Bagi seorang wanita, melahirkan seorang bayi itu merupakan sebuah kebahagiaan, karena bisa menghadirkan buaian kasih sayang di tengah hangatnya pelukan keluarga. Namun bagiku, itu adalah aib! SAKIT! Sakit sekali saat aku tahu bahwa aku mempunyai seorang anak. Sakitnya bukan karena melahirkan, tapi SAKIT karena kebodohan yang kuperbuat di masa lalu. Pembaca…Inilah kisah sakitku yang tak terbendung.
Desakan Ekonomi, Aku Harus Kabur
Sebut saja namaku Airi. Aku meninggalkan kampung halamanku, bekerja ke negeri orang untuk mencari perubahan hidup yang bisa kupersembahkan pada keluarga di kampung. Aku bekerja sebagai penjaga akong. Setiap harinya hidupku dipenuhi dengan hal-hal yang sama. Kesepiaan, kepenatan, kegundahan dan perasaan bosan yang menyengat. Ah, aku ingin suasana yang baru. Aku ingin mencari perubahan! Sampai suatu saat, aku mengenal teman-teman BMI lainnya yang tinggal di sekitar tempatku. Aku mulai sering bergaul bersama mereka.
Suatu hari, karena desakan ekonomi, keluargaku memberitahukan bahwa mereka membutuhkan uang. Aku bingung…karena statusku masih menjalani masa potongan kerja. Aku mulai menceritakan permasalahanku kepada teman-teman yang kukenal itu. Mereka menganjurkanku untuk menelepon Melati (nama samaran). Kata mereka, Melati adalah orang yang selalu membantu BMI yang membutuhkan pertolongan. Aku memberanikan diri untuk menelepon Melati. Ah…ternyata benar! Melati menawarkan sejuta impian yang kurindukan. Tawaran yang menggiurkan! Melati menjaminku dengan upah NT$25.000 per bulan, jika aku mau bergabung dan kabur dari majikanku. Ah, kabur! Itulah pemikiranku yang pertama saat aku tergiur dengan dolar Taiwan. Tak pernah kubayangkan, jika kabur adalah langkah awalku untuk masuk ke lubang kenistaan.
Aku Ditiduri dengan Cara Licik!
Setelah menerima tawaran Melati, ia menungguku di dekat tempat aku bekerja. Malam yang dingin, hujan gerimis seakan menyambut perubahan hidupku. Bergegas kami pergi melintasi jalan-jalan yang tak kutahu arahnya. Lama sekali perjalanan yang harus ku tempuh. Ah…jantungku berdetak kencang seakan tak kuasa menahan rasa senang akan pekerjaan baruku, masa depan indahku.
Kami berhenti di sebuah tempat yang terdapat banyak kamar-kamar disertai lampu remang-remang. Melati menyodorkan secarik kertas perjanjian bahwa aku akan mendapat uang sebesar NT$25.000 setiap bulan. Ah, angka yang fantastis! Bergegas aku menandatanganinya. Sesaat kemudian Melati bergegas menarikku ke sebuah kamar dan menyuruhku untuk berdandan.
Aku ingin menolak, tapi tak kuasa! Setiap kali aku menolak permintaannya, aku selalu dihujani pukulan, amarah dan tendangan. Dengan bercucuran air mata, aku langkahkan kaki ini dengan terpaksa menuju sebuah tempat yang remang-remang itu. Ku tuangkan minuman bir dari satu gelas ke gelas yang lain sembari melihat pemandangan tak sedap itu. Aku melihat lelaki hidung belang yang sedang membelai tubuh wanita. Aku takut…aku berlari keluar dari tempat itu.
Ingin rasanya aku kabur dari tempat itu, tapi tak punya cara. Karena setiap gerak-gerikku selalu diawasi. Berbagai macam pukulan telah menghujam tubuhku. Aku tak kuasa membela diri, karena aku telah menandatangani kontrak itu. Suatu hari, seseorang telah menaruh obat tidur atau semacam apapun itu pada makananku. Setelah aku makan gado-gado, ku tak sadarkan diri sepanjang malam. Saat aku sadar, tubuhku terbaring di sebuah kamar. CIH! Dengan cara licik tubuhku digunakan untuk melayani lelaki hidung belang. Aku tak tahu siapa lelaki itu, yang kutahu, tubuhku kini sudah ternodai.
Aku pun tak bisa mengeja kata yang tepat untuk mewakilkan perasaan sakitku itu! Ingin ku kembali pada pekerjaanku yang lama…namun, aku tahu itu sudah terlambat. Kabur dari majikanku yang dulu, itu adalah sebuah kekonyolan! Ah bukan kekonyolan…tapi kebodohan! Kini nasi sudah menjadi bubur, bahkan bubur yang tak enak rasanya. Kepenatanku menjaga akong, itu adalah saat yang terbaik daripada melayani nafsu bejat para lelaki hidung belang ini.
Hamil, Kerja Mengaduk Semen dan Pasir!
Aku dirudung masalah yang menimbulkan masalah baru. Hamil! Suatu saat, aku memberanikan diri untuk kabur dari rumah itu. Aku berlari sekencang-kencangnya. Tak ku tahu arah tujuanku, namun tetap ku kencangkan kaki ini untuk berlari sejauh mungkin dari lembah nista tersebut.
Sampai aku melihat sebuah bangunan setengah jadi, aku memasuki bangunan tersebut dan beristirahat di dalamnya. Tak kuasa ku menahan lelahku, aku tidur di tempat yang tak layak untuk ditiduri. Keesokan harinya aku memohon untuk meminta pekerjaan pada orang-orang yang sedang membangun di tempat itu. Aku ingin kerja untuk membiayai kelahiran anak ini. Ah…! Sebagian orang mungkin menyuruhku untuk menggugurkan kandungan yang tak kutahu siapa ayah si jabang bayi ini. Namun aku tetap bersikeras untuk mempertahankan bayi ini.
Dengan keadaan hamil aku bekerja melakukan pekerjaan laki-laki sebagai tenaga kasaran. Hampir setiap hari aku harus mengangkut semen dan mengaduk pasir. Hingga suatu saat aku melihat darah menetes mengaliri kedua kakiku. Dengan langkah terpopoh, aku menyeret kakiku menuju pangkalan taxi. Karena keadaanku yang tak berdaya, sang sopir menelepon 911 untuk memanggil ambulans. Mungkin ia tak mau mendapat masalah, ia meminta bantuan 911. Bagiku, tindakannya sudah menolong diriku yang tak berdaya ini.
Bergegas aku di bawa ke rumah sakit St. Joseph’s Hospital, Huwei, Yunlin. Aku berterima kasih dengan seluruh perawat serta tenaga medis dan manajemen dari rumah sakit tersebut yang telah membantuku. Karena tak memiliki identitas apapun, satpam rumah sakit menelepon polisi. Ketika polisi datang, mereka menghujaniku dengan berbagai macam pertanyaan. Aku gugup dan takut ketika mengutarakannya, malah…polisi itu memarahiku. Lalu polisi tersebut menelepon pihak imigrasi Taiwan.
Di tengah deru masalah yang menimpaku, ternyata Tuhan masih berpihak kepadaku. Ia mengirimkan orang-orang baik disekitar untuk membantuku. Aku datang dengan keadaan tak membawa apa-apa. Hanya baju satu yang melekat di tubuhku. Uang sepeser pun tak ada. Namun aku dikelilingi oleh teman-teman BMI yang bekerja di rumah sakit maupun teman-teman lain yang pada saat itu menjaga majikannya yang sakit di rumah sakit tersebut. Mereka mengumpulkan uang NT$30.000 untuk biaya rumah sakitku. Mereka juga membelikanku pampers serta pakaian. Bahkan ada seorang yang bekerja di imigrasi membelikan susu untuk bayiku. Kemudian orang imigrasi membawaku ke shelter di Taichung.
Aku berterima kasih karena banyak teman-teman BMI yang mempedulikanku. Aku tahu, apa yang kulakukan di masa lalu itu salah. Aku kabur, itu adalah kesalahan yang menyisakan banyak tangisan. Kini…aku harus menanggung malu untuk pulang ke tanah air. Seharusnya….aku bisa menjadi pahlawan bagi keluargaku, namun kini….malah justru aku yang menambahi beban mereka. Aku malu kawan! Aku hanya bisa berpesan, jangan pernah mengulangi kesalahan yang sama denganku. Hidup adalah perjuangan. Berjuanglah, berusahalah, berkerja keraslah dan berpikirlah yang benar. Kabur bukanlah jalan yang menghantarkanmu pada kebebasan, melainkan suatu perangkap untuk memasuki gelapnya masa depan. (Diceritakan kembali oleh: Kwek Lina/ 2012/ edited by IS).