Foto: Dedi dengan kondisinya. Sumber TRIBUNSIAK.COM/tribunnews.com
Warga Kampung Sungai Berbari, kecamatan Pusako, kabupaten Siak, Dedi Putra (28) terbaring lemas di Ministry of Health and Welfare Nontou Hospital, Taiwan sejak 3 minggu lalu.
Ia mengalami depresi berat dan menggigit lidahnya sendiri sampai tidak mampu menelan makanan.
Meskipun sudah ada rencana pemulangan yang dilakukan pihak Imigrasi Indonesia, namun maskapai penerbangan di Taiwan tidak mau menerbangkan orang dalam keadaan sakit keras.
Dedi Putra memilih jalan hidup sebagai seorang TKI sejak 2015 lalu. Ia ingin mengubah nasib hidup setelah istrinya meninggal dunia ketika mendapat tawaran bekerja di sebuah kapal berbendera Taiwan.
Namun, upayanya ditempuh dengan cara nekat. Dedi hanya mengurus paspor berkunjung ke Malaysia pada Agustus 2015 lalu di Kantor Imigrasi Kelas II Siak. Berbekal paspor itulah ia naik ke kapal Taiwan tersebut dan bekerja sekitar 1,5 tahun.
Selama ikut melaut dengan kapal itu, Dedi banyak mendapat tekanan. Ia merasakan kerasnya hidup di atas kapal. Belum lagi perintah kerja, tekanan senior dan rekan-rekan kerjanya. Jangankan dimaki, dihajar seniornya pun pernah diderita Dedi.
Tidak tahan menghadapi gelombang kehidupan ABK, ia mencoba keluar dari kapal dan bekerja di darat. Berbulan-bulan lamanya ia bekerja di sebuah perusahaan perkebunan di Taiwan membuat Dedi merasa lega.
Anak bungsu dari 5 bersaudara itu sudah dapat berkirim uang ke kampung halaman untuk ibunya dan dua orang anaknya.
Sekitar akhir tahun 2017 lalu, langkah Dedi seketika terhenti saat hendak pulang dari kebun. Pihak berwewenang Taiwan mengadakan razia ketat, sehingga Dedi tertangkap. Saat diperiksa, Dedi tidak mempunyai dokumen yang lengkap, sehingga ia ditahan.
Pada masa tahanan, Dedi mengalami tekanan yang lebih kuat. Ia memilih untuk tidak makan berminggu-minggu. Gejolak psikologisnya membuncah sekitar sebulan lalu. Ia melawan kepada petugas saat mengantarkan jatah makan. Saking tidak sadarkan dirinya, ia pun menggigit-gigit lidahnya sampai terluka-luka. Dedi tidak dapat menelan apapun. Sedangkan tubuhnya sangat lemas, dan terpaksa dirawat di rumah sakit.
“Jatah gaji yang masih tersisa di perkebunan dijadikan untuk membiayainya di rumah sakit. Tetapi uang itu tidak cukup,” kata Juprizal, abang kandung Dedi, Senin (12/3/2018).
Juprizal dari kampung halaman terpaksa mencari uang untuk dikirim. Akhirnya terkumpul sebanyak Rp 6 juta lalu dikirimkan ke Taiwan. Tetapi, kondisi Dedi semakin hari semakin parah.
Ibu kandung Dedi, Rahmi (52) juga sudah sangat cemas. Ia meminta bantuan kepada pemerintahan desa dan camat Pusako untuk mengurus pemulangan anaknya.
Pada Jumat (9/3/2018) Juprizal dan adiknya berangkat ke Jakarta menanti kepulangan Dedi. Namun, informasi dari Taiwan, Dedi tidak bisa pulang karena kondisinya belum memungkinkan.
Juprizal mengakui, adiknya berangkat ke Taiwan memang tidak menggunakan visa kerja. Sebab, awalnya Dedi bekerja di kapal sehingga jarang berada di daratan.
Rahmi ibu Dedi juga tidak bisa menelan nasi saking cemasnya. Jika tidak cepat dipulangkan, dikhawatirkan ibunya juga akan jatuh sakit. Maklum, Dedi merupan anak bungsu dari 5 bersaudara. Di kampung Dedi juga mempunyai 2 orang anak yang masih kecil.
Kepala Kantor Imigrasi Kelas II Siak, Sjachril membenarkan peristiwa itu. Ia mengetahui Dedi menjadi ABK di kapal Hua Sheng N0669 CT7- 0609 berbendera Taiwan sejak 2015 lalu. Namun tak kuat menghadapi tekanan, Dedi mencoba lari ke daratan meski tanpa dokumen lengkap. (Ol)