Banyak permasalahan yang terus mengemuka mengenai biaya penempatan, baik dari sektor formal maupun informal. Sebagian besar BMI merasakan terlalu tingginya biaya ini sehingga dirasa sudah di luar kewajaran. Hal ini diungkapkan oleh salah satu BMI asal Lampung yang sampai harus mengeluarkan hampir 50 juta rupiah untuk bisa bekerja di pabrik wilayah Taipei City ini.
Berkaitan dengan hal ini, IndosuarA mencoba menelusuri hal-hal apa saja yang menyebabkan biaya penempatan menjadi besar. Kami mencoba memantau melalui penyebaran kuesioner kepada BMI di beberapa organisasi. Kuesioner ini diikuti oleh beberapa BMI yang tinggal di enam kota besar Taiwan yakni Taipei, Kaohsiong, Hsinchu,Tongkang Taoyuen, dan Yilan yang bekerja di bidang formal, informal maupun ABK. Rata-rata responden yang mengikuti jajak pendapat ini telah bekerja lebih dari dua tahun. Apa kata para pahlawan devisa ini mengenai biaya penempatan? Berikut investigasinya.
Praktik Jual Beli Job
Prosentase responden yang keberatan dengan tingginya biaya penempatan untuk sektor formal hampir mencapai 100 persen, sedangkan untuk sektor informal lebih dari 30 persen. Hal ini dibenarkan oleh mantan ketua IPIT, Avendy. Ia harus membayar lebih dari 30 juta rupiah untuk bisa bekerja di pabriknya sekarang ini, dan masih saja dipotong uang potongan wajib China Trust selama 9 bulan. Jelas saja hal tersebut sangat memberatkan BMI.
Prosentase biaya penempatan untuk pekerja formal sungguh mencengangkan. Sekitar 40% responden mengemukakan bahwa mereka paling banyak harus merelakan 30 sampai 40 juta rupiah untuk membayar biaya penempatan. Sedangkan 20% responden mengemukakan harus membayar 20 sampai 30 juta rupiah, dan 20% responden yang lain mengemukakan harus membayar 10 sampai 20 juta juta. Hanya 10% responden yang hanya sekitar 10 juta rupiah ke bawah. Mengenai biaya penempatan sektor informal, sepertinya para care taker ini lebih beruntung daripada yang bekerja di pabrik. Biaya penempatan sektor informal hanya kurang dari 10 juta rupiah saja.
PJTKI Tak Beri Bukti Pembayaran dan Penjelasan Biaya
Maraknya praktik jual beli job ini ternyata didukung oleh sistem yang tidak transparan yang dilakukan oleh PJTKI dan kurangnya edukasi akan hak dan kewajiban calon TKI, yang semestinya datanya dijabarkan secara jelas oleh pemerintah. Hal ini dibuktikan dari hasil survey, sekitar 47% responden menyatakan tidak menerima bukti pembayaran dan rincian biaya penempatan. Sedangkan 37% responden menyatakan menerima bukti pembayaran, tetapi tanpa diberikan informasi rincian biaya tersebut, hanya 16% yang merasa diberikan haknya berupa penerimaan bukti pembayaran dan penjelasan biaya tersebut.
Penyebab yang lain adalah kurangnya edukasi TKI sehingga kurang paham mengenai hal-hal administrasi sehingga menjadi korban. Namun tidak semua TKI kurang paham mengenai hal-hal administrasi, contohnya, salah satu TKI asal Malang yang mencoba memberanikan diri menanyakan pada PJTKI, berapa jumlah resminya biaya penempatan, tetapi tidak diberikan. PJTKI tersebut memberikan alasan bahwa biaya penempatan ini sudah merupakan paket dan sudah umum di Taiwan, jadi tidak perlu ditanyakan lagi. Selain itu, adanya keinginan calon TKI untuk segera berangkat ke Taiwan membuat mereka cenderung tidak menghiraukan hal-hal administrasi lainnya, seperti penerimaan bukti biaya penempatan dan perincian biaya tersebut.
Bunga Tinggi Membuat TKI Terpuruk
Selain adanya indikasi jual beli job, bunga Chinatrust yang tinggi membuat nasib TKI semakin terpuruk. Mereka terbebani dengan harus membayar bunga tersebut selama 9 bulan, sehingga dalam kurun waktu tersebut, para BMI ini tak bisa menikmati upah mereka secara utuh. Seperti yang disampaikan oleh salah satu TKI asal Indramayu yang sehari-hari bekerja di Pingtung sebagai pemanjat kelapa. Dia merasa kerja sebagai TKI, ibarat sapi perahan, bekerja hanya untuk potongan. Harapan untuk mengais pundi-pundi demi kemakmuran keluarganya sirna, setelah melihat pendapatan yang diperoleh tidak sesuai dengan harapannya.
Harapan BMI: Pemerintah Jangan Membuat Kebijakan yang Mempersulit
Biaya penempatan dan bunga Chinatrust yang terlalu tinggi ini membuat nasib TKI khususnya di Taiwan semakin terpuruk. Mereka sudah terlalu banyak harapan yang disampaikan pada pemerintah Indonesia, namun realisasi tersebut belum kunjung tiba. Melalui IndosuarA, mereka ingin menyampaikan harapannya sekali lagi, seperti Sony. Salah satu ABK asal Tongkang ini menitipkan pesan pada pemerintah agar tidak membuat kebijakan yang intinya mempersulit dan semakin membuat TKI terpuruk.
Hal yang sama disampaikan oleh mantan presiden Komunitas On air Taiwan. Dia menyatakan sebaiknya KDEI lebih tegas, mengingat statusnya sebagai jembatan antara TKI dengan pemerintah pusat. Sedangkan saran TKI yang sudah bekerja lebih dari 8 tahun ini, menginginkan pemerintah pusat tidak hanya memberikan janji, tetapi juga bukti penyelesaian terhadap permasalahan yang ada di Taiwan ini. Rata-rata pendapat para TKI ini menginginkan pemerintah Indonesia agar bisa mengatur PJTKI dan Agensi, sehingga tidak seenaknya menentukan biaya penempatan dan biaya-biaya lainnya yang membuat TKI semakin terpuruk. (HM)