Maraknya trend kaburan pada Buruh Migran Indonesia atau BMI menjadi fenomena tersendiri dalam penanganan permasalahan Tenaga Kerja di Taiwan ini. Hal ini bisa dilihat pada data CLA (Council of Labor Affair) alias Depnakernya Taiwan. Data tersebut menyatakan total tenaga kerja asing overstay atau “kaburan” sebanyak 29736 dengan rincian sebagai berikut: Vietnam sebanyak 13613 orang (56.8%) , Indonesia sebanyak 12038 orang [40.48%], Filipina sebanyak 2843 orang (9,5%), Thailand sebanyak 1241 orang (4.2%) dan Malaysia 1 orang (0.0%).
Peringkat Tenaga Kerja Indonesia yang menempati peringkat kedua ini menjadi permasalahan tersendiri, kebanyakan disebabkan oleh job atau jenis pekerjaan yang tidak sesuai, penganiayaan dan pelecehan seksual dari majikan hingga tertipu dengan janji-janji oknum majikan atau agency seperti yang pernah diberitakan di media lokal Taiwan dimana BMI disekap dan dipekerjakan di rumah pelacuran tanpa dibayar. Peringkat ini merupakan pekerjaan rumah atau PR berat bagi para aparat yang terkait mengingat resiko menjadi tenaga kerja kaburan yang sangat besar dan memprihatinkan. Selain melanggar hukum imigrasi di Taiwan, mereka juga tidak mendapatkan hak sebagai pekerja migran yang sah seperti hak mendapatkan asuransi, pendapatan yang tidak menentu dan terkadang mendapatkan pelecehan dari oknum yang tidak bertanggungjawab.
Berkaitan dengan resiko yang sangat berat ini kami mencoba mengangkat salah satu profil dari BMI kaburan. Sebut saja Bunga. Wanita asal Magetan yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Taoyuan county ini terpaksa merelakan statusnya menjadi tenaga kerja sah atau resmi. Setelah tiga kali memperpanjang kontrak atau delapan tahun sebagai BMI resmi, dia memutuskan untuk kabur. Hal ini terpaksa dilakukan setelah tidak kuat menerima beban pekerjaan yang di luar kesepakatan alias terlalu berat. Wanita yang masih harus menanggung beban uang kuliah adiknya di Indonesia ini harus bekerja mulai dari pukul 5.30 pagi hingga pukul 12 malam tanpa adanya istirahat siang atau tidur siang. Selain itu Bunga tidak hanya harus menanggung beban pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga biasa, tapi dia juga diharuskan untuk membersihkan jendela luar rumah yang jumlahnya puluhan.
Suatu hari kejadian yang membuat dia membulatkan tekad untuk kabur disebabkan pada hari tersebut dia harus membersihkan 50 buah jendela di lantai 14 pada ketinggian 2 meter lebih. Karena terlalu lelah, ia hampir terjatuh dari lantai tersebut. Yang membuatnya tambah marah kejadian itu ternyata dianggap biasa oleh majikannya dan tetap disuruh untuk melanjutkan pekerjaannya. Selain itu dia juga berusaha melapor berkali-kali ke 1955 dan agency berkaitan tetapi tidak ada tanggapan. Hal ini yang membulatkan tekad Bunga untuk kabur karena merasa diperlakukan sebagai robot bukan sebagai manusia.
Kini sudah hampir dua tahun dia menjalani statusnya sebagai Tenaga Kerja ilegal alias kaburan. Berbagai pekerjaan dan berganti majikan telah dirasakan olehnya. Bahkan dia harus rela menjadi tukang bangunan pekerjaan yang biasa dilakukan kaum Adam ini, agar bisa bertahan hidup di Taiwan dan memberi nafkah buat keluarganya di Indonesia. Maklum anak tunggal dari tiga bersaudara ini harus menjadi tulang punggung keluarganya. Hal ini disebabkan ayahnya sudah tidak bisa bekerja lagi karena terkena penyakit diabetes delapan bulan yang lalu. Bunga hanya bisa pasrah dengan terus bekerja mengais pundi-pundi NT demi kelangsungan hidup keluarganya dan menabung demi cita-citanya ke depan menjadi penulis dan penerbit buku. Menjadi BMI kaburan memang bukan kemauan masing-masing individu dan juga bukan sebuah pilihan yang mudah. (hm)