Foto diambil dari Wikipedia Commons/ Taiwan News.
Hasil survei yang diumumkan oleh Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) Taiwan pada hari Senin lalu menunjukkan bahwa “satu hari libur dalam setiap tujuh hari” yang berlaku untuk pekerja migrant care taker mendapatkan hasil hampir 70% dari majikan yang disurvei mengatakan bahwa mereka akan memiliki alternatif untuk dikaji kembali lagi.
Kementerian tenaga kerja melakukan survei tentang manajemen pekerja migran, yang termasuk pengasuh rumah tangga dan pekerja industri, dari bulan Agustus hingga Oktober 2017. Survei menanyakan pertanyaan tentang manajemen, penempatan, status pekerjaan, dan perawatan alternatif, dan hasilnya akan dikonsultasikan kepada otoritas tenaga kerja untuk merumuskan kebijakan perekrutan dan manajemen di masa depan.
Hasil survei menunjukkan bahwa gaji rata-rata pekerja migran sektor industri pada Juni 2017 adalah NT $ 26.308 sementara gaji rata-rata untuk pengasuh keluarga migran adalah NT $ 20,073 pada bulan yang sama. Berkenaan dengan jam kerja, pekerja migran sektor industri bekerja rata-rata 210,5 jam pada Juni 2017, sedangkan care taker bekerja rata-rata 10 jam sehari di bulan yang sama.
Ketika ditanya tentang pertanyaan “satu hari libur dalam setiap tujuh hari” kebijakan untuk care taker, sebanyak 69,3% dari majikan mengatakan bahwa mereka akan memiliki langkah-langkah alternatif untuk pengkajian kembali mengenai kebijakan tersebut. Sebanyak 91% dari majikan mengatakan bahwa alternatif yang dimiliki mereka adalah bergantung pada anggota keluarga untuk memberikan perhatian ketika care taker mereka pergi berlibur.
Survei Ministry of Labor (MOL) Kementerian Tenaga Kerja juga menunjukkan bahwa jika pemerintah memberikan subsidi kepada majikan sehingga pekerja migran care taker mereka dapat libur libur secara teratur, sebanyak 30,7% dari pengusaha mengatakan mereka bersedia mengajukan permohonan.
Selain itu, 42,2% majikan care taker dan 34,6% pengusaha yang mempekerjakan pekerja migran sektor industri mengatakan bahwa mereka mengalami kesulitan selama bekerja, yang sebagian besar berasal dari “kesulitan komunikasi karena ketidakmampuan bahasa dari para pekerja migrannya.”