Aku menatapmu dengan sayu…bukan tatapan mata kerinduan untuk pulang ke rumah kita, namun tatapan haru, karena ragamu telah pulang…pulang ke pangkuan yang Maha Kuasa. Inilah kisah sedihku di perantauan, menguras keringat di negeri Jiran untuk menemui adikku tercinta di Formosa, namun saat kumenjejakkan kaki di negeri tempatnya mengadu nasib, kudapati dirinya sudah di ujung penantian. Sobat IS, inilah tuturan sedihku….
Kutinggalkan Malaysia demi Menjengguk Adikku
Namaku Suryani anak ke enam dari delapan bersaudara. Aku mengadu nasib ke Malaysia sebagai tenaga kerja wanita. Pada tanggal 15 Maret 2012 kutinggalkan Malaysia dengan izin khusus dari majikanku untuk datang ke Taiwan, demi adikku Suprihatin, dik Atin. Ku tahu kehadiranku membuatmu lebih tenang, membuatmu lebih kuat dan membuatmu tetap bersemangat untuk berjuang dengan penyakitmu.
Aku teringat beberapa hari yang lalu sebelum dik Atin sakit, malam yang kelam itu aku bermimpi, negeri kecintaan kami terserang badai tsunami. Dalam kekagetan aku terbangun dan segera menelepon ke kampung halamanku. Ah…, lega hati ini ketika mendengar kabar dari keluarga bahwa mereka baik-baik saja. Kutenangkan diriku untuk tetap bekerja seperti biasa di tahun ke tujuh pada majikan yang sama. Beruntung aku mendapatkan majikan yang baik, dan sudah menganggapku seperti saudara sendiri, inilah yang membuat hari-hariku terasa indah di perantauan.
Namun badai keluarga itu tidak bisa kita pungkiri, pada tanggal 4 Maret 2012 lalu, kudengar berita adikku nomor tujuh, dik Atin yang pada saat itu dalam masa kerja di tahun ke 2 di Taiwan, sedang sakit dan sang majikan membawanya ke rumah sakit Lung Cung. Tetapi berhubung rumah sakit itu kurang bisa mengatasi penyakitnya, segera pihak agensi turun tangan dan membawa ke rumah sakit He Phing di Taipei, untuk mendapatkan pertolongan lebih baik.
Kujejakkan kakiku di Formosa untuk menemui adikku. Bukan untuk bersendau gurau dan menikmati indahnya Formosa, namun untuk memasuki sebuah tempat di mana adikku tergeletak. Tembok putih, indahnya ruang, dengan lampu terang benderang cukup menyilaukan pandanganku. Mataku tertuju pada sosok tubuh yang terbaring lemah dengan alat bantu pernafasan. Hanya selang infus yang bisa menolong dalam melawan penyakit yang dideritanya.
Dia yang sejak kecilnya amat kukenal, tumbuh bersama dalam kemelaratan, perjuangan, isak tangis, gelak tawa, senda gurau, bertikai dan…..ah…itu semua adalah bagian dari kehidupan kami. Kampung halaman kau tinggalkan, demi berjuang mencari nafkah. Kini ternganga di depanku dengan infus, selang makanmu, dan berbagai jenis selangnya yang melekat di seluruh tubuhmu, hatiku teriris pedih, mengapa tidak kata yang terucap di bibirmu?
Cobalah adikku, kuhadirkan diriku di hadapanmu, oooh…gerak mimik, gerak tanganmu, membuatku tahu maksud hatimu. Sementara orang-orang lalu lalang, hiruk pikuknya mereka yang berpakaian putih…membuatku semakin gelisah, hati kecilku bertanya,”bagaimana nasibmu, dik?” Ingatlah suami, anakmu yang masih kecil dan kami semua yang selalu merindukanmu.
Meninggal di sampingku
Sambil melihatmu yang tak berdaya, pikiranku menerawang jauh, mengenang manis pahitnya rasa yang sudah biasa kita lakoni sebagai pembantu rumah tangga. Kita bisa mengatur menu rasa makanan sesuai dengan selera majikan tetapi getirnya kehidupan, SANG MAHA KUASA-lah yang menjadi penentu. Suprihatin, adik kami tercinta untuk selamanya engkau meninggalkan kami setelah 3 hari aku menemanimu. Tepat pada tanggal 17 Maret 2012 silam adalah menit-menitku terakhirku menghantarmu kembali pulang, bukan ke tanah air desa kita tetapi ke pangkuan yang Maha Kuasa.
Kutegarkan hatiku, kuhapuskan impian malam untuk terbang bersama jasadnya ke kampung halaman, bukan untuk menjenguk sanak saudara, namun menghantarkanmu pada perhentian terakhir. Terkubur sudah semua impian kita untuk menjejakkan kaki di tanah harapan kampung halaman. Penyakit TBC yang menggerogotimu telah merenggut nyawamu. Adikku, tenanglah di sana, kami akan menjumpaimu kembali kelak dan melihatmu tersenyum kembali.
Tak ada kata yang bisa kuucapkan kepada rekan-rekan yang telah membantuku, hanya sebait ucap, terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada majikan, pihak agensi, pihak rumah sakit, dokter-dokter, suster-suster yang sudah memperjuangkan nasib adikku. Juga kepada pihak pemerintah Taiwan dalam pengurusan kepulangan jenazah ke Indonesia terutama kepada teman seperjuangan dan sepenanggungan, Khusnul Khotimah, yang mendampingiku dan menghantarku ke rumah sakit serta membantu menterjemahkan. Bahkan majikannya juga sangat baik turut menghibur hatiku yang sedang dirundung duka.
Terlebih lagi, tidak akan terlupakan, keluarga yang berdukacita menghaturkan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada KDEI yang membantu mengurusi semua dokumen-dokumen pemulangan jenazah. Juga kepada Konsorsium Proteksi TKI. Biarlah YANG MAHA KUASA membalas segala budi baik Anda semua. (*/seperti yang diceritakan oleh Suryani/ di tulis oleh Ching-Ching/edit red is).
Puisi ini gambaran hati (Suprihatin) yang digoreskan oleh Ching – Ching
Saat Waktuku Tiba
Jika derita mendesak dada
Kala tiada kata terucap
Namun,…kurasakan kehadiranmu
Walau hati mengidap
Maafkan aku mbak,
Demi aku, kau injak Formosa
Tanpa aku dapat bersapa
Terlebih tanpa aku dapat berdendang denganmu di 101
Kini…
Kau hantarkan aku dari tanah Formosa
Ke tanah pusaka kita
Tanpa pesan, tanpa bahasaku
Namun, kuyakin kau tahu isi hatiku…
Terima kasih budi luhurmu, mbak-ku tercinta
Bila nyawa merenggut, relakan aku mendahuluimu
Sampaikan salamku untuk keluarga kita, terutama suami dan putraku tercinta