Foto ilustrasi diambil dari Devianart.
2011-05
Tulisan ini tidak cantik, ceritanya pun tidak menarik, membacanya mungkin membuat bosan. Tapi satu keinginan kecil dalam hatiku, ada seseorang yang mendengar keluh hati ini bahwa selama ini aku salah menilai arti kehidupan dan betapa sombongnya aku pada diri sendiri. Aku menyesal…
Tak semua orang begitu mudah mencerna ilmu ke dalam otak, kemudian menghayati ilmu tersebut. Ilmu tak hanya kita dapat dari lahan-lahan pendidikan, tapi ilmu kadang ada di sekeliling kita, berserakan, berceceran, namun tidak kita sadari.
Sebut saja dia Faiz, “mantan pacar”ku, seorang sopir pribadi yang sederhana. Kerjanya tidak ada patokan waktu dengan gaji pas-pasan. Pas untuk uang makan, uang kontrakan, uang bensin, dll. Kalaupun ada sisa untuk ditabung, itu hanya tersisa beberapa persen saja. Selama kenal, dia adalah lelaki hebat menurut penilaianku. Meski wajahnya tak tampan, tapi keimanan dan hatinya sungguh cantik hingga menawanku dan aku memutuskan menjadi pacarnya saat itu, sebelum aku pergi ke Taiwan.
Memang hubunganku dengannya tak selalu manis, ada satu kenangan yang tersisa sempat membuatku kecewa. Sebelum terbang, 2 bulan kuhabiskan di penampungan di Jakarta untuk urusan semua proses. Faiz pun saat itu sedang kerja di Jakarta juga, tapi tak pernah ada waktu bareng semenit pun untuk menjenguk aku di penampungan. Dekat memang, kita masih sama-sama di Indonesia, satu kota pula, kenapa?
Alasan itu sampai sekarang masih sembunyi di gua senyap dalam pikiranku. Tapi sekarang kucoba meredamnya, hingga akhirnya di detik-detik menjelang keberangkatanku aku sempat menoleh kanan-kiri, mencari, bahkan memohon. Tapi cuma satu jawaban Faiz saat itu, “jika kita berjodoh, kita pasti akan bersatu lagi.” Aku digantung, aku sepertinya tak mampu lagi diperlakukan seperti itu, aku masih pacarnya.
Tiba juga aku di Taiwan, kerja super enak, alhamdullilah dapat majikan baik. Memiliki kehidupan yang jauh berbeda dengan kehidupanku selama di Indonesia. Majikan kaya, mewah, semua serba ada, praktis, seperti kurasakan nikmatnya surga dunia. Namun dari hal itulah awal kebobrokan moralku, aku bukan aku yang dulu lagi. Hubunganku dengan Faiz juga biasa-biasa saja, tapi setelah waktu itu dia jujur pernah menemui Echa, temanku di penampungan dulu. Kecewa yang dulu sempat kuredam kembali bergejolak membakar hati dan menyayat-nyayatnya, hatiku sakit. Untuk aku, pacarnya, satu menit saja sampai aku memohon-mohon dia tidak ada waktu, tapi untuk Echa, wanita lain yang tidak dia kenal, dia mau saja datang. Faiz saat itu sempat berucap beribu alasan akan hal itu, tapi kecewaku telah berubah jadi batu-batu kebencian. Apapun alasan Faiz aku anggap kalimat-kalimat bohong, aku tak peduli.
Hubunganku mulai ada cekcok, Faiz selalu meminta maaf, masih menghubungiku. Kadang aku layani, kadang aku acuhkan. Kesalahan kecil Faiz selalu kuhubung-hubungkan dengan kejadian yang membuat aku sakit hati. Sengaja aku ungkit-ungkit untuk memperbesar masalah, Faiz tetap saja bersabar. Aku pernah juga memaki Faiz, tapi jawabannya cuma satu, “terima kasih, semoga Allah membuka pintu maaf-Nya untukku atas segala kesalahanku padamu.” Hatiku saat itu beku tertutup dan mati untuk menyadari satu kalimat Faiz yang begitu indah karena ketulusannya.
Hari-hari berlalu begitu saja, bulan berganti tahun, tabunganku di Indonesia semakin banyak. Uang satu juta dulu sudah cukup banyak bagiku selama kerja di tanah air. Di Taiwan, jika dihitung-hitung, satu bulan saja aku bisa dapat empat kali lipatnya, dengan biaya hidup gratis karena tercukupi oleh majikan. Kesombongan dan ketamakan itu muncul, berakar dan menjalar di setiap denyut nadiku. Kedudukanku lebih tinggi dibanding Faiz dari segi ekonomi, aku bisa membeli barang dengan mudah, yang mungkin saja untuk Faiz menandingi kehebatanku dia perlu menabung bertahun-tahun dari sisa hasil kerjanya. Entah setan apa yang membujukku untuk angkuh diri?
Faiz masih selalu menghubungiku meski terkadang hanya lewat SMS pesan singkat, “kerja baik-baik, semoga Allah selalu melimpahkan rizki-Nya padamu.” Hatiku yang picik menganggap SMS itu hanya omong kosong karena aku membenci Faiz. Waktu berlalu begitu saja, nikmat itu masih menjadi milikku. Semakin lama aku semakin bosan oleh perhatian-perhatian Faiz. Pikiranku saat itu, “bagaimana aku bisa hidup dengan lelaki yang kerja dengan gaji pas-pasan? Bagaimana dengan anak-anakku nanti jika harta yang selalu dia nafkahkan kurang? Bagaimana saya bisa bahagia di dunia ini? Ah, aku tidak mau menikah dengan dia, bisa-bisa aku nanti sengsara, aku ingin kehidupan yang seperti di Taiwan ini, serba ada dan praktis, aku mau!” Pikiran kotor itu meresap di seluruh darah, mengalir di sekujur tubuhku. Betapa bodohnya aku saat itu yang menganggap cuma hartalah sumber kebahagiaan. Menjadi orang kaya akan meningkatkan derajatku, bisikan-bisikan setan itu masuk begitu saja pada hati yang tak pernah dapat barokah, siraman rohani, nikmat berupa kebahagiaan hati , membuat kita lupa untuk bersyukur dan berendah diri. Ya Allah…
“Dik, apa kabar?” SMS Faiz dikirim untukku, tanpa pikir panjang akupun membalasnya.
“Aku malu punya pacar supir.” Faiz tidak membalas SMS-ku. Mungkin saja dia acuhkan begitu saja, hingga petang menjelang maghrib dia meneleponku.
“Maaf dik, aku sibuk kerja tadi. Apakah menjadi sopir sepertiku salah? Bukankah rizki dari kerja sopirku selama ini halal?” tetapi aku malah sebaliknya, berdalih gambaran kehidupan bahagia menurut kacamataku, masalah jadi panjang. Aku terus mencerca Faiz dengan kesalahan-kesalahan yang kuungkit-ungkit. Faiz hanya diam, diam, dan diam, lalu, “maaf dik, aku mau sholat maghrib dulu. Wasalamualaikum.” Tut…tut…tut…, telepon terputus begitu saja, batinku bersorak menang atas keegoisan, rasa angkuh, dan berbangga diri.
Esok harinya aku meminta putus dengan Faiz, aku benar-benar tidak dapat menerima apa adanya Faiz. Aku selalu mencari Faiz yang sesuai dengan kriteriaku, aku tak pedulikan baik hatinya, kesabaran, ketulusan serta keimanannya yang dulu pernah mencuri hatiku. Semua itu menjadi hitam, rusak, dan hilang.
“Aku akan tetap mencintaimu meski kau membenciku, semoga Allah selalu melindungimu. Amin.” SMS terakhir Faiz. Aku telah anggap Faiz bukan pacarku lagi.
Karena tak ingin diganggu, akupun ingin menghapus semua kenangan. Mulai kuganti nomor Hpku dengan SIM card yang Faiz tidak tahu. Aku mulai membeli laptop, berselancar di dunia maya menjadi hobiku. Dunia terasa indah, memiliki banyak teman-teman baru dari internet yang begitu mudah diakses, hingga aku kenal Aries lewat media facebook.
2011-06
Aries lelaki tampan, sudah 6 tahun kerja di Korea. Anaknya gaul, berbicara dengannya rasanya klik saja. Tapi ada kekurangan pada diri Aries, dia tidak pernah sholat, suka minum alkohol, nada bicaranya pun tak pernah serius. Hal itu tidak jadi masalah bagiku, karena dalam pikirku untuk merubah Aries menjadi baik itu perlu waktu, dan itu adalah bagian tugasku, bukankah jika Aries baik karena bujukanku, aku akan jadi pahlawan untuknya? Lagipula 6 tahun di Korea, tentu uang dia banyak. Begitulah aku menimbang semua hal.
Awalnya hubungan kami manis, seiring waktu aku berniat merubah Aries untuk jadi baik, tapi Aries selalu bilang kalau aku itu suka ceramah, pengatur, dll… Tapi aku sabar, karena aku terlanjur cinta dia. Aku juga mulai bicara perihal kedekatanku dengan aries kepada kedua orang tuaku di Indonesia. Tapi mereka bersikeras menolak dan tidak setuju karena menilai kekurangan Aries.
Mereka menanyakan kabar Faiz, tapi aku bilang kami sudah lama putus. Orang tuaku tidak memilih siapapun teman laki-lakiku, asalkan punya keimanan yang baik. Mereka berpikir harta dan kemewahan lainnya yang ada pada diri Aries itu tidak banyak manfaat jika dia mengesampingkan iman. Dari situ aku mulai sadar, tapi aku masih berniat menjalin hubungan itu dengan Aries dengan segala niatku. Waktu berganti waktu, aku baru benar-benar kenal jati diri Aries begitu jauh bila dibandingkan dengan Faiz dulu. Aries yang kadang bicara kasar saat aku meneleponnya. Hubungan Aries di dunia mayapun semakin tak terarah. Yang lebih mengerikan lagi, Aries selalu menawariku berbuat tak senonoh di depan kamera saat chatting. Aku sungguh telah salah memilih lelaki itu. Aku diam, tapi kediamanku adalah untuk menghilang dan meninggalkan kesalahan yang sudah terlanjur terjadi.
Hingga akhirnya, aku bertemu dengan benda imut nan ajaib yang disodorkan temanku ketika kami bertemu waktu bawa ama jalan-jalan di taman. Life Is Miracle, membacanya sungguh memberi mukjizat luar biasa. Buku kecil yang berisi pesan-pesan indah itu membuatku terus meratapi kesalahanku. Betapa aku salah menilai arti kehidupan ini. Sesungguhnya, di balik setiap kepingan kecil peristiwa-peristiwa yang terjadi, menyimpan berjuta pesan jika kita menyadarinya. Judul ke judul yang aku baca begitu menyentuh hati, aku salah..salah..salah.. Ya Allah, perhatian Faiz yang dulu tulus untukku ternyata ilmu indah yang selalu kuabaikan. Aku malu sebagai wanita yang begitu kejam terus menyakiti hati Faiz yang selalu baik padaku. Pada kutipan “Kita Ibarat Seekor Burung Yang Hanya Punya 2 Sayap Untuk Mencari Makan”, aku tahu aku begitu sombong atas rizki melimpah yang telah kudapat. Pada judul “Obrolan di Trotoar”, aku sadar telah salah menilai Faiz dengan memandang dia rendah dari segi profesi. Sampai 45 judul yang tersaji membuatku menangis, aku salah.
Malam itu aku berniat menghubungi Faiz, untuk meminta maaf. Karena takut dia tidak mau angkat telepon, aku sengaja menyembunyikan nomor HP ini. Satu kali tidak diangkat, tiga kali belum diangkat juga, sampai ke-enam kalinya baru ada jawaban, “Assalamualaikum.” Suara cewek yang menjawab, “Waalaikkumsalam. Maaf Mbak, apa benar ini nomor Mas Faiz?” tanyaku.
“Iya, ini Mbak siapa ya? Teman dia ya?” tanya balik wanita itu.
Aku terdiam sejenak, hatiku berkecamuk tak karuan. Takut kalau teleponku malam itu salah atau mengganggu kebahagiaan Faiz. Mungkin saja wanita itu istri Faiz, karena setahuku Faiz tidak punya adik perempuan. Ah, aku harus hapus prasangka itu.
“Eee, iya Mbak, saya temen Mas Faiz.”
“Sebentar ya Mbak.” Wanita itu menyuruhku menunggu dengan tidak menutup telepon. Terdengar di telingaku suara tangis anak kecil. Ya Allah, kuatkanlah hatiku.
“Halo, asalamualaikum.” Berganti suara laki-laki.
“………..” kutarik nafas panjang, itu suara Faizku dulu.
“Halo, Mbak ini siapa?”
“Maaf Mas, ini aku.”
Karena niatku malam itu mau minta maaf, akhirnya aku jujur akan semuanya. Terdengar ,Mas Faiz tertawa kemudian menangis, aku semakin bingung.
“Aku sudah maafkan kamu sebelum kamu minta maaf. Allah saja mau memaafkan umat ciptaannya ketika salah, apalagi aku hanya makhluk kecil di dunia ini.”
Aku tersentak, sungguh mulia hati Mas Faiz. Setelah bertanya kabar, obrolan semakin seru. Mas Faiz terus mengajakku bercanda, seakan aku dibuat lupa atas segala kesalahan di masa lalu.
“Mas, wanita tadi istri Mas Faiz ya?” tanyaku sejenak.
“Oh, dia…eeehhh….” Mas Faiz terdengar ragu.
“penasaran yah? Atau mau ajak balikan?” kata wanita itu genit.
“Dia adik sepupuku yang baru saja datang dari kampung,” kata Faiz, “Dik, kapan pulang?”
“Insyaalah sebulan lagi Mas, semoga saja tak ada halangan apapun,” jawabku.
“Insyaalah aku mau ke rumahmu untuk silaturahmi dengan bapak ibumu. Kalau masih ada kesempatan, aku berniat melamar kamu jadi pendamping hidupku.”
“……..”
Ya Allah, puji syukur kupanjatkan. Engkau mengirim lelaki yang selalu sabar mengajariku akan berjuta hal indah. Tak ingin kusalahkan kepingan masa laluku, karena itu merupakan titik-titik kehidupan yang memang harus aku jalani. Aku bersyukur diberi kesadaran, diberi kesempatan untuk berubah menjadi baik, meski semua berlangsung perlahan-lahan seiring waktu berjalan. Dan aku selalu berdoa semoga Mas Faiz dapan menjadi imam yang menuntun langkahku menuju indahnya dunia dan akhirat. Amin. Terima kasih Mas Faiz, terima kasih “Life is Miracles”.