Foto ilustrasi diambil dari rri.co.id.
Institute for Criminal Justice Reform (IJCR) menilai pemerintah Indonesia setengah hati melakukan penyelamatan pengguna dan pecandu narkotika. Menurut mereka, pengguna dan pecandu narkotika yang butuh diperlakukan berdasarkan pendekatan kesehatan justru dijebloskan ke penjara.
“Angka kematian tinggi yang digadang-gadang BNN dan Presiden Joko Widodo selama ini bisa jadi tepat, sebab pengguna dan pecandu narkotika yang membutuhkan rehabilitasi dengan pendekatan kesehatan justru dilempar ke penjara,” ujar Peneliti ICJR, Erasmus Napitupulu kepada Indosuara, Selasa (7/2/2017).
Menurut Erasmus, ada persoalan serius terkait pengguna narkotika dalam Lapas. Namun, pemerintah masih terus menjalankan program yang tidak sesuai dengan masalah pengguna narkotika di Indonesia, khususnya di Lapas.
“Seharusnya telah terjadi perubahan pendekatan penanganan terhadap pengguna narkotika, yaitu dari pendekatan pembinaan ke pada pendekatan kesehatan masyarakat. Alasannya sederhana, dengan ditekannya angka pengguna dan pecandu maka akan secara signifikan merusak peredaran gelap narkotika,” imbuhnya.
Berdasarkan UU 35 Tahun 2009, baik pengguna dan pecandu lebih tepat untuk direhabilitasi atau diberikan penanganan dengan perspektif kesehatan. Tetapi, penelitian ICJR, Empowerment and Justice Action (EJA) dan Rumah Cemara, menunjukkan kalau dakwaan tertinggi kasus kejahatan masih mengenai narkotika.
Di PN Surabaya misalnya, dakwaan tertinggi yang dijatuhkan bagi pengguna dan pecandu narkotika adalah pasal-pasal dengan lebel ‘bandar’, karena memiliki, menyimpan dan atau menguasai narkotika.
Temuan menunjukkan, 61% dakwaan yang diajukan Jaksa pada penggunaa dan pecandu narkotika mencantumkan Pasal 111 dan 112 UU Narkotika, pasal-pasal ini adalah pasal-pasal yang digunakan untuk menjerat pengguna narkotika dengan ancaman pidana yang sangat tinggi, yaitu minimal 4 tahun dan maksimal 12 tahun.
“Pasal-pasal ini juga secara otomatis mengategorikan seorang pengguna dan pecandu sebagai bandar dan bukan pengguna. Data di PN Surabaya menyebutkan 94 persen pengguna dan pecandu narkotika, dijatuhi pidana penjara,” jelas Erasmus.
Menurutnya, banyaknya pengguna dan pecandu yang di penjara tentu akan mengakibatkan memburuknya kondisi Lapas, sehingga tidak heran jika transaksi narkotika merajalela di dalam Lapas bahkan mencapai level pengendalian. Karena pada dasarnya narapidana pengguna membutuhkan asupan narkotika karena efek kecanduan.
Seperti diketahui, pada Kamis (2/2/2017) lalu, Badan Narkotika Nasional (BNN) merilis data, ada sekitar 39 Lapas yang menjadi sasaran 72 jaringan narkoba internasional di Indonesia. Sebelumnya, ada 22 Lapas yang juga menjadi tempat bergeraknya peredaran narkotika oleh jaringan narkoba internasional. (yw)