Dengan ringkihan kesakitan aku berjalan tertatih. Cucuran darah yang mengalir sudah terhenti semenjak dokter mengangkat janin yang tumbuh di rahimku, namun sakitnya masih menyiksa. Aku keguguran! Anak yang kami idamkan untuk hadir bersama keluarga baruku harus rela kubiarkan pergi dan tak kumiliki. Kesedihan ini sama seperti saat aku kehilangan suamiku yang dulu ketika aku sedang bekerja keras untuk membiayai perawatannya. Penderitaanku bertambah saat aku harus memutuskan untuk meninggalkan Taiwan dan tak kan pernah mau kembali lagi. Pembaca, inilah kisah haruku…
Suamiku Berpenyakit Aneh
Tahun 2010 yang lalu, aku harus meninggalkan Cirebon kampung halamanku dan datang ke Taiwan demi suami tercinta yang sedang sakit. Rintihan sakitnya membuatku harus bertekad untuk meraih dolar Taiwan yang bisa kugunakan untuk pengobatannya. Pengorbananku ke Taiwan tak hanya diperuntukkan bagi suami tercinta, tetpi juga keluarga besarku, kedua anakku yang membutuhkan sokongan hidup. Hari-hari yang kulalui dengan berat di Taiwan membuatku tak putus asa, karena niatku hanya untuk suami dan keluarga.
Serasa dihujam belati yang tajam, sakitnya menusuk dadaku ketika aku harus mengetahui bahwa sakit suamiku semakin parah. Berita mengenai sakit suamiku pun termuat di salah satu surat kabar kotaku. Hatiku semakin risau, entah penyakit apa yang dialami oleh suamiku. Kata keluargaku, suamiku semakin parah. Wajahnya sudah tidak bisa dikenali lagi. Entah mengapa, suamiku yang tadinya hanya sakit biasa, mendadak wajahnya menjadi seperti membusuk. Mimisan terus keluar dari hidungnya. Terkadang dari hidung keluar daging sebesar dadu.
Keluargaku sudah membawanya ke dokter, namun pihak rumah sakit menyatakan bahwa suamiku terkena tumor, tetapi tumor yang tak jelas seluk beluknya karena ketika mau dioperasi, dokter tidak menemukan penyakit apapun pada tubuhnya. Saat suamiku menunaikan sholat, ketika sujud, keluarlah banyak belatung hidup dari hidungnya. Ketika belatung itu dibakar, tetap saja hidup. Benar-benar aneh. Sampai suatu saat, wajah suamiku tiba-tiba terbelah dengan sendirinya, dari hidung sampai ke dagu, seperti ada sayatan yang membelah. Anehnya, langit-langit mulut suamiku juga hilang jadi antara hidung dan mulut langsung tembus. Kata para tetanggaku, suamiku kena santet. Kami sekeluarga hanya pasrah dan berdoa. Apalagi aku yang jauh di Taiwan.
Setelah beberapa bulan aku menginjakkan kaki di Taiwan, suamiku menghembuskan nafas terakhirnya. Aku yang belum satu tahun bekerja, tak bisa kembali ke tanah air untuk melihat liang lahatnya. Ah…! Aku hanya bisa berdoa dan menangisinya dari jauh. Meski suamiku telah tiada, tetapi perjuanganku di Taiwan harus tetap dilanjutkan untuk membiayai keluargaku. Aku…Ryanti, sebagai tulang punggung keluarga!
Gaji Tak Diberi & Keguguran
Deritaku tak hanya sampai di situ saja. Pada tahun 2011, aku dinikahkan jarak jauh dengan seseorang yang berasal dari kampung halamanku juga. Setelah beberapa bulan menikah, suami baruku menyusulku ke Taiwan. Ia bekerja sebagai anak buah kapal di daerah utara Taiwan. Dari pernikahan kedua, aku hamil. Namun rasa senang itu tak sampai lama, aku keguguran karena terpeleset di kamar mandi. Aku harus kehilangan bayiku. Sakit yang kurasa tidak hanya perihnya derita fisik yang kualami namun juga kesakitan batin seorang ibu yang harus kehilangan bayinya.
Belum genap rasa sakitku berkurang, aku juga dihujani penderitaan saat bekerja sebagai seorang TKW penjaga ama. Orang tua yang kujaga ini sangat perhitungan sekali. Setiap hari aku didera rasa sakit hati yang kusimpan tanpa dibalut dengan perban yang memberikan setitik kenyamanan bagiku. Setiap hari hanya omelan yang kudapatkan, meski aku telah bekerja dengan baik. Pernah aku menerima caci maki yang sangat menyakitkan hati ketika aku baru pulang dari toko roti untuk membeli roti baginya. Hanya telat beberapa menit, telinga ini pun panas dengan caci makian. Aku jelaskan bahwa tokonya antri, namun ama tak pernah percaya.
Ama terus membandingkanku dengan penjaga yang sebelumnya bekerja untuknya. Ama menjadi cerewet, penuh amarah dan rasa curiga karena TKW yang bekerja di tempatnya dulu sering mencuri uangnya dan tidak bertanggung jawab dalam bekerja. Aku sudah menjelaskan pada ama bahwa aku orang yang berbeda. Aku tak sama, aku bertanggung jawab dan jujur. Namun ama tetap saja tak mempercayaiku. Ah! Aku ingin pulang…aku tak ingin terlalu lama di sini, bekerja dengan orang yang tak mempercayaiku. Sekalipun kerja keras yang terbaik, yang kutunjukkan, namun ia tak pernah melihatnya dengan mata hati terbuka. Apa yang kulakukan selalu salah di matanya.
Hal yang membuatku sakit hati lagi karena gajiku juga menjadi sasaran ketidakadilannya. Sejak Maret 2012, aku tak pernah menerima gaji dari majikanku. Aku sudah melaporkan hal ini pada agensi, namun mereka tak menanggapi. Aku benar-benar putus asa. Uang apa yang harus ku kirim untuk keluargaku? Aku benar-benar membutuhkan uang untuk membiayai 2 anakku dari suami pertama dan juga keluarga besarku! Bayangkan, selama gajiku tak diberi, aku hanya menggunakan uang simpananku untuk membiayai kebutuhanku.
Selama tinggal di rumah majikanku ini, tak pernah aku mendapat jatah makan. Jika ingin makan, aku harus beli sendiri. Sangat…sangat…menderita! Beban yang sangat berat ini membuatku memutuskan untuk pulang ke Indonesia. Biarlah di sana susah, asalkan aku bahagia hidup bersama anak-anakku. Toh di sini pun aku juga merasa lebih susah dan tersiksa. Aku pulang…dan tak ingin kembali ke sini lagi, bahkan aku tak akan menginjakkan kakiku untuk pergi ke negeri orang dan merantau menjadi TKW. Sudah cukup pengalaman ini, kini aku bersyukur bisa pulang. (*/ml)