Foto diambil dari Migrant Care.
Sejak moratorium diberlakukan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono 2011, pengiriman Tenaga Kerja Indonesia (TKI) sebagai pekerja rumah tangga migran ke Timur Tengah tak efektif. Kebijakan tersebut justru meningkatkan risiko perdagangan manusia. Moratorium malah membuka praktik perdagangan orang, demikian kata Anis Hidayah dari Migrant Care di D Lab Menteng, Jakarta Pusat, Selasa, 14 Februari 2017.
Meski moratorium berlaku, pengiriman pekerja rumah tangga migran tetap berlangsung ke Timur Tengah sebagai TKI. Pada kenyataannya, kata Anis sebagaimana dikutip dari Tempo.co, Timur Tengah akan tetap menjadi negara tujuan TKI.
Survei Migrant Care di Bandara Soekarno Hatta pasca moratorium 2011, pada tahun 2015-2016 ada sebanyak 2.793 pekerja migran di bidang rumah tangga. Hampir setengahnya, atau 1.021 pekerja berangkat sebagai pemula dan tercatat secara resmi menggunakan visa umroh, ziarah/visit, mengunjungi keluarga dan menjadi cleaning service. Sebagian lainnya merupakan pekerja migran di rumah tangga yang berangkat lagi setelah cuti dan perpanjangan kontrak.
Awal Desember 2013, Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) menyatakan pemberangkatan tenaga kerja ilegal ke luar negeri masih sering terjadi. Direktur Pengamanan dan Pengawasan BNP2TKI, Bambang Purwanto, saat ditemui di Jakarta menjelaskan BNP2TKI menemukan empat kasus penyelundupan tenaga kerja dengan modus dilakukan secara sporadis.
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi di masa pemerintahan SBY, Muhaimin Iskandar pernah mengungkapkan saat meneken kesepakatan dengan Gubernur Bank Indonesia perihal pendidikan keuangan bagi TKI bahwa pengiriman tenaga kerja Indonesia ke Arab Saudi memangkas pemasukan devisa sebesar Rp 3 triliun per tahun. Meski terkesan merugikan, Muhaimin ketika itu mengatakan, moratorium harus dilaksanakan demi memperbaiki sistem ketenagakerjaan. Pemerintah waktu itu berharap pemerintah Indonesia lebih meningkatkan kemampuan tenaga kerja yang hendak dikirim ke luar negeri.
Anis mendesak Presiden segera mengevaluasi secara komprehensif kebijakan moratorium. Pemerintah kala itu, dianggap perlu mengevaluasi apa tujuan yang ingin dicapai atas kebijakan moratorium. Ia melihat selama moratorium diterapkan tidak ada evaluasi dari pemerintah. Selain itu pemerintah harus memikirkan bagaimana mengakhiri persoalan perdagangan TKI. Pemerintah tidak boleh menutup mata dengan persoalan yang menurut Anis pembiaran merupakan sebuah kejahatan. Moratorium bukan jalan keluar. (ol)