Foto diambil dari CNN Indonesia.
Awal Maret ada euforia penyambutan Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz al-Saud yang melakukan kunjungan kenegaraan dan berlibur di Indonesia. Dalam catatan sejarah, baru ada dua kunjungan kenegaraan Raja Arab Saudi ke Indoensia, yaitu pada 1970 dan 2017.
Banyak kepentingan yang hendak dipetik dari lawatan Raja Salman. Baik dari sisi ekonomi, kuota haji, hingga tentu saja soal-soal keislaman yang akhir-akhir ini mempengaruhi kehidupan sosial-politik di tingkat nasional, regional, dan global. Salah satu isu yang seharusnya menjadi agenda, meski kadang-kadang cuma terselip atau bahkan disembunyikan seperti dikatakan Wahyu Susilo, Direktur Eksekutif Migrant Care sebagaimana dimuat dalam Tempo.co Senin (6/3) adalah masalah perlindungan Tenaga Kerja Indonesia.
Menurut hasil pemantauan berbagai organisasi yang bekerja untuk buruh migran serta data penanganan kasus yang dimiliki pemerintah, 1,5 juta buruh migran Indonesia yang bekerja di Arab Saudi memiliki tingkat kerentanan tertinggi dibanding negara-negara tujuan lainnya. Arab Saudi memiliki sistem keimigrasian kaffala yang sangat berpotensi membelenggu mobilitas buruh migran, terutama PRT, karena kontrol dari majikan. Sistem kaffala ini mewajibkan setiap orang yang bekerja kepada majikan perorangan, dalam dokumen keimigrasiannya, memerlukan persetujuan majikan untuk dapat ke luar Saudi. Dalam prakteknya, sistem tersebut menjadi alat legitimasi majikan untuk menahan paspor para PRT migran yang bekerja kepadanya.
Dari situasi inilah muncul banyak kasus kekerasan, penyiksaan, pemerkosaan, bahkan berujung pada pembunuhan yang dialami PRT migran Indonesia di rumah majikan lantaran mereka susah kabur karena paspornya ditahan. Kalaupun bisa melarikan diri, mereka juga tak bisa langsung menyelamatkan diri ke KBRI dan segera pulang ke Tanah Air. Hingga saat ini, ada puluhan ribu buruh migran Indonesia berstatus sebagai pelawat lewat batas (overstayers) yang belum bisa pulang. Mereka sangat rentan menjadi korban perdagangan manusia, baik untuk tujuan kerja paksa maupun eksploitasi seksual. Karena dampak buruk dari sistem keimigrasian kaffala ini, Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merekomendasikan sistem tersebut diakhiri.
Kasus tragis lain yang dihadapi buruh migran Indonesia, terutama PRT migran, di Saudi adalah hukuman mati. Menurut Amnesty International, selama 2015-2016, algojo Saudi telah mengeksekusi mati 311 orang, termasuk dua PRT migran Indonesia, Siti Zaenab dan Karni. Keduanya dieksekusi dalam waktu berdekatan pada April 2015. Sebelumnya, dua PRT migran Indonesia juga dieksekusi, yaitu Yanti Iriyanti (2008) dan Ruyati (2011).
Fakta-fakta suram tersebut hendaknya membuat kita tidak terlalu larut dalam euforia kedatangan Raja Salman. Pemerintah harus menegaskan bahwa masih banyak buruh migran Indonesia yang menghadapi kerentanan, bahkan menjadi korban kekerasan (fisik dan seksual) yang bisa berujung pada kematian di negeri Sang Raja.
Sejatinya, dalam kunjungan kenegaraan Presiden RI pada September 2015 ke Arab Saudi, Presiden Jokowi telah meminta agar ada pengampunan dari Raja Salman terhadap para PRT migran Indonesia yang dihukum mati dan jaminan perlindungan bagi buruh migran Indonesia di negara itu. Kini, Presiden Jokowi mengingatkan kembali atau bahkan menagih komitmen Raja Salman. Kita tentu bersepakat pada penegasan Raja Salman bahwa Arab Saudi sepandangan dengan Indonesia, yakni yang dibutuhkan adalah nilai-nilai Islam moderat yang melindungi kemanusiaan.
Tentu saja komitmen perlindungan buruh migran Indonesia di Saudi tidak hanya ditagih kepada Raja Salman, tapi juga harus dilaksanakan pemerintah Indonesia. Selama ini kualitas diplomasi perwakilan RI di Saudi terlalu lemah untuk menjadi garda depan penagih keadilan bagi buruh migran kita. Harus ada perubahan yang signifikan dari paradigma lama dalam menangani buruh migran sebagai pekerjaan pemungut sampah menjadi amanat menghadirkan negara kepada warga negaranya yang bermasalah di luar negeri.(ol)