Foto: Purna pekerja migran Sugeng Riyanto membudidayakan kelinci. (Foto : dokumen pribadi) sumber Eko Widianto. Terakota.id
Pagi hingga sore, Sugeng Riyanto (46) warga Desa Pondok, Kecamatan Babadan, Kabupaten Ponorogo berkutat di kandang kelinci. Sejak dua tahun ini, Sugeng membudidayakan beragam jenis kelinci, baik kelinci pedaging maupun kelinci hias. Purna Pekerja Migran Indonesia (PMI) ini bertekad untuk berwirausaha sepulangnya bekerja di negeri orang.
Sugeng mengaku terpaksa bekerja di luar negeri karena perusahaannya bekerja di proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Paiton, Probolinggo berhenti operasional karena krisis ekonomi 1998. Sugeng memilih berhenti dan mencari peruntungan di Korea. Berbekal informasi di internet, ia mengikuti seleksi ketat di Universitas Airlangga Surabaya.
Salah satunya ujian bahasa Korea, beradu dengan calon pekerja lain se Asia. Ia belajar bahasa Korea secara otodidak dan mendaftar melalui Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) sekarang Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) di Jakarta.
Sugeng menikmati selama bekerja di Korea, meski harus bekerja malam dengan cuaca dingin. Ia harus disiplin waktu, bangun tengah malam dan bekerja tepat waktu. Bekerja di pabrik plastik itu dilakoni selama 12 tahun.
“Alur pemberangkatan PMI harus transparan. Agar tak banyak yang terjebak membayar puluhan juta untuk bekerja di Korea,” ujarnya.
Sugeng Riyanto mengawali budidaya kelinci dengan membeli delapan ekor. Tanpa bekal pengetahuan memelihara kelinci. Semua dilakoni secara otodidak. “Tak tahu bagaimana memelihara kelinci dan bikin kandang. Tiga pekan merakit kandang dengan membeli pipa dan dilas sendiri,” katanya.
Sugeng memilih membudidayakan kelinci karena potensi yang besar dan pasar yang luas. Penjualan pertama dilakukan secara daring, setelah dikenal masyarakat ia juga mulai memasok ke rumah makan. Sehari rumah makan tersebut membutuhkan pasokan daging kelinci sampai 2 ribu tusuk.
Namun, ia cuma mampu memenuhi seribu tusuk. Juga memasok daging karkas kelinci sebanyak satu kuintal ke Malang. Sejak pandemi Covid-19 pasokan daging seret. Namun, ia tak pantang menyerah terus beternak kelinci.
“Beternak kelinci dianggap remeh, padahal hasilnya lebih baik dibanding ternak domba dan sapi,” katanya. Daging kelinci yang rendah kolesterol, tergolong daging mahal di Korea. Sugeng mengamati peternakan sapi di Korea, memanfaatkan kotoran menjadi pupuk dengan cara difermentasi lebih dulu. Kemudian diangkut dan ditabur ke sawah.
Sugeng turut memanfaatkan kotoran kelinci menjadi pupuk. Kotoran kelinci disebar di permukaan sawah. Bahkan, ia juga memasok urine di sebuah pabrik pupuk di Malang. Urine kelinci disulap menjadi pupuk untuk penggembur tanah. “Kesuburan tanah masih terjaga sampai tanam empat kali. Banyak yang tak percaya,” katanya.
Untuk pakan kelinci, awalnya ia mengandalkan pakan produksi pabrik untuk asupan kelinci peliharaannya. Lantas ia mencoba-coba membuat pakan sendiri dengan formula yang dirahasiakan. Ada sekitar 10 macam bahan baku, yang diolah menjadi granul. Meliputi jagung, kulit kacang ijo, bungkil kedelai impor dan antibiotik menggunakan kunyit, dan temulawak. Komposisi pakan yang diproduksi bagus, pertumbuhan kelinci cepat dan sehat.
Setelah setahun, ia menemukan ketemu komposisi yang tepat dan membeli mesin kapasitas satu kuintal per jam. Banyak peternak kelinci di Ponorogo turut membeli pakan yang diproduksi. Sejak dua bulan ini, ia menjual pakan olahan. Sebulan, mampu menjual sekitar empat kuintal pakan kelinci. “Awalnya ada yang pesan 5 sampai 10 kilogram. Belum dikemas. Sekarang dikemas dan diberi label,” katanya.
Sugeng berwirausaha termotivasi pengusaha di Korea saat menjadi PMI. Sugeng ditantang untuk mendirikan usaha sendiri, bekerja mandiri di kampung halaman. Sementara Indonesia memiliki potensi alam yang melimpah, bisa diolah dan dioptimalkan manfaatnya. “Kadang saya menangis, banyak potensi alam yang dibiarkan diekspor dalam bentuk mentah,” katanya.
Seperti arang tempurung kelapa diekspor ke Korea, kemudian diolah menjadikan bahan baku baterai. Termasuk batu onix dan marmer dari Tulungagung diekspor mentah ke Korea. Sedangkan di Korea dengan teknologi modern diolah beraneka macam produk olahan yang bernilai jual tinggi.
Purna PMI, katanya, merupakan aset Negara karena mereka memiliki keahlian di bidang masing-masing. Mereka terlatih mengoperasikan aneka mesin selama bertahun-tahun.
“Sumber daya alam yang luar biasa harusnya diolah. Pemerintah seharusnya menyediakan lahan, mesin untuk purna PMI membuka industri pengolahan,” katanya.
Dari budidaya kelinci penghasilan Sugeng sekitar Rp 1,5 juta dan keuntungan pakan sekitar Rp 2 juta. Sugeng menyarankan agar sebelum purna, PMI harus menyiapkan usaha di kampung. Penghasilan sebagai PMI dikumpulkan untuk modal usaha. Tak hanya membangun rumah bagus dan mobil mewah. (Ol)