Foto ilustrasi diambil dari The New Paper.
Setiap tahun lebih dari 100 kasus penyerangan seksual terhadap pekerja migran yang dilaporkan di Taiwan. Para pelakunya hampir selalu majikan, kerabat terdekat, atau makelar penyalur kerja.
Wartawan BBC di Taiwan, Cindy Sui, melakukan reportase seperti yang dirangkum tribunnews.com.
Pada September 2016, seorang asisten rumah tangga di Taiwan merekam kejadian ketika dia diperkosa oleh majikannya.
Rekaman video itu diunggah ke Youtube, namun tak lama kemudian dicabut dari laman tersebut.
Terlihat majikan menyerang ART-nya, walau si perempuan sudah memohon menghentikan tindakan itu dan mencoba mendorongnya.
Rekaman itu telah dikirim pula oleh ART ke makelar agar agen penyalur kerja memindahkannya ke majikan lain, namun upaya itu sia-sia.
Dia lantas mengirim video itu ke seorang teman, yang lalu mengunggahnya ke media sosial demi mempublikasikan aksi kejahatan tersebut.
Kasus ini sontak membuat peristiwa penyerangan seksual terhadap warga Indonesia dan pekerja migran lainnya di Taiwan menjadi sorotan.
Cindy Sui berupaya menghubungi perempuan yang bersangkutan melalui dinas kesejahteraan sosial Taiwan yang memberikannya tempat penampungan.
Namun, dinas itu mengingatkan Cindy Sui bahwa perempuan itu tidak patut diwawancarai karena kasusnya sedang diinvestigasi dan kondisi emosional si perempuan tengah terguncang.
Meski demikian, seorang perempuan lain yang sedang memperjuangkan kasusnya di pengadilan sepakat angkat bicara asalkan BBC menyembunyikan identitasnya.
Sebut saja Esti (22) datang pertama kali di Taiwan untuk mendapatkan uang demi membantu perekonomian keluarganya. Namun, tak lama setelah mulai bekerja di restoran, Esti mengaku adik majikan memperkosanya.
Pria tersebut adalah orang yang mengantarnya ke restoran setiap pagi sehingga dia bisa menyiapkan makanan sebelum staf lain dan para pelanggan datang.
Peristiwa itu terjadi pagi hari dan tiada orang lain di sana. Esti tidak bisa menghentikan dan tidak bisa minta tolong. Ia hanya bisa menangis. Perkiraan Esti adik majikan hanya melakukan itu satu kali. Namun itu terjadi lagi dan lagi. Dia memperkosanya tiga hingga lima kali dalam seminggu.
Esti belum mengerti bahasa Mandarin, tidak tahu ke mana harus meminta tolong, dan bahkan dia tidak punya telepon seluler atau punya waktu untuk berteman. Tindak pemerkosaan berlanjut, Esti tidak menceritakannya ke siapa pun, termasuk ke majikan atau makelar penyalur kerja.
“Mereka akan mengatakan itu salah saya. Saya takut mereka akan mengirim saya pulang. Saya baru tiba di sini. Saya berutang Rp25 juta kepada makelar. Saya harus membayar utang setiap bulan dan jumlahnya lebih dari utang sebenarnya karena mencakup bunga. Saya takut jika mereka mengirim saya pulang, saya tidak sanggup membayar utang,” tutur Esti seperti dikutip Tribunnews.com.
Seperti kebanyakan pekerja migran lainnya, Esti berutang kepada penyalur tenaga kerja. Ditambah bunga, utang Esti mencapai Rp40 juta, jumlah yang baru bisa dibayar Esti setidaknya selama setahun setelah potingan gaji di samping harus membayar biaya bulanan dan pungutan liar kepada makelar Taiwan.
Perasaan malu juga membuat Esti tidak menceritakan derita yang dia alami kepada siapa pun, termasuk keluarganya.
“Di kampung halaman orang-orang berpikir bahwa perempuan yang telah diperkosa itu kotor. Saya merasa malu dan kotor. Saya khawatir orang-orang akan memandang saya dengan rendah. Saya tidak ingin bercerita kepada siapa pun. Bahkan hingga kini saya tidak bercerita kepada ibu saya karena dia akan sangat sedih jika tahu,” kata Esti.
Esti tidak bisa bicara kepada siapapun saat bekerja, majikan ingin ia terus bekerja. Selama 16 bulan bekerja ia hanya libur pada Hari Raya Imlek. Esti harus bekerja bahkan ketika sakit.
Pemerintah Taiwan tidak memastikan para pekerja migran mendapat waktu libur secara rutin atau meninjau kesejahteraan mereka. Urusan semacam itu diserahkan kepada makelar penyalur kerja, yang hanya peduli pada kepentingan majikan.
Sejumlah kelompok pelindung hak asasi manusia mengatakan peristiwa yang menimpa Esti bukan satu-satunya kasus yang terjadi di Taiwan.
Pekerja kebanyakan terlalu takut mengadu kepada polisi, utamanya karena gaji mereka dikurangi atau disimpan oleh majikan. Mereka harus membayar biaya makelar yang tinggi, harus membayar utang, dan mesti bantu keluarga di kampung. Mereka tidak bisa pulang. Mereka tidak bebas. Demikian kata Suster Wei Wei, salah seorang pegiat HAM Taiwan dari Rerum Novarum Center.
Manakala para pekerja migran melaporkan tindak kejahatan yang menimpa biasanya terlambat. Pelaporan terjadi bukan dalam periode emas, dalam kurun 72 jam setelah peristiwa terjadi sehingga dokter masih bisa mengambil sampel sperma dari tubuh. Mereka mungkin diserang pada hari Selasa, namun mereka baru melaporkannya sampai libur hari Minggu.
Banyak pekerja migran disuruh majikan untuk mandi terlebih dulu setelah diserang secara seksual dan mencuci semuanya untuk memusnahkan bukti. Dengan demikian, yang kerap terjadi dalam kasus migran, buktinya kurang sehingga jaksa tidak pernah mengajukan tuntutan. Hanya segelintir majikan yang didakwa dan mereka biasanya hanya diberi sanksi atau mereka membayar korban dengan jumlah kompensasi yang kecil.
Dari 25 kasus yang ditangani organisasi tempat Suster Wei Wei bernaung, hanya tiga perempuan migran yang berhasil mendakwa pemerkosa mereka. Kemudian, dari tiga kasus itu, hanya satu yang dihukum penjara. Adapun perempuan yang sepakat diberi kompensasi cepat-cepat disuruh pulang ke negara asal.
Hukum yang berlaku di Taiwan saat ini tidak mengharuskan makelar penyalur kerja untuk melaporkan kejahatan.
Dalam jawaban tertulis untuk pertanyaan-pertanyaan yang diajukan BBC, Biro Ketenagakerjaan dan Pelatihan Kejuruan (BEVT) dari Kementerian Tenaga Kerja Taiwan menyatakan pemerintah Taiwan memiliki sistem untuk melindungi para migran.
“Negara kami telah menciptakan sebuah sistem yang patut dan lengkap untuk melindungi hak-hak migran,” sebut biro itu dalam pernyataan tertulis.
Perlindungan hak-hak migran yang dimaksud mencakup pemberian informasi hak-hak migran sebelum mereka meninggalkan negara masing-masing dan ketika mereka tiba di bandara di Taiwan. Kemudian, keberadaan saluran telepon yang bisa dihubungi untuk melaporkan pelecehan seksual, pemberlakuan wawancara kepada migran saat pulang, dan mengizinkan para migran beralih majikan jika mereka bisa membuktikan telah diserang.
Akan tetapi, sejumlah LSM mengatakan sistem tersebut jelas tidak berfungsi.
Setahun setelah bekerja di restoran, Esti membayar utang-utangnya dan kabur. Dia kemudian menemukan dua pekerjaan lain dan bekerja secara ilegal tanpa melalui jasa makelar. Esti kemudian memutuskan meninggalkan Taiwan dan mengungkapkan peristiwa yang dialaminya saat ditanya alasan dia meninggalkan pekerjaan pertamanya.
Seperti yang dialami para korban penyerangan seksual lainnya, dia langsung ditempatkan di sebuah lokasi penampungan dan didampingi pengacara. Namun, setahun kemudian, kasusnya terombang-ambing.
Jaksa penuntut umum memutuskan tidak mengajukan tuntutan karena mereka meyakini klaim adik mantan majikan Esti bahwa hubungan seksual terjadi atas dasar suka sama suka.
“Adik majikan berani mengatakan itu terjadi atas kemauan bersama. Saya benar-benar merasa sakit. Saya harap dia dihukum atas apa yang dia lakukan kepada saya,” kata Esti.
Pengacara Esti telah mengajukan banding. Namun, jika jaksa menolak membuka kembali investigasi, kasus Esti akan ditutup.
Karena merasa frustrasi, Esti ingin menyerah dan pulang ke Indonesia.
“Saya ingin mendirikan usaha kecil dan memperkerjakan warga Indonesia sehingga bisa bekerja di Indonesia dan tidak harus pergi ke negara lain untuk bekerja,” ujar Esti. (Ol)