Foto: Senyum Dwi Aryani usai mendengar putusan hakim PN Jakarta Selatan atas gugatannya kepada Etihad Airways.
Dwi Aryani masih merasa alasannya diturunkan dari pesawat Etihad Airways tidak masuk akal. Saat itu, 4 April 2016, Dwi hendak bertolak ke Geneva dalam rangka pelatihan. Dwi harus melewati sejumlah seleksi hingga terpilih mengikuti program pelatihan trainer penyandang disabilitas.
Dwi sudah melewati beberapa pintu keberangkatan, mulai dari pengecekan barang, check in, pintu imigrasi, hingga masuk ke pesawat. Hanya tinggal beberapa menit menunggu pesawat lepas landas, ia dihampiri petugas pesawat dan diminta turun.
“Salah satu alasannya katanya saya membahayakan penerbangan,” ujar Dwi saat ditemui di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (4/12/2017).
Dwi mengatakan, dalam undang-undang, tak ada aturan yang melarang penyandang disabilitas naik pesawat. Ia pernah melakukan perjalanan dengan maskapai lain, seperti Qatar dan Emirate tidak ada masalah.
Dwi mengakui sudah ada permintaan maaf dari pihak maskapai penerbangan, namun dirasa tidak cukup. Ia merasa rugi karena ilmu yang semestinya dia dapatkan di Geneva tak bisa digantikan. Tentang ilmu yang mau dibagikan lagi kepada masyarakat disabilitas di Indonesia.
Dwi merasa ada perlakuan diskriminatif oleh Etihad Airways. Ia pun membawa kasus ini ke meja hijau pada awal 2017.
Tak hanya Etihad Airways yang dia gugat, tapi juga PT Jasa Angkasa Semesta, dan Dirjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan. Dwi merasa sangat dirugikan karena tidak bisa berangkat ke Geneva.
Pernyataan resmi di website Etihad Airways yang menyatakan akan menyelidiki kejadian dan datang ke Indonesia untuk meminta maaf tidak pernah dilakukan.
Etihad Airways pun sudah mendapat teguran dari Kemenhub. Dengan demikian, hak untuk penyandang disabilitas bisa diperjuangkan.
Etihad Airways dianggap melakukan pelanggaran hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 134 UU Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan. Dalam undang-undang tersebut diatur hak penumpang penerbangan berkebutuhan khusus.
Hakim ketua Ferry Agustina Budi Utami mengatakan, semestinya Etihad Airways selaku maskapai penerbangan wajib memberikan akses, fasilitas, dan pendampingan khusus terhadap penyandang disabilitas.
Apalagi syarat Dwi sebagai penumpang telah terpenuhi, yakni memiliki tiket, melakukan check in, memiliki boarding pass, bahkan sudah masuk pesawat dibantu staff service bandara.
Ferry menambahkan, Dwi tidak dalam kondisi yang membahayakan penerbangan maupun penumpang lain karena tidak dalam keadaan mabuk ataupun membawa bom.
Dalam gugatannya, Dwi meminta ganti rugi materil sebesar Rp 178 juta dan imateril sebesar Rp 500 juta. Namun, hakim menimbang ganti rugi materil yang harus dibayarkan hanya Rp 37 juta.
Hakim mengabulkan gugatan ganti rugi imateril sebesar Rp 500 juta karena Dwi merupakan satu-satunya perwakilan Indonesia dalam acara internasional pelatihan penyandang disabilitas.
Keputusan tersebut merupakan kado terindah untuk Hari Disabilitas Internasional Minggu (3/12/2017). Kejadian yang menimpa Dwi tak terulang kepada penyandang disabilitas lainnya. Bukan upaya mudah setahun memperjuangkan haknya tersebut.
Sementara itu, kuasa hukum Etihad Airways, Gerald Saratoga Sarayar enggan menanggapi keputusan hakim. (Ol)