Foto diambil dari shutterstock.
Sebelumnya perkenalkan namaku Wanti, saat ini usiaku 37 tahun, statusku single parent yang diwarisi seorang putri. Kini putriku berumur 19 tahun. Sejak ia berumur 5 tahun, ayahnya sudah meninggal karena strok. Aku berasal dari keluarga miskin, bapakku adalah seorang seorang tukang becak di kawasan pasar Briharjo. Sedangkan simbokku berjualan dawet di sawah setia musim panen padi. Aku adalah anak pertama dari 2 bersaudara.
Sejak lulus sekolah SMP aku kerja di kerajinan kulit karena orangtuaku sudah tidak sanggup membiayaiku melanjutkan sekolah. Sejak saat itu pula aku mengenal cowok dan merasakan jatuh cinta, entah itu cinta monyet atau cinta yang sesungguhnya. Sebut saja dia Anto, dia cowo yang ugal-ugalan di kampungku. Anta berasal dari keluarga terhormat dan orang kaya di kampungku. Awalnya aku sangat benci kepadanya, tetapi sejak kami dijadikan panitia perlombaan 17 Agustus dan sering bersama-sama akhirnya kami saling menyukai dan jatuh cinta.
Setelah kami berpacaran selama 5 bulan, Anto pun ingin melamarku, tapi aku menolaknya karena ia masih sekolah SMA kelas 1. Aku memintanya supaya menyelesaikan sekolahnya dahulu, tetapi Anto pun menolaknya. Akhirnya kami membicarakan masalah ini pada orang tua kami masing-masing. Ibu Anto pun sangat marah, dia menolak karena aku hanya anak seorang tukang becak dan bukan karena Anto masih sekolah. Sedangkan orang tuaku sangat takut dan cemas nantinya aku disia-siakan karena kami orang miskin.
Tapi karena atas dasar saling suka, akhirnya kami pun bertekad untuk pergi dari rumah dan menuju kota Bandung, tempat kakak sepupuku bekerja. Setelah kami tinggal di Bandung seminggu, kami mendapat telegram dari bapakku yang isinya kami diminta pulang untuk segera menikah. Setelah kami pulang, kami dinikahkan walau tanpa restu dari Ibu Anto. Aku dan Anto pun tinggal bersama orangtuaku, bukan aku tak mau ikut suami tetapi justru suamiku sendiri yang tidak mau tinggal dirumahnya yang serba ada.
Suamiku masih pengganguran, dia juga belum mempunyai pengalaman kerja sama sekali, tetapi dengan ketrampilan elektronik dia akhirnya menerima reparasi elektronik sambil bekerja sebagai buruh bangunan, sedangkan aku pun kembali bekerja di kerajinan kulit.
Di waktu senggang kami selalu meluangkan waktu untuk berkunjung ke rumah orang tua suamiku. Walau tak pernah disambut senang oleh ibu mertua, kami tetap datang walau hanya sebentar sekedar silahturami melihat keadaan mereka juga nenek. Sebenarnya hati ini sakit setiap datang karena selalu terdengar kata-kata hinaan yang sangat menyakitkan dari ibu mertua, karena dia selalu bilang kalau kami datang dan tak pernah membawakan oleh-oleh serta hanya mau mencuri dan minta-minta.
Walau demikian kami pun hidup rukun dan bahagia apa lagi sejak kehadiran si kecil. Di hari ulang tahun putri kami yang ke 5, suamiku mengajak kami jalan-jalan ke pasar malam dan membelikan sebuah boneka panda merah yang besar. Saat ini pun boneka itu masih dalam pelukan putriku.
Tak Ada firasat apapun, seminggu setelah ulang tahun putri kami, suamiku mendapat musibah yang sangat kritis. Pembuluh darah di otaknya pecah dan ia mengalami lumpuh setengah badan. Setelah dirawat di rumah sakit PKU Jogja selama 3 jam, akhirnya suamiku pergi untuk selamanya meninggalkan kami.
Di saat pemakaman suamiku tak kusangka ibu mertuaku mau datang, tetapi kedatangan dia bukan untuk bela sungkawa melainkan untuk meminta motor yang kami beli karena suamiku pernah mengutang cincin logam tanpa sepengetahuanku untuk melamarku, padahal motor tersebut merupakan hasil jerih payah kami dan bantuan dari orang tuaku. Selain itu dia juga meminta uang bantuan bela sungkawa dari tetangga dan saudara-saudara. Aku tak menjawab sepatah kata pun dan kuberikan apa yang dia minta.
Setelah malam tiba sehabis sholat magrib, kami berjama’ah dengan tetangga dan saudara membacakan yasin dan tahlil. Tiba-tiba datanglah ibu mertuaku, dia ingin menjodohkan aku dengan adiknya yang perjaka tua, seorang pengangguran dan juga suka judi.
Tanpa aku jawab sepatah kata pun aku pergi meninggalkan dia di kamar tamu dan pergi menimang putriku masuk kamar. Aku menangis menjerit sekuatku. Saat itu aku sedih bukan karena kepergian suamiku tetapi justru benci kepada mertuaku yang tega padaku padahal anaknya pun baru dimakamkan. Bunga-bunga masih segar dan tanahnya pun masih basah.
Setelah peristiwa itu aku lebih banyak mengurung diri di kamar dan tak ada selera makan sedikit pun dalam benak pikiranku. Akhirnya aku memutuskan untuk pergi merantau ke Arab Saudi. Aku meminta izin kepada orang tuaku tetapi mereka melarangku hari demi hari. Minggu berganti minggu, bulan berganti bulan, aku selalu membujuk mereka agar mengizinkanku. Di bulan ke 2 akhirnya orangtua mengizinkan dengan syarat menunggu sehabis 100 hari.
Hari-hari yang kutunggu telah tiba, setelah menjalani proses 3 minggu di penampungan, aku pun terbang menuju kota Riyadh dan mendapatkan majikan yang sangat baik dan sabar.
Terima kasih Tuhan Kau berikan aku rezeki yang Engkau ridhoi.
The End