Pernah terbayangkan di benak Anda jika harus berurusan dengan satu anak terbelakang atau cacat mental? Pasti perlu perhatian dan kesabaran yang ekstra keras. Inilah yang dialami Wiwin Winarsih, 25 tahun asal Cilacap. Bukan hanya berurusan dengan 1 orang yang mempunyai masalah cacat mental, tetapi ia harus menghadapi 40 orang cacat mental setiap hari. Hanya ia sendiri sebagai orang Indonesia yang bekerja di panti tersebut. Meski begitu, Wiwin berujar bahwa ia menikmati pekerjaannya. Justru di tengah kepenatan menjaga orang-orang yang kurang normal ini, Wiwin bisa belajar menggali makna kehidupan dan membuatnya sadar. Seperti apa aktivitas Wiwin sehari-hari bersama mereka? Simak kisahnya di sini.
Tidak Boleh Lengah dan Tertidur
Siang itu sangat cerah, secerah perasaan Wiwin yang siap mengemban tugas menjaga orang-orang cacat mental yang sudah dilakoninya sejak 2 tahun 4 bulan yang lalu. Di daerah pingjhen tempatnya tinggal, ia bergegas mengarahkan langkah kakinya menuju Panti An-Kang Ciao Yang Yen. Rata-rata anak-anak yang dititipkan di sini berusia mulai dari 18 tahun – 50 tahun. Kebanyakan umur 25 tahun ke atas. Di panti ini hanya ada 3 shift yang biasanya dibagi rata untuk para penjaga. Namun sejak tahun ini, ia mulai ditempatkan pada shift sore pukul 15.00 sampai dengan pukul 23.00 malam. Pandangan Wiwin menerawang jauh ketika mengingat tentang shift kerja. Ia menuturkan pengalaman kerja kerasnya di masa lalu, saat ia baru pertama kali datang ke Taiwan. Wiwin sempat mengalami kesulitan berkomunikasi karena ia tak bisa berbahasa Mandarin. Belum lagi, ia selalu kebagian shift malam pada pukul 23.00 sampai pukul 08.00 pagi. Pada masa – masa itu ia harus berjuang keras agar tidak terlelap saat menjaga mereka. Resiko yang ia hadapi sangat besar. Ia harus mengawasi orang-orang cacat mental tersebut, sekalipun mereka dalam keadaan terlelap namun mata Wiwin tak diperbolehkan untuk sedetikpun terpejam.
Wiwin bercerita panjang lebar tentang kisah si anak cacat yang kabur dan membuat panik seisi panti. Kejadiannya dulu pernah ada anak yang kabur dengan memanjat pagar. Anak tersebut pergi tanpa menggunakan alas kaki, jalannya sangat cepat dan tidak terdengar suara langkahnya. Saat keluarganya tahu anaknya kabur, mereka marah. Untungnya dalam waktu 6 jam anak tersebut bisa ditemukan oleh polisi dengan mudah karena ciri-cirinya sangat khas. Ia kalau berjalan sambil tertawa sendiri. Anaknya pintar, tapi tidak bisa bicara. Beruntung pada saat itu bukan waktu Wiwin untuk menjaga. Resiko menjaga anak seperti ini sangat berat. Jika anak tersebut kabur dan mengalami kecelakaan lalu meninggal dunia, maka sang penjaga serta panti di mana ia dititipkan akan dituntut sebesar ratusan juta dolar Taiwan.
Pada awal kerja, Wiwin hanya diperbolehkan untuk menjaga pada waktu malam saja, karena jika pagi akan banyak kunjungan dari pemerintah bagian departemen sosial untuk mengecek keadaan mereka. Dan akan lebih mudah berkomunikasi jika yang menjaga adalah orang Taiwan. Wiwin bersyukur, sekalipun pekerjaannya berat dan hanya dilakukan pada malam hari, namun ia mendapat libur dua kali dalam satu minggu. Hingga saat ini Wiwin pun mendapat libur satu atau dua kali dalam satu minggu. Beban yang berat itu akan ringan terasa karena digantikan dengan waktu istirahat yang cukup.
Lemparan, Pukulan dan Tendangan
Sehari-hari Wiwin mengawasi orang-orang cacat ini di ruangan yang sama, dengan memberikan aktivitas yang sama serta melihat wajah-wajah yang sama. Ada yang tidak bisa berjalan, ada yang harus menggunakan kursi roda bahkan ada pula yang tidak bisa berbicara, hanya menyendiri serta sesekali tertawa, entah apa yang ditertawakan. Dengan kesabaran, Wiwin mulai melakukan tugasnya mulai dari mengajarkan mereka bagaimana cara makan yang baik, membersihkan ruangan bahkan sesekali di aktivitas luang, ia melihat anak-anaknya bernyanyi riang gembira sambil berjoget bak artis yang sedang bernyanyi di atas panggung. Pemandangan itulah yang membuat Wiwin terhibur. “Laoshi…laoshi.. kan wo…” Tutur anak-anak Wiwin menghiburnya. Anak-anak ini diajarkan untuk memanggil sang penjaga sebagai laoshi. Rutinitas ini tak membuatnya bosan. Baginya, selalu ada makna kehidupan yang baru saat bersama mereka.
Ruangan yang serempak penuh canda tawa sesaat berubah menjadi ruangan yang penuh ketegangan ketika Wiwin harus menjadi penengah antara mereka yang bertengkar. Wiwin harus berada di tengah anak –anak yang bertengkar untuk melerai mereka. Tak ayal, tendangan, pukulan, lemparan benda-benda di sekitar bahkan cakaran pun kerapkali menghujani tubuhnya. Meski Wiwin agak kewalahan merelai mereka karena tubuh anak-anak itu lebih besar dan tinggi darinya. Namun Wiwin tetap sabar melerainya. Inilah pemandangan satu lagi yang harus ia temui setiap hari. Wiwin memaklumi kondisi ini, karena mereka bukanlah anak-anak yang tumbuh menjadi dewasa seperti orang normal lainnya. Bahkan di saat-saat tertentu, Wiwin harus ekstra keras menjaga mereka yang sedang kambuh. Ada yang menangis dengan keras sambil berusaha melukai tubuhnya seperti menggigit tangannya. Di sinilah peran ekstra Wiwin untuk menenangkan mereka.
Serutan senyuman terlihat di wajah Wiwin ketika ia mengenang masa bersama anak-anak. Masa-masa pertengkaran yang menguras energi itu sirna ketika mengingat keajaiban yang diberikan anak-anak ini di saat dirinya sedih merindukan keluarga. Cerita mengharukan pernah ia alami. Ia pernah merasa sedih dan murung seperti kangen keluarga. Anak-anak tak normal itu bisa membaca kesedihan dalam dirinya. Saat Wiwin bersedih, mereka menghampirinya dan berkata “jangan sedih laoshi, aku akan bernyanyi untukmu”. Kata-kata inilah yang menyentak hati Wiwin serta mengingatkannya untuk tetap tegar dan bersyukur. Sebagai orang normal, Wiwin terhentak dengan pelajaran yang diberikan oleh orang yang terbilang tak normal ini. Wiwin sadar bahwa keadaan mereka jauh lebih buruk dibandingkan keadaannya, namun mereka tetap ceria. Mereka saja yang bertahun-tahun hidup di panti ini dan jarang pulang bahkan keluarga mereka hampir tidak ada yang menjenguk, namun mereka tetap menikmati roda kehidupan yang bergulir.
Showroom Impian
Selesai menunaikan tugasnya, Wiwin bergegas kembali ke rumahnya yang ditinggali bersama si pemilik panti. Meski tinggal seatap dengan keluarga si pemilik panti, Wiwin jarang berkomunikasi dengan mereka. Rutinitasnya kini berganti menjadi rutinitas pribadi. Sesampainya di rumah, ia membuka komputer miliknya dan bermain internet, membersihkan kamar atau hanya sekedar menonton televisi lalu tidur. Jika tidak sedang bekerja Wiwin hanya menghabiskan waktu sendiri. Wiwin mengaku kalau ia tak punya banyak teman. Untuk menemukan teman yang cocok, itu tidaklah mudah. Ia suka berpergian ke pasar swalayan, hanya sekedar berjalan-jalan atau pergi ke pasar malam maupun sesekali mampir ke toko Indonesia hanya untuk mengobati kangennya dengan makanan Indonesia. Semua itu ia jalani sendiri.
Pembicaraan kami beralih pada impian Wiwin ketika tahu bahwa Wiwin sudah menikah di akhir tahun 2010 lalu. Impian Wiwin tertinggal di Indonesia. Sebentar lagi ia akan menenun mimpi itu bersama sang suami. Mimpi Wiwin sederhana, ia hanya ingin membantu suaminya. Namun mimpi yang sederhana itu dibalut harapan besar dengan perencanaan yang hebat. Ketika ia hijrah ke Taiwan, suaminya masih bekerja ikut orang di sebuah showroom kitchen set peralatan dapur. Kini, suaminya telah mempunyai showroom sendiri di rumahnya. Mimpi pribadinya yaitu melanjutkan kuliah dan memegang gelar sarjana science karena saat SMA, Wiwin tergolong anak yang berbakat di bidang IPA. Namun mimpi pribadi itu digantinya dengan mimpi bersama. Ia hanya ingin belajar ilmu pemasaran untuk membantu suaminya memasarkan produk-produk di showroom-nya nanti. Meski mimpinya besar, Wiwin tak melupakan keluarganya, ibu dan ayahnya. Sekalipun kedua orang tua Wiwin telah berpisah, dengan penuh keikhlasan Wiwin mengrim uang secara bergantian kepada ayah dan ibunya di kampung.
Kesabaran wiwin tak hanya dipertunjukan bagi mereka yang tak normal dalam pekerjaannya. Di keluarga pun Wiwin berusaha untuk tetap sabar dan ikhlas berbagi rejeki dengan orang tuanya. Dengan suami pun Wiwin ingin berbagi mimpi dan tekad mengabdi untuk membantu pekerjaan suami. Tak lupa Wiwin berpesan bagi rekan-rekan sejawatnya di Taiwan, agar mereka sabar saja dalam bekerja, jangan gegabah memilih untuk kabur jika ada masalah. “Selesaikan masalah kita dengan sabar. Ingatlah tujuan kita pertama kali di sini untuk apa. Itulah yang mendorong kita untuk tetap tegar.” Ujar Wiwin menutup obrolan kami malam itu. (*/ml)