Foto ilustrasi diambil dari NPR.
Mengenangmu, membentuk bayang yang sulit untuk kulepas. Ada bermacam warna yang tercampur dalam adukan kenangan kita, tawa, pedih, luka. Sederet angan dan rangkaian mimpi yang terpenggal begitu saja, membuat luka dalam hati ini tak mampu kukata rasakan lagi.
Terlalu pedih untuk kuceritakan. Terlalu banyak kesakitan hingga kesepian demi kesepian datang silih berganti menempati rasa. Dirimu dibenakku, tak semuanya dapat terlupa dan terhapuskan. Aku tertahan di pilihan yang sulit.
Jeda bahagia yang kini ada ialah bonus dari-Nya di tengah hidupku yang terlanjur rumit. Menjaga diriku yang utuh tanpa bayang lalu, seperti memisahkan angin dari awan. Dan aku tak ingin berhenti sebelum waktu. Aku akan terus berlalu, dengan apapun keadaan diriku.
************
Orang memanggilku, Tha. Perempuan berkulit sawo matang, tidak terlalu tinggi, dan nampak selalu ceria di depan orang. Sekilas mungkin tak ada yang tahu aku pernah mengalami ‘mimpi buruk’ dalam kehidupan. Namun ini semua tidak mudah dan butuh waktu yang tak sebentar. Aku menjadi diriku yang baru.
Pernikahan Dini
Anak terakhir dari 4 bersaudara, 2 kakak perempuan dan 1 kakak laki-laki. Ibuku sudah beberapa tahun lalu dipanggil oleh-Nya. Setelah semua anak-anaknya ‘mentas’/menikah. Ketiga kakakku, keluarga mereka baik-baik saja. Hanya aku sendiri yang dari awal memasuki gerbang pernikahan ‘paksa’, kukatakan paksa karena memang tidak kuperkirakan sebelumnya. Aku terpaksa menikah karena sudah ada janin dalam rahimku. Itu terjadi ketika aku baru menginjak kelas 1 SMU. Dan ijazah sekolah tingkat atas kuselesaikan melalui ujian persamaan.
Laki-laki yang menghamiliku dan kemudian menjadi suamiku sekaligus pencipta luka hati itu sering kupanggil Mas Andi. Sebelum menikah, aku dan Mas Andi dihajar oleh papa. Umpatan dan kata-kata tak mengenakan ditujukan. Bahkan untuk menggugurkan anakku. Semua kata-kata papa tidak kubantah. Kecuali keinginan beliau untuk menghilangkan paksa anakku kutentang keras. Sebisa mungkin kupertahankan anak yang kukandung. Akhirnya pernikahan ‘paksa’ itu terjadi. Dan diusai yang belum seventeen, aku sudah menjadi istri dan mama dari seorang anak.
Beberapa tahun menikah, kehidupan berjalan normal. Suamiku bekerja sebagai supervisor di sebuah kantor yang bergerak di bidang distributor makanan hingga anak keduaku lahir. Sikap dan sifat Mas Andi tidak berubah. Namun semua keadaan itu tidak bertahan lama. Belum genap setahun usia anak keduaku, sedikit demi sedikit ada perubahan di diri suamiku. Aku ingat, tiba-tiba tengah malam ada seseorang menelepon. Lalu Mas Andi bilang padaku, jika kantornya kecurian AC dan ia diminta segera ke kantor untuk mengecek. Polisi sudah menangani dan Mas Andi harus menyelesaikan di kantor polisi. Aku tanpa sanggahan sedikitpun dan tanpa curiga mempersilahkan suamiku pergi. Keesokan hari, tanpa rencana sebelumnya, papa mengajakku jalan-jalan ( kami masih menumpang di rumah papa). Mobil yang kami tumpangi tak sengaja melewati kantor Mas Andi. Sekilas kulirik 2 AC yang terpasang di dinding yang tampak dari luar. ‘Ehm..masih utuh’, batinku. Dari situ timbul perasaan yang tidak enak. Setibanya kami dari jalan-jalan, kucari Mas Andi. Dikamar kutanya dengan sedikit menyindir tentan masalah kantor yang kecurian AC. Tetapi jawaban Mas Andi, membuatku kaget. ‘Ternyata AC tidak jadi dicuri.’ Deg! Hatiku benar-benar tak bisa dibohongi. Ada perasaan yang sulit kuceritakan, perasaan yang penuh tanda tanya.
Penasaranku Terjawab Sudah…..
Suatu sore, aku dan bibiku sedang berbincang di ruang tamu. Tiba-tiba datang seorang perempuan yang langsung mengetuk pintu dan segera duduk tanpa kami persilahkan. Intinya, perempuan itu meminta pertanggungan jawabku atas perbuatan Mas Andi hingga lahir seorang anak perempuan. Aku kaget. Bibiku apalagi. Kemudian terjadilah adu mulut antara bibi dan perempuan yang menjadi orang ketiga dalam rumah tanggaku. Lalu aku yang ketika itu masih bisa menahan emosi bahkan tangis, hanya berucap, ‘Carilah Mas Andi, minta pertanggungan jawab sama dia. Salah kalau kau meminta padaku, sedang aku tak tahu apa-apa’. Lalu perempuan itu menangis sembari meminta maaf dan pergi entah kemana.
Sebenarnya aku sudah ‘mencium’ hal tidak beres pada Mas Andi. Seringnya ia tidak pulang ke rumah, pergi dengan tiba-tiba begitu ada telepon berdering. Namun semua kecurigaan itu bisa aku tepis setelah Mas Andi meyakinkan aku kalau dia sering pergi murni karena masalah kerjaan. Dia sangat mencintaiku dan anak-anak. Dan hal tersebut yang membuatku selalu percaya pada seluruh kata-kata Mas Andi.
Setelah perempuan itu pergi, aku segera menanyai Mas Andi lewat telepon saat itu, sebab Mas Andi masih di kantor. Suamiku terisak dan meminta maaf. Sebenarnya ia tak berpikir untuk menikahi perempuan yang dulu dianggapnya hanya untuk ‘having fun’ saja. Tetapi kenyataan berkata lain, Mas Andi harus menikah dengan perempuan yang dahulunya istri simpanan seorang pengusaha. Aku berkata tegas, pilih aku atau perempuan itu. Tetapi Mas Andi tidak bisa meninggalkan baik aku ataupun dia. Akhirnya aku mengambil keputusan dengan segala konsekuensi tentu. ‘Tinggalkan saja aku!’ Tapi karena aturan agamaku yang melarang perceraian, surat resmi cerai belum bisa kudapatkan hingga 3 tahunan ini. Statusku menggantung.
Bulan berganti, dengan uang yang ada di tabungan, aku membuka sebuah toko kelontong kecil di sebuah rumah yang kukontrak. Setengah tahun perkembangan usahaku, kurasakan hidupku mulai sedikit membaik. Tiap harinya tiga ratus ribu rupiah kukantongi. Aku mulai mengumpulkan kembali uang untuk menyekolahkan anakku yang pertama.
Kebahagiaan yang kurasa tidak berjalan lama. Suatu ketika, datang orang-orang berwajah seram (debt collector) yang katanya mengaku orang suruhan pemilik kantor dimana mantan suamiku bekerja. Katanya suamiku dulu sudah meminjam uang hingga Rp 60.000.000 dan mengagunkan BPKB mobil milik papa. Aku kaget bukan kepalang. Suamiku tega mencuri surat berharga milik papa. Kepada orang-orang suruhan kantornya suamiku itu, aku benar-benar meminta maaf dan tidak mengetahui adanya kasus peminjaman uang sebesar itu. Apalagi kini Mas Andi tidak hidup bersama denganku. Perdebatan terjadi. Jika aku tidak segera menyelesaikan, maka mobil papa akan disita.
Air mataku kembali turun. Anak keduaku belum genap 2 tahun. Ujian hidup kualami lagi. Kucoba menghubungi mantan suamiku dan membicarakan hal ini. Lagi-lagi bapak dari anak-anakku hanya bisa menangis dan meminta maaf. Ia berjanji untuk menyelesaikannya sendiri. Uang pinjaman sebesar itu digunakan untuk biaya persalinan istri kedua, mengontrakkan rumah di sebuah kompleks perumahan, dan membeli perlengkapan rumah tangga yang mewah. Sedang aku, istri pertama yang statusnya menggantung, tinggal bersama papa ( pensiunan guru SMP) di rumah kontrakan dan menghidupi kedua anakku dengan berjualan. Ya Tuhaaaann…..
Pria Penawar Luka
Seorang pria kupanggil Dhan menjadi pelabuhan tempatku bercurah. Sebenarnya aku trauma dengan namanya cinta. Akan tetapi, kegigihan Dhan membuat hatiku yang beku mencair. Pria yang kukenal lewat dunia maya ini akhirnya menjadi kekasihku. Dhan tinggal di Nusa Tenggara Timur, dan ia sangat menyayangi apapun keadaanku sekarang. Hanya saja keadaan ekonominya belum mapan. Dia 10 bersaudara yang kebanyakan masih memerlukan biaya sekolah.
Dilain pihak aku mengenal juga seorang pria yang kuanggap kakak yang juga memiliki perasaan cinta padaku. Dia tinggal di Jakarta. Sudah berkali kukatakan aku memiliki Dhan sebagai kekasih namun orang yang kupanggil abang itu tetap berusaha mendekatiku. Dia tahu segala kehidupanku termasuk keadaan ekonomiku yang sangat kurang. Tanpa aku meminta, abang selalu mengirimiku uang bulanan. Termasuk pulsa yang tiba-tiba masuk ke nomor handphone-ku. Bahkan beberapa waktu lalu, sebuah handphone baru dibelikannya untukku. Aku tak sanggup menolak pemberian abang. Disatu sisi aku butuh, disisi lain aku tidak bisa memberi harapan lebih padanya karena aku hanya mencintai Dhan, kekasihku. Pemberian terbesar dari abang, sebuah laptop yang meski tak baru bisa memudahkan hubungan tak berstatus ini kian mudah. Dua laki-laki yang secara serentak ada dalam kehidupanku ini tak mampu kuhindari. Dhan sebenarnya tidak suka aku selalu diberi sesuatu oleh abang. Sedang Dhan sendiri tidak pernah memberiku apapun.
Hampir setiap kegiatanku sehari-hari abang tahu. Dari aku mulai bangun tidur sampai memejamkan mata kala malam. Dia masih berharap aku membuka hati untuk cintanya. Namun tetap saja, hatiku hanya memilih Dhan. Arrgghh……Sebenarnya aku bimbang. Urusan dengan mantan suamiku belum bisa selesai karena aku belum memiliki uang cukup untuk mengurusnya. Sementara ini, aku dibimbangkan keadaan. Entah bagaimana aku harus bersikap.
*************
Jika hati ini bisa kalian baca….
Kepada mantan suamiku : Jangan kau persulit lagi keadaanku dengan perbuatan yang kau lakukan. Tolong ingat bahwa separuh nyawamu, ialah anak-anak kita, kubesarkan sendiri tanpa sedikitpun mengusik kebahagiaanmu.
Kepada Dhan : Aku mencintaimu, hati menyayangmu, tetapi cinta saja bagiku tak cukup. Ada dua anak yang membutuhkan perhatian juga biaya. Sedang itu belum bisa kau beri. Kemana akhir cinta kita sebenarnya, biarlah semuanya mengalir seperti sungai yang mencari muaranya.
Kepada Abang : Maafkan Tha, Bang. Cinta tak bisa dipaksa, tak bisa dibeli, tak bisa dikelabuhi. Untuk segala perhatian dan pemberian yang kau beri, aku tak sanggup mengganti. Jika masih kau tanya kapan aku bisa mencinta, aku tak bisa berkata….(setidaknya sekarang) Maaf, belum bisa. Entah nanti…??? Jika Abang mau menanti….Silahkan.
Yang pasti, hati ini bukan untuk sembarang orang. Hanya untuk satu hati yang benar kupilih. Kepada siapa, biar Dia yang menuntunnya untukku. Sampai masa membantu menautkannya dijanji suci.
Diceritakan kembali oleh Enno Salsa