Foto diambil dari CNA.
Seorang anggota DPR pada hari Senin meminta instansi pemerintah terkait untuk mengambil langkah konkret memastikan bayi tanpa dokumen yang lahir dari pekerja migran kaburan menerima perawatan yang lebih baik.
Selama inspeksinya, Eksekutif Yuan, Chi Hui-jung (紀惠容), seorang anggota DPR mengatakan bahwa menurut temuannya, antara 1 Januari 2007 hingga 30 Juni 2020, total 933 anak lahir dari pekerja migran ilegal kaburan.
Sebanyak 240 kasus masih belum ditemukan keberadaan sang ibu. Menurut PBB dan UU perlindungan anak Taiwan atau Taiwan’s Protection of Children and Youth Welfare and Rights Act, anak-anak harus didaftarkan segera setelah lahir, terlepas dari status hukum orang tua mereka.
Namun, banyak pekerja migran memilih untuk tidak mendaftarkan anak-anak mereka karena takut akan dipecat jika ditemukan hamil, meskipun undang-undang ketenagakerjaan saat ini melarang majikan untuk memutuskan kontrak secara sepihak karena hamil.
Buruh migran yang hamil, terutama yang merawat orang tua, biasanya segera diberhentikan, bahkan beberapa dipaksa membayar biaya untuk pemutusan kontrak mereka secara dini ke perusahaan agensi.
Meski begitu, anak-anak migran harus terdaftar untuk mendapatkan izin tinggal dan dengan demikian akses ke layanan pemerintah seperti perawatan kesehatan dan pendidikan. Tanpa pendaftaran, orang tua migran tidak dapat mengajukan semua jenis subsidi pemerintah, kata Chi.
Menurut Chi, 78 persen pekerja migran perempuan di Taiwan berada dalam usia subur. Dari 720.000 pekerja migran di Indonesia, 383.296 atau 54,7 persen adalah perempuan. Namun, tidak ada satupun pekerja migran yang pernah mengajukan cuti melahirkan atau mengajukan kasus pemecatan saat hamil ke Kementerian Tenaga Kerja (MOL), katanya.
Selain itu, meskipun pemerintah telah memperkenalkan hotline 1955 bagi orang tua migran untuk mengajukan keluhan diskriminasi kehamilan, hanya 20 pekerja migran yang melakukannya dari Januari 2007 hingga Juni 2020, kata Chi.
Ia juga meminta otoritas pemerintah, termasuk Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan, Badan Imigrasi Nasional dan MOL, untuk menegakkan undang-undang terkait untuk memastikan tidak ada pekerja migran yang dipaksa meninggalkan pekerjaan mereka karena hamil. Dia juga mendesak pemerintah untuk lebih memperhatikan anak-anak yang lahir dari pekerja migran, termasuk hak mereka untuk mendapatkan perawatan medis, kesejahteraan sosial, dan mendapatkan pendidikan yang layak.