Isu dwi kewarganegaraan sempat santer didegungkan ketika Arcandra Tahar, dicopot setelah 20 hari menjabat sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Selain Arcandra, topik pembicaraan mengenai isu dwi kewarganegaraan pun beralih pada seorang remaja Gloria Natapradja Hamel yang tak diizinkan menjadi pasukan pengibar bendera saat upacara dalam rangka HUT ke-71 RI di Istana Negara, Jakarta, 17 Agustus 2016 lalu dikarenakan mempunyai dwi kewarganegaraann dari ayahnya seorang warga Perancis.
Kajian mengenai isu dwi kewarganegaraan UU no 12 tahun 2006 pun sempat dibahas oleh beberapa pakar seperti yang pernah dilaporkan oleh Kompas. Pakar Hukum Internasional dari Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana mengatakan, jika akan dilakukan revisi terhadap UU Kewarganegaraan, namun bukanlah revisi total. Ia pun menyarankan untuk merevisi pasal-pasal yang dianggap masalah dan tidak sesuai dengan persoalan faktual.
Sementara itu, Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan HAM, Freddy Harris mengatakan bahwa revisi UU Kewarganegaraan merupakan inisiatif DPR. Freddy menganggap banyaknya persoalan bagi WNI dengan jabatan penting yang bekerja di luar negeri yang memegang paspor Indonesia untuk mengurus paspor negara lain, bahkan jangka waktunya bisa sampai 1 bulan. Persoalan lain yang dihadapi adalah banyaknya para diaspora yang kesulitan untuk mengurus kewarganegaraan Indonesia-nya.
Pada hari Senin, tanggal 24 Juli 2017 Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia (KDEI) di Taipei membuka ruang khusus dialog antara diaspora, masyarakat Indonesia yang tinggal di Taiwan bersama rombongan para anggota DPR dan MPR yang sedang mengunjungi Taiwan. Dalam dialog khusus yang dipimpin oleh Robert James Bintaryo, Kepala KDEI bersama Wakil Ketua MPR Dr. H.M. Hidayat Nur Wahid, MA saat itu kebanyakan membahas mengenai permasalahan TKI dan pelajar di Taiwan.
Indosuara sempat mewawancarai salah satu anggota rombongan DPR yaitu Arsul Sani, Komisi III – Hukum, HAM, Keamanan mengenai isu revisi UU Dwi Kewarganegaraan. Dalam wawancaranya, Sani menegaskan bahwa sebenarnya DPR sendiri sedang membahas revisi UU Kewarganegaraan yang mengakomodasi prinsip Dwi Kewarganegaraan.
“DPR masih mengkajinya secara mendalam. Mengenai bentuk revisi yang akan dibahas seperti apakah cakupannya akan diperluas atau memberikan ketentuan khusus bagi diaspora eks WNI. Misalnya, nantinya eks WNI atau orang tuanya WNI yang telah menjadi WNA bisa diberi kebijakan khusus dalam bisnis maupun pendidikan. Namun tidak harus yang bersangkutan diberi status WNI atau bisa juga diberi status permanent resident.
Menurut saya, perbedaan antara WNI dan orang asing yang mempunyai permanent resident hanya terletak pada hak keikutsertaannya pada Pemilu atau kebolehan menjadi pejabat publik. Jadi, pengkajian khusus eks WNI untuk mendapat status permanent resident di Indonesia diharapkan bisa menjadi solusi permasalahan dwi kewarganegaraan yang selama ini dialami.”