Foto diambil dari CNA.
Ribuan orang turun ke jalan di Taipei pada hari Sabtu menuntut pemerintah mencabut amandemen Undang-Undang Standar Ketenagakerjaan, dengan alasan bahwa UU terbaru akan membuat para pekerja lebih rentan terhadap penyalahgunaan lembur.
Aksi protes dilakukan dari Beiping East Road, di mana markas Partai Progresif Demokratik (DPP) berada. Para buruh migrant protes karena salah satu usulan revisi akan mengubah peraturan tentang kerja lembur dengan meningkatkan jam lembur maksimum yang diperbolehkan per bulan dari 46 menjadi 54, namun membatasi mereka pada 138 jam selama tiga bulan.
Sementara itu, asalkan pemberi kerja meminta persetujuan dari instansi pemerintah dan mencapai kesepakatan dengan pekerja, jeda jaminan antara dua shift dapat dikurangi menjadi 8 jam dan karyawan dapat bekerja selama 12 hari berturut-turut.
Berdasarkan peraturan yang ada, pekerja shift harus mendapatkan setidaknya 11 jam istirahat sebelum melakukan shift lain.
“Kami tidak suka bekerja lembur, tapi kami tidak punya pilihan selain membayar biaya agensi yang mahal, dan kami harus membayar biaya layanan kepada agensi dan juga biaya penginapan kepada pengusaha setiap bulan. Kami bisa dipaksa untuk kembali ke negara kita jika kita menolak kerja lembur, “kata Dwi buruh migrant asal Indonesia.
Hsu Chun Huai (許 淳 淮), koordinator Asosiasi Pekerja Internasional Taiwan, yang bertindak sebagai penerjemah Dwi, mengkritik pemerintah karena tidak memberi informasi tentang amandemen kepada pekerja migran.
Lain lagi dengan ceritanya buruh migran yang dipekerjakan sebagai pengasuh untuk orang lanjut usia, orang cacat atau orang sakit kronis yang turut ambil bagian dalam demonstrasi tersebut.
Buruh migrant tersebut tidak tercakup dalam Undang Undang Ketenagakerjaan, Irine Berog, dari Filipina, mengatakan bahwa dia hanya mendapat satu hari libur per bulan.
“Saya tidak punya hari libur setiap minggu, saya bekerja tujuh hari dalam seminggu dan hanya membutuhkan satu hari libur sebulan,” katanya kepada CNA. “Setiap hari, saya bekerja dari pagi sampai malam, saya tidak banyak tidur di malam hari karena saya masih perlu bekerja jika pasien membutuhkan saya.”
Ketika ditanya apa yang harus dilakukan pemerintah untuk memperbaiki kondisi kerja mereka, dia berharap pemerintah akan menganggap mereka sebagai pekerja, bukan budak, dan memberi istirahat yang cukup karena merawat orang tua bukanlah tugas yang mudah.