setempat.
Khanipah (31) mantan buruh migran Indonesia (BMI) asal Desa Dadap, Kecamatan Juntinyuat Kabupaten Indramayu secara sukarela memilih untuk berbagi ilmu pengetahuan Bahasa Inggris kepada anak-anak di sekitar tempat tinggalnya. Kegiatan itu sudah dijalaninya sejak tiga bulan yang lalu. Kegiatannya itu diikuti 25 anak usia 5 sampai 9 tahun, pada hari Jumat, Sabtu dan Minggu.
Khanipah atau biasa dipanggil Ipah adalah mantan buruh migran di sejumlah negara penempatan antara lain Arab Saudi, Omman, Kuwait, Abu Dhabi dan Qatar. Adapun kemampuan berbahasa Inggris diperolehnya pada saat ia bekerja di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab tahun 2009. Di rumah majikannya itu, diakui Ipah ia berkomunikasi dengan anak dan majikan menggunakan Bahasa Inggris.
Wanita yang bersama sang suami kini aktif berorganisasi ini memiliki ide berbagi ilmu dengan menjadi tenaga pengajar bahasa Inggris setelah dirinya memutuskan tidak lagi berkeinginan untuk menjadi TKI dan pulang ke tanah air untuk fokus menjadi ibu rumah tangga. Pada awalnya terkumpul sekitar 15 orang anak lalu terus bertambah hingga dalam waktu kurang dari tiga bulan mencapai hampir 30 orang anak didik.
Bahasa Inggris adalah bahasa internasional. Sementara warga Desa Dadap salah satu kampung nelayan di Kabupaten Indramayu yang masyarakatnya kebanyakan bekerja sebagai anak buah kapal (ABK) dibeberapa negara. Maka Ipah yang memiliki dua anak ini menilai bahwa salah satu persoalan mendasar menjadi buruh migran adalah permasalahan penguasaan bahasa, baik bahasa negara penempatan maupun bahasa internasional. Atas dasar itulah ia melakukan terobosan baru dengan menyelenggarakan semacam belajar bahasa atau kursus bahasa secara gratis di lingkungan tempat tinggalnya.
Meski saat ini hanya diikuti oleh anak-anak, ke depannya ia berharap agar calon buruh migran juga antusias mengikutinya. Mengingat bahasa sebagai senjata penting dalam berkomunikasi saat bekerja di luar negeri. Terbukti banyak TKI yang gagal menuai kesuksesan karena salah faham, tidak bisa berkomunikasi dengan baik dengan majikan serta keluarganya.
“Alhamdulillah dengan adanya belajar bahasa ini minat dan dukungan masyarakat sekitar sangat tinggi. Saya yakin akan berkembang pesat. Tidak menutup kemungkinan ke depannya akan dilaksanakan kursus bahasa Arab bagi yang berminat bekerja di Timur Tengah. Saya ingin kegiatan ini sedikit banyak bisa membantu dalam mengatasi persoalan bahasa di kalangan TKI.” Tutur Ipah di rumahnya yang beralamat di Blok Tumaritis RT 01/06 Kecamatan Juntinyuat Kabupaten Indramayu.
Jika anak didik semakin banyak, dan pembelajaran bahasa terdiri dari beberapa selain bahasa Inggris, Ipah mengatakan ada kemungkinan jadwal belajar akan full setiap hari pada setiap minggunya, tidak hanya pada akhir pekan Jumat, Sabtu dan Minggu saja seperti saat ini.
Lebih lanjut, Ipah menjelaskan bahwa ide kegiatan itu juga terlaksana dengan baik atas dukungan dari Samudi, suaminya yang juga mantan buruh migran Jepang. Dukungan itu menjadi penting karena peran suami sangat strategis dalam keluarga. “Selagi kita bisa, ada izin dari suami dan keluarga ya dengan senang hati kita jalankan. Meski semuanya masih serba sederhana,” jelas Ipah.
Samudi membenarkan jika sebagai suami ia sangat mendukung penuh atas pilihan istrinya yang memutuskan untuk tidak bekerja lagi ke luar negeri menjadi TKI dan memilih sebagai tenaga pengajar sukarela di kampung.
“Saya yakin walau tidak dibantu istri bekerja menjadi TKI, keluarga kami ini masih bisa makan dan bisa menyekolahkan anak. Allah pasti memberi rejeki kepada kami dengan jalan lain, “ tegas Samudi.
Sementara menurut sang suami yang juga mantan BMI dari negara matahari terbit dan kini menjadi salah satu aktivis buruh migran di Kabupaten Indramayu menilai bahwa pendidikan pelatihan yang dilakukan oleh PPTKIS masih sangat tidak memadai. Bahkan sesuai pengalaman Samudi saat ia akan berangkat bekerja ke luar negeri pelatihan bahasa yang ada justru terkesan formalitas saja. Meskipun sudah ada peraturan menteri yang mengatur lamanya jam pelajaran, aturan teknis finger print bahwa calon buruh migran itu mengikuti pendidikan dan sebagainya, pada kenyataannya para calon tenaga kerja Indonesia (CTKI) yang belum menguasai bahasa dengan baik tetap diberangkatkan.
“Itu semua masih bisa diakalin, sehingga berdampak pada kualitas keterampilan berbahasa calon buruh migran,” jelas pria yang biasa dipanggil Dhotcang ini lebih lanjut.
Samudi alias Dhotcang berharap khususnya pemerintah daerah Indramayu bisa mengadopsi kegiatan yang dilakukan istrinya menjadi sebuah kegiatan formal yang lebih baik. Mengingat Indramayu adalah salah satu basis kantong buruh migran terbesar di Indonesia. Sehingga ke depannya, dengan banyaknya pelatihan bahasa asing yang dilakukan sejak dini bisa menambah wawasan serta ilmu bagi para calon buruh migran dari Indramayu. Buruh migran Indaramayu diharapkan mampu melindungi dirinya pada saat bekerja di negara penempatan. (ol)