Foto diambil dari CNA.
Beberapa orang pekerja migran dari Filipina dan Indonesia berdemo pada hari Minggu (15/7) agar mereka diizinkan untuk bergabung memberikan perubahan pada referendum hukum perburuhan.
“Tenaga kerja asing memiliki hak yang sama dengan pekerja lokal karena hak-hak pekerja adalah hak asasi manusia,” ujar salah satu aktivis pekerja migran yang tergabung dalam Taiwan International Workers’ Association (TIWA) di luar Taipei Main Station.
Para pengunjuk rasa menuntut agar pemerintah mengakui keabsahan tanda tangan buruh migran pada petisi untuk referendum yang akan mencabut satu set amandemen Labor Standards Act, yang mulai berlaku tanggal 1 Maret. Referendum akan diselenggarakan bersamaan dengan pemilihan lokal bulan November.
Amandemen itu disahkan untuk memungkinkan lebih banyak fleksibilitas dalam penjadwalan lembur, tetapi banyak kelompok buruh keberatan dengan revisi yang menciptakan hanya 12 hari kerja terus menerus dan hanya delapan jam istirahat antara dua shift.
Revisi juga menaikkan batas waktu lembur menjadi 54 jam per bulan, naik dari 46 jam sebelum diubah, tetapi mempertahankan batas pada 138 jam setiap tiga bulan.
Buruh migran yang bekerja di pabrik yang berjalan pada tiga shift 8 jam paling terpukul karena pembatasan lembur pada jam kerja, tetapi mereka tidak pernah mengkonsultasi terlebih dahulu pada perubahan tersebut, yang bisa mengakibatkan dampak bagi pekerja migran.
Petisi referendum, yang diprakarsai oleh aliansi kelompok buruh dan didukung oleh partai-partai kecil, sekarang berada di fase kedua pengumpulan tanda tangan. Jumlah tanda tangan yang diperlukan untuk permohonan agar dianggap sebagai proposal yang valid adalah 1,5 persen dari semua pemilih yang memenuhi syarat, atau 280.000.
Para pengasuh migran membantu banyak orang di Taiwan merawat para lansia, orang cacat dan anak-anak mereka dalam keluarga ketika mereka sedang bekerja dan dengan demikian berkontribusi terhadap produktivitas ekonomi Taiwan.
“Kami harus memiliki hak untuk memutuskan isu-isu mengenai pekerja migran. Kami tinggal di sini, bekerja di sini. Kita harus memutuskan bersama,” kata para pekerja migran.
Seorang pekerja pabrik asal Indonesia bernama Iwan mengatakan dia berharap pemerintah Taiwan akan menerima tuntutan mereka dan mempertimbangkan kembali ketentuan undang-undang yang baru saja diubah.